Seseorang datang kepada Imam Ahmad untuk mengadukan kekerasan hatinya. “Lembutkanlah hati kalian,” ujar Imam Ahmad, “dengan hanya mengasup makanan yang halal.”
“Sebab dengan makanan yang halal itulah,” demikian Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam Ath Thibun Nabawi, “zat-zat yang masuk ke tubuh menjadi ramah kepada fitrah, ia turut mensucikan darah, lalu hati yang menjadi pusat peredarannya terbasuh sudah. Qalbu itu, yang juga menjadi kedudukan nuraninya akan senantiasa mendapat gizi dari unsur-unsur yang sehat. Sebab, tiap butir dalam makanan yang halal lagi thayyib, sesungguhnya senantiasa berdzikir kepada Allah.”
“Hati yang semacam itu akan mudah mengingat Allah,” lanjut beliau, “sebab padanya tumbuh khasyah. ia terus merunduk, mudah diingatkan jika lalai, mudah diluruskan jika bengkok, mudah dibetulkan jika keliru. Ia merasai pengawasan Allah, melakukan muhasabah, dan menguatkan mujahadah. Ia juga rendah hati pada sesama, melihat dirinya sebagai yang terus belajar lagi membenahi diri. Inilah hati yang lembut, sebab tubuhnya hanya diberi asupan yang diridhai Allah.”
Begitupun jua terkisah sebuah kunjungan Imam Syafi’i saat beliau menginap di rumah Imam Ahmad, tak tersisa sedikit pun jamuan yang dihidangkan kecuali telah disantap lahap oleh Imam Syafi’i. Karena kehalalan yang terjaminkan dari rumah Imam Ahlu Sunnah ini. Dari makanan halal itulah lahir keberkahan yang menjadikan hamba mampu mentaati Allah dalam setiap keadaan.
Makanan halal itu mengokohkan ketaatan bagi sehenap anggota badan. Seluruh bagian tubuh yang tumbuh dari zat-zat bersih, halal, baik, dan suci akan ringan memenuhi panggilan pengabdian. Lembar-lembar mushaf jadi tampak indah dan tak membosankan. Adzan jadi terasa merdu dan terindu. Lapar puasa jadi terasa lezat dan syahdu. Mengeluarkan harta jadi terasa ringan dan nikmat. Bahkan jihad serta syahid terasa agung dan sama sekali tak menjerikan hati.
Sebaliknya anggota tubuh yang tumbuh dari barang haram, mudah bergeletar jika berdekat dengan dengung kemaksiatan. Mata yang dialiri gizi tak halal, tertagih menikmati pandangan yang lucah dan terlarang. Juga telinga yang tersusun atas zat-zat tak suci, lebih suka mendengarkan dusta, gunjing, adu domba, dan ketidakbaikan. Lidah yang tumbuh dari rezeki terdosa, lebih ringan memfitnah, mencela, dan berghibah. Tangan jadi lebih tega menganiaya dan mengembil hak sesama. Dan kaki pun jadi berat dibawa ke masjid dan majelis ilmu. Bahkan ia sulit dikendalikan dari langkahnya ke tempat kemaksaiatan. Semoga Allah menjaga kita semua dari yang demikian.
Kita teringat dengan sahabat Abu Bakar saat beliau memasukkan jadi ke pangkal lidah lalu dimuntahkan apa yang telah beliau masukkan. “Andaikan makanan itu tidak bisa keluar, kecuali ruhku juga harus keluar,” demikian beliau berkata setelahnya, “aku akan tetap mengeluarkannya. Ya Allah aku berlepasa diri dari setiap yang masuk ke urat dan yang berada di lambung.”
Sebagian kalangan menilai hal semacam ini berlebihan. Namun patut diingat Imam Syafi mencatat hal penting, bahwa andaipun dosanya diampuni, dampak buruk dari bercampurnya barang haram kepada anggota tubuh akan tetap terasa memberi pengaruh. [Majalah An-Nuur edisi 41/2015]