Secara umum, Islam memandang hujan sebagai kehidupan dan berkah. Karena Allah menghidupkan banyak hal dengan wasilah air (Al-Anbiya : 30).
Betapa banyak tumbuhan, hewan, padang lapang dan manusia hidup dengan wasilah air dan betapa banyak keberkahan muncul dengan adanya hujan. Pepohonan berbuah, bunga-bunga bermekaran, dan tanah-tanah kembali asri.
Dengan hujan pula Allah menumbuhkan asa bagi orang-orang yang alpa dan menyebarkan rahmat-Nya (Asy-Syura: 28).
Di antara sekian rahmat itu adalah pembolehan menjama’ karena hujan. Sebuah keringanan bagi para hamba untuk dapat menggabungkan dua waktu shalat dalam satu waktu. Karena disetiap masyaqqah (beban) itu pasti ada taysir (kemudahan). Dibalik kesusahan pastilah muncul keringanan.
Berikut 10 pertanyaan populer seputar jama’ mathar (menggabungkan dua waktu shalat menjadi satu waktu karena sebab hujan) ditinjau dari prespektif fikih.
1. Apakah jama’ mathar memiliki dalil sharih?
Secara umum para fuqaha’ sepakat perihal jamak shalat ketika hari Nahr di Arafah dan Muzdalifah. Bahkan banyak diantara mereka yang menghukumi ijma’.[1] Sedangkan dalil jama’ mathar, tidak ada dalil sharih dari Nabi tentang hal itu.
Imam Syaukani berkata: “Adapun jama’ karena sakit, ketakutan dan hujan, tidak ada dalil khusus yang menguatkan kecuali hanya pemahaman obyektif dari perawi perawi hadits tentang jama’-nya Rasul ketika di Madinah.[2] Meski demikian, jama’ mathar termasuk masalah yang telah lama dilakukan oleh penduduk Madinah di zaman sahabat dan tabi’in. Di sisi lain, tidak ada satu atsar-pun dari sahabat dan tabi’in yang mengingkari hal itu. Maka diketahui bahwa masalah ini hukumnya boleh secara mutawatir.”[3]
Tentang kebolehan jamak mathar bagi penduduk setempat (muqim), fuqaha’ menyandarkan pada beberapa atsar shahih dari para sahabat. diantaranya dari Abdullah bin Abbas dan juga dari Jabir bin Abdillah.[4]
Diriwayatkan oleh Imam Malik dari Abu Zuhair al-Makki dari Said bin Jubair dari Abdullah bin Abbas beliau berkata: “Bahwa Rasulullah shalat Dzuhur dan Ashar secara jama’, Maghrib dan Isya’ secara jama’. Bukan karena suatu (udzur) ketakutan ataupun safar.” Malik berkata : “Saya berfikir kejadian itu terjadi karena hujan.”[5]
Juga terdapat ziyadah lafal dari Zuhair : Saya bertanya kepada Said : “Kenapa beliau melakukan itu?,” ia berkata : “Saya pernah bertanya kepada Ibn Abbas seperti apa yang kamu tanyakan?” Ia menjawab : “Beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya”.[6]
Ditambah muttabi’ dari Amru bin Haram dari Said dengan lafal: Bahwa Ibnu Abbas men-jama’ antara Dzuhur dan Asar karena suatu kesibukan (شغل), beliau berhujjah karena Rasulullah pernah shalat Dhuhur dan Asar secara jama’ di Madinah delapan rakaat tidak ada diantara keduanya suatu (pemisah) apapun.[7]
Diriwayatkan pula dalam peristiwa lain, dari Abdurrahman bin Alqamah ats-Tsaqafi bahwa utusan dari Tsaqif tiba dihadapan Rasulullah dan memberi beliau hadiah, kemudian beliau bertanya : “Sedekah atau hadiah? karena sedekah itu bertujuan untuk (mencari) wajah Allah sedangkan hadiah itu bertujuan untuk wajah Allah dan menyelesaikan urusan,” beliau menanyakannya hingga tidak shalat Dzuhur kecuali bersama Ashar.”[8]
Dan juga terdapat banyak atsar sahabat yang mengamalkannya. Seperti: Abdurahman bin Auf, Umar bin khattab. Ibnu Umar bahkan menghasung ketika para penguasa men-jama’ shalat Maghrib dan Isya’ saat hujan untuk turut men-jama’ bersama mereka. Aban bin Utsman juga pernah men-jama’ shalat karena hujan di malam hari, dan sholat dibelakangnya; Urwah bin Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, Abu Bakr bin Abdurrahman, tak satupun dari mereka yang mengingkari.[9]
