Suatu hari Ummul mukminin Ummu Salamah RA, bertanya kepada suaminya yang tercinta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mengapa kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana kaum laki-laki?”
Maka dilain hari tatkala Ummu Salamah menyisir rambutnya. Tiba-tiba beliau mendengar sebuah ayat yang membuatnya takjub ketika dibacakan, maka beliau bersegera mendengarkannya. Ayat itu adalah (artinya) :
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzaab: 35)
Seorang wanita yang beriman, beramal sholih, sabar, banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu Wataala dan menjaga kehomatannya adalah sama kedudukannya dengan laki-laki yang melaksanakan hal diatas. Namun bagi laki-laki yang tidak melaksanakan amalan-amalan ini, maka ia tidak akan mampu menandingi wanita yang tersebut dalam ayat diatas. Demikianlah kurang lebih penjelasan ayat diatas sebagai jawaban terhadap Ummu Salamah, juga bagi mereka yang mempertanyakan sejauh mana Islam mendudukan (memuliakan) wanita.
Allah Subhanahu Wataala berfirman, (artinya) :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.At-Taubah: 71)
Wanita adalah mitra laki-laki dalam melaksanakan tugas dakwah kepada syari’at Allah, dalam mengajak manusia menuju kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Dan misi kemitraan ini yang terpenting adalah bersama-sama menggapai ridho Allah Subhanahu Wataala. Untuk mendukung misi ini, Islam telah memberikan tugas/kewajiban kepada wanita yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu :
- Menghambakan diri hanya Kepada Allah Subhanahu Wataala
Wanita adalah makhluk yang sengaja Allah ciptakan. Tujuan penciptaan wanita sama dengan tujuan diciptakannya laki-laki, yaitu untuk beribadah kepada Allah serta menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang diutamakan dalam ketaatan. Tentang hal ini Allah Subhanahu Wataala berfirman (artinya) :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Sebagai bukti bahwa ia taat kepada Allah ia harus melaksanakan berbagai kewajiban yang telah Allah bebankan kepadanya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Ayat-ayat yang langsung menyebut lafazh yang bermakna wanita, sering kita jumpai dalam Al_Qur’an. Hal ini mengisyaratkan betapa besar perhatian Islam terhadap wanita. Selain itu, ayat-ayat tersebut mengandung perintah yang khusus bagi wanita, seperti; menjaga aurat, berdiam di rumah dan harus qona’ah (puas) dengan harta yang diberikan Allah Subhanahu Wataala lewat suaminya.
- Memperjuangkan Islam
Walaupun wanita dibatasi untuk keluar dari rumah, bukan berarti ia tidak memiliki tanggungjawab sama sekali dalam berdakwah untuk menegakkan Islam, tetapi kewajiban dakwah ini tetap ada di atas pundak para wanita muslimah sampai mereka menghadap Allah Subhanahu Wataala.
Sebagaimana tersebut dalam surat At-Taubah di atas, Allah menerangkan bahwa wanita juga tetap dikenai kewajiban untuk berdakwah; menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar.
Dalam banyak riwayat dikisahkan bahwa para shohabiyah (sahabat wanita) banyak mengambil peran dalam perjuangan Islam. Salah satunya adalah ibunda kaum mukminin A’isyah RA. Beliau termasuk dalam jajaran para ulama dan seorang wanita yang paling luas ilmunya. Beliau sering didatangi oleh kaum mukminin pada masanya, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan Umar RA, amirul mukminin terkadang masih belajar kepada A’isyah RA.
Walaupun jihad wanita mukminah adalah haji dan umrah, sedangkan berperang melawan musuh ad-dien (orang-orang kafir) tidak diwajibkan kepada mereka, namun wanita muslimah pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ketinggalan untuk terjun di medan tempur. Mereka mengambil peran sesuai kemampuan dan fithroh mereka; mengobati dan merawat yang terluka.
Pernah Umar RA membagi pakaian bulu kepada para wanita Madinah, maka tinggallah sebuah pakaian bulu yang bagus. Maka berkatalah orang-orang yang berada di sisi beliau: “Wahai Amirul Mukminin! Berikanlah pakaian bulu ini kepada putri Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ada padamu –yang mereka maksudkan adalah Ummu Kultsum binti Ali, Istri Umar–.” Maka Umar berkata: “Ummu Salith lebih berhak dengan pakaian bulu ini! –dia adalah salah seorang wanita Anshor yang berbai’at kepada Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam– Umar melanjutkan: “Sesungguhnya napasnya pernah tersenggal-senggal karena membawakan Qirbah (kantong air) bagi kami di hari perang Uhud.” (HR. Al-Bukhari).
Sampai kapan berjuang?
