“Dengar-dengar Umar dapat rangking satu bu? Nilai terbaik sekabupaten lagi, apa benar itu ?” tanya seorang penjual sayur, “Alhamdulillah, saya juga tidak menyangka Umar bisa seperti itu,” jawab Aisyah sambil tersenyum mendengar anaknya dipuji. “Wah, hebat dong!” sahut Aminah yang sudah dari tadi juga memilih sayuran yang akan ia beli, “Lalu Umar mau meneruskan sekolah dimana?” tanyanya pada Aisyah. “Insya Allah mau kepesantren,” jawab Aisyah singkat. “Kepesantren? apa gak sayang bu? Umar kan pintar, nilainya bagus-bagus, tertinggi sekabupaten lagi, kenapa tidak di masukkan kesekolah negeri favorit aja?” Pertanyaan bernada heran ditanyakan pada Aisyah. Sambil tersenyum Aisyah menjawab, “Enggak bu, Umar sendiri yang minta, dia ingin lebih mendalami ilmu agama.” “Ooowhh..” sahut penjual sayur , Aminah dan beberapa ibu yang dari tadi memperhatikan percakapan tersebut takjub.
Fenomena ini tidak asing di masyarakat kita, bahkan kita sendiri mungkin adalah salah satu dari mereka yang merasa kurang setuju dengan apa yang dilakukan Aisyah, merasa percuma dengan kecerdasan anak yang luar biasa, jika akhirnya hanya di masukkan kepesantren saja. Susah mendapatkan pekerjaan, cita-cita menjadi pegawai tidak terwujudkan dan gambaran masa depan suram lainnya menjadi alasan yang menguatkan pertimbangan.
Memang tidaklah salah menginginkan anak memiliki kesuksesan dalam urusan dunia, mendapatkan pekerjaan yang layak dan meraih kehidupan yang bahagia. Namun menjadi memprihatinkan jika ukuran sukses yang kita pahami hanya diukur dari materi dan dunia yang dimiliki, menjadi pejabat tinggi, meraih kedudukan yang dihormati. Disisi lain pemahaman dengan agamanya, urusan ibadahnya, keyakinan terhadap Allah dan Rasul tidak Ia kuasai dengan benar. Akhirnya banyak yang katanya memiliki Ilmu yang tinggi, akat tetapi saat menjadi pejabat akhlak dan perbuatannya rusak dan tidak bermartabat. Na’udzubillah..
Diantara manusia ada yang lebih mengutamakan hal yang dhohir di dunia dan melupakan urusan yang besar tentang akherat atau agama. Akhirnya banyak diantara orang tua yang rela mengeluarkan banyak harta untuk membiayai anaknya les matematika, les komputer, dan ketrampilan lainnya, namun tidak pernah memikirkan bagaimana bacaan Al-Qur’an buah hatinya.
Alangkah baiknya jika kita mau merenungi ayat berikut sehingga kita terhindar dari sikap orang kafir terhadap dunia, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar-benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun mereka tak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan & permainannya yang ada. Mereka tak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tak tahu bahaya dunia & tak tahu kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tak mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian, pembangunan, bercocok tanam, & selain itu. Sedangkan mereka terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Ali bin Abu Tholib radhiyallahu anhu pernah berkata, ketika ditanya seseorang tentang keutamaan ilmu dibanding harta, “Ilmu agama itu jauh lebih baik daripada harta dunia. Hal ini dikarenakan beberapa hal, yaitu :
1. ilmu agama itu akan menjagamu (dari keburukan-keburukan). Sedangkan harta dunia, engkaulah yang menjaganya.
2. Harta dunia akan berkurang dengan dinafkahkan (dibelanjakan). Sedangkan ilmu agama semakin bertambah dengan diinfakkan (yakni diajarkan dan didakwahkan kpd orang lain).
3. Ilmu Agama mendatangkan amal ketaatan bagi pemiliknya di dalam kehidupan (dunia)nya, dan peristiwa-peristiwa indah sesudah kematiannya. Sedangkan kejadian-kejadian yang ditimbulkan oleh harta dunia akan lenyap dan berakhir bersamaan dengan lenyapnya harta dunia. (Lihat Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih karya Al-Khothib Al-Baghdadi I/50, Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani I/80, dan Miftahu Daari as-Sa’aadati, karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah I/123).
Dan yang terakhir, masih Ingatkah kita dengan wasiat Nabi Ya’qub ‘alaihi wa salam kepada anaknya? sebelum beliau meninggal dunia, beliau masih sempat mengingat tentang perkara besar yang dikhawatirkan pada anak keturunannya. Allah subahanahu wa ta’ala berfirman : ”Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya. ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalanku?’ Mereka menjawab, ‘kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri pada-Nya.” (Q.S Albaqarah : 133)
Nabi Ya’qub ‘Alaihi wa salam mengkhawatirkan bagaimana ibadah anaknya, apa yang akan disembah anaknya ketika ia telah tiada, bukan mengkhawatirkan tentang bagaimana mereka mencukupi kehidupan mereka di dunia. Wallahu a’lam bis sowab. [Muslim/Majalah An-Nuur-Ed.24/2013]