2. Adakah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama?
Dalam preskpektif fikih, jumhur fuqaha’ memandang, bolehnya menjama’ shalat karena hujan. Termasuk kelompok syi’ah Imamiah juga melegalkan jama’ secara mutlak. Yaitu jama’ dalam pengertian menggabungkan dua shalat dalam satu waktu, atau yang biasa disebut jama’ waqt (karena dilakukan pada satu waktu), Jama’ Muqorin (karena dilakuan beriringan) dan Jama’ Qaran (menurut madzhab Ibadhiyah).
Lain halnya dengan madzhab Hanafiah, mereka justru melarang jama’ secara mutlak. Baik ketika mukim atau safar, karena alasan hujan atau sakit, karena lumpur atau ketakutan, semua bentuk jama’ tidak diperbolehkan kecuali jama’ di Arafah dan Muzdalifah sebab hanya jama’ tersebut yang memiliki dalil sharih dari Nabi.[10]
Beliau mengambil pendapat ini dari Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari Abdullah bin Mas’ud.[11] dikuatkan dengan riwayat Ibn Abidin bahwa Ibunda Aisyah mengingkari orang yang berpendapat bolehnya jama’ shalat dalam satu waktu.[12]
Pendapat ini juga diambil oleh sejumlah salaf seperti Hasan al-Bashri, dan Ibn Sirrin, Makhul, Laits bin Sa’ad. Dan sejumlah muhadits seperti al-Baghawi, Khattabi, Imam Bukhari, Tirmidzi, dan Ibnu Hazm.[13]
Sedangkan jama’ yang diperbolehkan menurut Hanafiah adalah: mengakhirkan shalat pertama hingga akhir waktu, kemudian dilanjutkan dengan shalat kedua.[14] Atau disebut juga dengan jama’ fiil, jama’ muwashalah, jama’ shuri, dan jama’ maknawi [15].
Mereka berdalil dengan hadits dari Mughirah bin Ziyad al-Mushuli dari Atha’ dari Aisyah: Bahwa Rasulullah mengakhirkan Dhuhur dan menyegerakan Ashar, mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan Isya’ ketika safar.”[16]
Terlepas dari berbagai khilaf diatas hendaknya kita tidak bermudah-mudah dalam menjama’ shalat ketika hadhar (mukim). Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhah Thalibin berkata : “Meninggalkan jama’ itu lebih utama. Tidak ada perbedaan apapun (masalah ini), maka hendaknya ia shalat disetiap waktu agar terhindar dari khilaf, karena Abu Hanifah dan beberapa tabi’in juga tidak membolehkannya.”[17]
3. Hujan seperti apa yang membolehkan seseorang men-jama’ shalat?
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni berkata : “Hujan yang membolehkan jama’ adalah yang membasahkan baju dan disertai masyaqqah (kesulitan) ketika perjalanan (ke Masjid). Adapun gerimis dan hujan ringan yang tidak sampai membasahkan baju, tidaklah diperbolehkan.”[18] sebagian fuqaha’ mengidentifikasikan hujan yang membasahi baju adalah hujan deras atau ketika perasan baju yang basah terkena hujan bisa meneteskan air.