Ibadah dalam makna iqomatuddien (berjuang menegakkan dien ini) bukan amalan sesaat; bukan saat kuliah saja, selepas kuliah selesai tugas amal dakwah, tidak. Juga bukan saat aktif di sebuah organisasi, bukan pula terbatas di kampus atau tempat mengajar. Namun perjuangan menegakkan Islam ini adalah kewajiban yang (berkesinambungan) selama jiwa masih bersatu dengan raga. Hal ini Allah tegaskan sebagaimana dalam firman-Nya :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)
Islam tidak sependapat dengan mereka yang mengatakan, “Kewajiban memperjuangkan Islam bagi wanita akan termaafkan setelah ia menikah.” Juga mereka yang mengatakan, “Dakwah dan Jihad bagi wanita hanya dibebankan kepada mereka yang lulusan pondok atau sarjana agama.” Tetapi Islam menetapkan bahwa iqomatuddien ini adalah kewajiban semua wanita tanpa ada pengecualian.
- Pendamping suami
Wanita tercipta dari sulbi laki-laki, ia diciptakan untuk menjadi mitra laki-laki dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh Allah. Tugas ini akan bertambah sukses jika laki-laki sudah memiliki ‘teman’ setia dalam mengarungi kehidupan ini. Seorang istri-lah yang akan menjadi mitra perjuangan seorang muslim.
Diantara kewajiban syar’i yang dibebankan oleh Islam kepada seorang muslimah adalah melayani dan membuat hati para suami senang, mengurangi beban dakwah suaminya serta fokus mengurus rumah tangga. Maka menjadi keharusan bagi seorang wanita untuk tinggal di rumah tidak keluar darinya kecuali karena kebutuhan yang mengharuskan untuk keluar rumah.
Allah Subhanahu Wataala berfirman :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Ahzaab: 33)
- Menjadi Pendidik yang tangguh
Telah terbukti bahwa wanita mempunyai sifat penyayang yang sangat besar dan sangat menentukan dalam pendidikan anak. Karena jiwa pendidik, penyayang dan penyabar sangat dibutuhkan oleh seorang anak, terutama pada masa pertumbuhan. Sifat-sifat ini didapatkan dalam jiwa para wanita, dan jarang didapatkan pada laki-laki.
Para ulama ahli pendidikan menyatakan: “Kalau ingin mengetahui masa depan suatu kaum/Negara 20 tahun yang akan datang, lihatlah kondisi generasi muda saat ini.” Artinya kalau generasi muda saat ini senang hura-hura, foya-foya, glamour dan menghamburkan harta, cinta ketenaran. Maka jangan diharapkan mereka bisa memegang tampuk pemerintahan dengan benar.
Seorang ulama yang tersohor, Ibnu Taimiyah berkata, “Ketentuan yang tepat dalam pendidikan anak adalah; ketika pengasuhan anak banyak tertumpu pada kasih sayang, pendidikan, sabar dan lemah lembut, maka orang yang paling layak mengasuh anak adalah orang yang memiliki sifat-sifat tersebut. Maka kaum wanita sangat cocok dalam hal ini, jadi seorang ibu lebih didahulukan dari pada seorang bapak.”
Penghormatan Islam Kepada wanita
Perintah untuk berdiam di rumah bagi wanita merupakan salah satu bentuk penghormatan yang sangat istimewa bagi mereka. Mereka ibaratnya seorang raja, tugas mereka adalah mengurus rumah tangga suaminya dan mendidik anak-anaknya hingga mereka menjadi kader pejuang Islam, sedangkan kebutuhan mereka dibebankan kepada suami mereka.
Seorang ibu adalah tempat buaian pertama seseorang anak sebelum ia dilahirkan di dunia ini. Ibulah yang menjaga dan merawat ketika ia masih dalam kandungan. Hanya wanita yang tidak memiliki perasaan yang tega menelantarkan anaknya setelah lahir di dunia, anaknya dibiarkan untuk dididik oleh lingkungan yang rusak atau TV yang senantiasa menyuguhkan syahwat dan syubhat. Sementara ia –karena cinta harta- lebih asyik mencari ‘tambahan’ materi padahal suaminya telah mencukupinya.
Tentang wanita yang ideal dalam Islam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّلاتِيْ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِيْ مَالِهَا وَنَفْسِهَا”
“Sebaik-baiknya wanita (istri) adalah yang jika engkau melihatnya ia menyenangkanmu; jika engkau menyuruhnya, ia akan mentaatimu; jika engkau tinggal, ia selalu menjaga harta dan dirinya (kehormatannya).” (HR Ibnu Abi Hatim)
Walaupun di sana ada yang memang keluar mencari kerja karena kebutuhan yang mendesak, dalam hal ini para ulama memperbolehkannya tapi dengan syarat tetap menjaga adab dan hijabnya sebagai wanita muslimah serta aman dari fitnah, tidak berikhtilath dengan laki-laki ajnabiy.
[Majalah An-Nuur]