Perihal jalan yang berlumpur (wahl), madzhab Hanbali membolehkan jama’ karenanya.[19] Dan Malikiah memberi syarat tambahan; harus disertai kondisi gelap malam yang tidak ada cahaya bulan. Adapun fuqaha’ lain seperti Syafi’iyah, Abu Tsaur dan Thabari tidak memperbolehkan jama’ hanya karena jalan berlumpur tanpa hujan.[20]
4. Benarkah harus dilakukan beriringan tanpa jeda (muwalah)?
Madzhab Malikyiah dalam hal ini mewajibkan secara mutlak adanya muwalah ketika jama’. Yaitu paling lama sekedar rentan waktu satu kali adzan atau sekedar iqamah dan wudhu saja[21]. Oleh karena itu menurut mereka makruh hukumnya melaksanakan nafilah diantara dua shalat jama’.[22] Lain halnya dengan Madzhab Syafi’iah dan Hanabilah, mereka hanya mensyaratkan muwalah ketika jama’ taqdim saja, karena memang terdapat nashnya. Adapun acuan lama dan sebenar menurut mereka tergantung pada urf/ adat.[23]
5. Apakah pelaksanaanya harus di masjid?
Para fuqaha’ Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat untuk melarang jama’ mathar di rumah. karena mereka mensyaratkan niat imamah (berjama’ah) ketika takbiratul ihram seperti shalat jum’at. jika tidak, maka shalat jama’-nya tidak sah.[24]
Madzhab Malikiyah menambahkan; masjid disini adalah tempat shalat dalam artian luas, meskipun tidak didirikan shalat Jum’at didalamnya.[25]
Mereka juga membolehkan jama’ bagi Imam Rawatib, para penghuni Zawiah, Madrasah, dan Turbah namun secara taba’. yakni mengikut maslahat jama’ah yang berjarak jauh dari masjid. bukan secara hukum asal (istiqlal).[26]
Perihal jama’ mathar Madzhab Hanabilah adalah madzhab yang paling luas. Menurut salah satu riwayat Ahmad dan dipilih oleh Ibnu Uqail: boleh hukumnya jama’ mathar secara munfarid di masjid.[27] bahkan al-Mardawi dan Al-Qadhi membolehkan jama’ mathar berjama’ah di rumah.[28]
Madzhab Malikiyah juga memperbolehkan jama’ munfarid di tiga masjid mulia; masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha. Khusus orang yang tidak bisa tinggal hingga shalat kedua, hal ini karena besarnya pahala jama’ah di tempat tersebut.[29]
6.Bolehkan jama’ bagi orang yang tidak terbebani dengan hujan?
Pertanyaan ini juga pernah ditanyakan langsung kepada Imam Malik. Beliau pernah ditanya tentang kaum yang memiliki rumah dekat masjid. Jika keluar dari rumah langsung berhadapan dengan masjid. Namun jama’ah yang lain tinggal jauh dari masjid. Apakah semuanya boleh menjama’ shalat ketika hujan?, beliau menjawab : “Saya berpendapat, hak menjama’ sholat adalah sama rata. sebab rukhshah (keringanan) Jama’ itu dibolehkan karena masyaqqh bagi orang yang jauh. Dan orang yang tinggal dekat juga turut mengikut (mendapatkan hak jama’)”[30]
Sedangkan Syafi’iyah dan Abu Tsaur berpendapat; rukhshah jama’ hanya berlaku bagi orang yang jauh dari masjid dan yang terganggu hujan dalam perjalanan. Maka baik itu yang shalat jama’ah di rumah, atau orang yang tidak terganggu hujan, atau orang yang pintu rumahnya tepat didepan masjid, atau para wanita yang jama’ah di rumah, atau laki-laki di masjid namun shalat munfarid tidaklah diperbolehkan menjama’ sholat karena hujan.[31]
7. Bagaimana Jama’-nya orang yang tetap di masjid hingga waktu shalat kedua ?
Pada dasarnya tujuan utama dari jama’ mathar adalah sebagai rukhshah bagi jama’ah yang terganggu untuk datang di waktu sholat kedua. Oleh karena itu, banyak fuqaha’ yang mempersoalkan hukum orang yang tidak terkena dampak masyaqqah. Termasuk orang yang tidak pulang hingga waktu sholat berikutnya tiba. Al-Khurasyi menjelaskan : “Tidak ada unsur masyaqqah. Sebab mereka tidak ada niatan untuk inshiraf / pergi dari masjid.”[32]
Ridwan bin Ahmad al-Awadhi dalam kitabnya memperinci bahasan jama’ bagi para pekerja dan pelajar yang tidak memiliki asrama atau bangunan (diluar lokal masjid) untuk pulang (inshiraf).
Pertama; jika dipastikan mereka pulang dari pekerjaan atau acara sebelum masuk waktu shalat kedua, maka diperbolehkan untuk jama’.
Kedua; jika mereka dijadwalkan pulang setelah waktu shalat kedua. Maka dilihat, apakah bangunan tersebut satu komplek atau tidak, jika masih dalam satu lingkup maka diutamakan untuk tidak men-jama’.
Ketiga; jika asramanya berada diluar komplek masjid, maka hukumnya merujuk pada salah satu pendapat dari Malikiyah atau Syafi’ah tentang para ahlu zawiyah dan madrasah.[33]
Namun, jika memang seseorang setelah men-jama’ shalat masih tidak pergi hingga waktu shalat kedua. Disunahkan baginya untuk mengulang shalat. Dan hendaknya bagi para imam mewasiatkan kepada mu’takif (orang yang berdiam diri di masjid hingga shalat berikutnya) untuk mengimami shalat dengan jama’ah lain (yang tidak men-jama’ shalat).[34]
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Mihjan ad-Dailami dari bapaknya, ia berkata: “Aku mendatangi Nabi ketika beliau di masjid …” kemudian datang waktu shalat dan beliau shalat. Setelah itu beliau bertanya : “Kamu tidak (kut shalat?,” ia berkata: “Wahai Rasulullah aku sudah shalat di kampung, lantas aku mendatangimu.” Maka beliau bersabda: “Jika demikian maka shalat-lah bersama mereka dan jadikan itu sebagai nafilah”.[35]
8. Bolehkah men-jama’ setelah imam Rawatib selesai men-jama’?
Khilaf hukum masalah ini menginduk pada perbedaan hukum kebolehan dua jama’ah dalam satu masjid. Kalangan yang memakruhkan dua jama’ah dalam satu masjid sudah pasti tentu memakruhkan jama’ setelah jama’ah imam rawatib.
Seperti Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm beliau memakruhkan adanya jama’ah sendiri dalam satu masjid yang punya imam Rawatib tetap.[36]
Syaikh Ali al-Adawi menambahkan : “Alhasil jika ia mendapati mereka (Jama’ah imam rawatib) telah selesai maka tidak boleh bagi dia untuk menjama’ sendiri tidak pula dengan jama’ah lainnya”[37]
Adapun kalangan yang membolehkan dua jama’ah dalam satu masjid, mereka membolehkan hal ini. Karena tidak disyaratkan shalat jama’ itu harus dengan imam dan makmum yang sama.
Maka jika seseorang shalat pertama kemudian menjadi imam atau makmum di shalat kedua, atau imam pertama berbeda dengan kedua, atau shalat bersama imam yang jadi makmum pada shalat pertama tadi, atau niat jama’ dibelakang orang yang tidak men-jama’, atau sebaliknya, semua bentuk diatas adalah sah.[38]
9. Bagaimana dengan adzan dan sunah rawatib ketikan jama’ mathar?
Dalam madzhab Malikiyah dijelaskan bahwa adzan dan iqamah ketika jama’ mathar tetap ada dua kali. Dengan rincian adzan shalat maghrib dikumandangkan di menara pada awal waktu, kemudian shalat maghrib. Dan adzan isya’ hanya dikumandangkan di pekarangan masjid atau di Mihrab dengan suara yang lirih.[39]
Pendapat ini menyelisihi jumhur fuqoha’ yang berpendapat tidak ada adzan ketika jama’ kecuali sekali dan setiap shalatnya terdapat iqamah khusus.[40] Mereka berdalil dengan perbuatan Nabi ketika di pandang Arafah.[41]
Adapun masalah shalat rawatib Maghrib dan Isya’ ketika jama’ mathar, Imam Nawawi berkata : “Ketika seseorang menjama’ Maghrib dan Isya’, maka ia shalat dua fardhu dahulu, kemudian baru sunah maghrib kemudian sunah isya’. Tidak ada khilaf diantara ulama’ tentang hal ini.”[42]
10. Bagaimana hukum orang yang biasa terlambat shalat, namun ketika turun hujan, ia bersegera ke masjid, untuk bisa men-jama’?
Orang seperti kondisi diatas hukum jama’-nya sah dan tidak ada cacat.[43] Termasuk menyengaja memilih masjid yang biasa men-jama’ shalat karena udzur hujan tidak diragukan lagi perbuatan ini masuk dalam rukhshah macam pertama, yaitu rukhshah yang disyari’atkan. Karena memilih pendapat yang lebih ringan itu lebih afhdhal di sisi Allah dan lebih dekat dengan sunah Nabi.”[44] Wallahu a’lam bi ash-Shawab. [Izzuddin Hadidullah]
Disarikan dari kitab : Mukhtashar fi Ahkami Jami’ shalatain li Udzri Mathar yang ditulis oleh Syaikh Ridwan bin Ahmad al-Awadhi. Terbitan Dar Ibn Hazm, cetakan I 1421 H. Dengan sedikit penambahan.
***
[1] Ijma’ : Ibn Mundzir: (1/ 38), Bidayatul Mujtahid: Ibn Rusyd : (1/170), Maratib Ijma’: Ibn Hazm : (1/52).
[2] Sail Jarar ala Hadaiq Azhar: Muhammad bin Ali Syaukani, Dar Kutub Ilmiah, cet. I : (1/193).
[3] Majmu’ Fatawa: Ibn Taimyiah, Ibnu Qasim al-Majdi, cet. I : (24/83).
[4] Syarh Ma’ani: Abu Ja’far ath-Thahawi, Dar Kutub Ilmiah, cet.I (1/161, Ibn Abi Hathim : Ilal : (1/116), Kifayah fi Ilmi riwayah: Khatib Baghdadi (1/241).
[5] Shohih Muslim: (1/489), Abu Dawud : (No.1210), Shahih: Ibn Huzaimah (No.972), Shahih : Ibn Hibban (No.1594). Muwatha’: Imam Malik (No.300).
[6] Mu’jam Kabir: Thabrani (12/74), Shahih Muslim (50/705).
[7] Musnad: Abu Dawud Thoyalisi: (No.2614), Sunan Nasa’i (1/286).
[8] Tarikh Kabir: Bukhari (1/3/250), Mujtaba: Nasaa’i (26/279) Musnad: Thayalisi (1/126)).
[9] Tamhid lim fil Muwatha’ minal Ma’ani wal Asanid: Ibn Abdil Baari (12/212), Mushannaf : Abdurrazzaq (2/556, 1/145), Muwatha’: Imam Malik (1/145) Mushanaf: Ibn Abi Syaibah (2/234), Sunan: Baihaqi (3/169).
[10] Syarh Fathul Qadir, Kamaludin Ibn Humam, Dar Ihya’ Turath: (2/468-470).
[11] Dalail Hikam, Abu Mahasin Yusuf al-Asadi, Ibn Syadad (2/283).
[12] Radul Mukhtar Hasyiah Ibn Abidin, Dar Fikr, cet.II (1/382).
[13] Tharhu Tatsrib Syarh Taqrib: Abul Fadhl Zanudin al-Iraqi, Dar Ihya’ turath (3/127), Mushannaf Abdurrazzaq: (No.4428), (Ma’rifah wa Tarikh: Abu Yusuf Ya’qub bin Sufyan al-Farisi: (1/687), Fathul Baari: Ibn Hajar (2/23), Jami’ Tirmidzi: (No.1357), al-Muhalla: Ibn Hazm (3/171).
[14] al-Mabsut, Abu Sahl as-Sarkhasi, Dar Ma’rifah, cet. III (4/14)
[15] Ihkam Ahkam, Ibn Daqiq, Dar Kutub Ilmiah: (2/98).
[16] Mushonnaf Ibn Syaibah (2/457), Musnad Ahmad: (6/135), Matholib Aliah: Ibnu Hajar al-Asqalani, Wuzarah Auqaf Kuwait, cet. II (1/178).
[17] Raudhah Thalibin: an-Nawawi, Maktabah Islamiyah, cet. 1386 H : (1/403).
[18] al-Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Kutub Arabiah, cet. 1403 H (2/203).
[19] Mubdi’ Syarh Muqni’, Ibn Muflih, Matabah Islamiyah, cet. I : (1/39).
[20] Al-Umm, Imam Syafi’i, Dar Fkir, cet.II (1/96), fikih Abu Tsaur: Sa’di Husain Ali, Dar furqan, cet. I (1/250), Tamhid, Ibnu Abdil Baari (12/212)
[21] al-Mughni, Ibn Qudamah (2/279).
[22] Mawahib Jalil Syarh Mukhtashor Khalil, Abu Abdurrahman al-Hathab, Dar Fikr, cet. II (2/157) (Dzakhirah, Syihabudin al-Qarafi, Dar Gharb Islami (2/376).
[23] Fathul Jawwad, Ibnu Hajar al-Haitsami (1/195)
[24] Hasyiah Syarh Minhaj Thullab, Sulaiman al-Bujairami (1/330).
[25] Hasyiah Dasuqi, Muhammad Arafah ad-Dasuqi: (1/370), (Tuhfah Muhtaj: Ibn Hajar al-Haitsami (2/403).
[26] Syarh Ibn Naji ala al-Risalah, Qasim bin Isa bin Naji (1/197), (Syarh Minahil Jalil: Muhammad Ulaisy: (1/254).
[27] Mawahib Jalil, Abu Abdurrahman al-Hathab (2/158).
[28] Inshaf fi Ma’rifati Rajih minal Khilaf, Ibn Mardawi (2/339).
[29] Taj wa Iklil, Muhammad bin Yusuf Abu Abdillah al-Mawwaq : (1/157).
[30] Bayan wa Tahshil, Ibn Rusyd (1/403-404).
[31] Raudhah Thalibin, Yahya bin Syaraf an-Nawawi (1/399).
[32] Syarh Mukhtashar Khalil, Abu Abdillah Muhammad al-Khurasyi (1/426).
[33] Mukhtashor fi Ahkami Jami’ shalatain li Udziri Mathar, Ridwan bin Ahmad al-Awadhi’: (1/234).
[34] Mawahib Jalil, Abu Abdurrahman al-Hathab (2/157).
[35] Musnad Ahmad, (4/338).
[36] Al-Umm, Imam Syafi’i (1/180-181).
[37] Syarh Mukhtashar Khalil, Ali Al-Adawi (1/425).
[38] Mukhtashor fi Ahkami Jami’ shalatain li Udziri Mathar: Ridwan bin Ahmad al-Awadhi : (1/264).
[39] Istdzkar, Abu Umar Yusuf bin Abdillah: (6/31).
[40] Irsyad Sari, Ibn Hajar al-Asqalani (3/205), Fathu Rabani: Syaukani (5/135), Ittihaf Saadah Mutaqin, Ibn Muhammad az-Zabidi (4/388).
[41] Shahih Muslim: (No.1218).
[42] Raudhah Thalibin, an-Nawawi (1/402)
[43] Mi’yar Muara, Abu Abbas Ahmad bin Yahya al-WanSyuraisi: (1/204).
[44] Ridwan bin Ahmad al-Awadhi dalam kitab Mukhtashar fi Ahkami Jami’ shalatain li Udziri Mathar (hlm. 32).