Metode pembelajaran adalah salah satu aspek penting dalam dunia pendidikan. Bukan tanpa tujuan, metode pembelajaran dibentuk dan diciptakan dengan fungsi dan tujuan tertentu.
Dalam perspektif Islam, metode merupakan cara kerja yang teratur dan sistematis serta memikirkan semua faktor-faktor yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam atau untuk menyampaikan materi-materi pendidikan agama Islam secara efektif dan efisien.
Pernyataan tersebut subtansinya hampir serupa dengan pernyataan Syaikh Abu Malik Wail al-Awdhi, salah seorang ulama kontemporer yang menaruh perhatian besar dalam pendidikan Islam; bahwa hakekat menuntut ilmu itu bukan terpaku pada metode, cara, atau tingkatan tertentu, melainkan ada pada metode yang ditapaki seorang murid selama masa belajar. Dalam artian, harus ada sistem menyeluruh yang yang menghantarkan seorang murid pada tujuan belajarnya.[1]
Metode Belajar ala Salaf
Dahulu, para ulama’ salaf memusatkan pembelajaran di masjid-masjid menggunakan sistem halaqah. Menjadikan masjid sebagai pusat pembelajaran. Sistem halaqah inilah yang di kemudian hari melahirkan para ahlul ilmi dari masa ke masa.
Hari ini model halaqah oleh sebagian pegiat pendidikan Islam mulai diaktualisasikan kembali dengan istilah Mulazamah. Disebut Mulazamah karena seorang murid selalu mendampingi syaikh dan belajar secara langsung darinya.
Selain Mulazamah, istilah yang tak kalah popular lainnya adalah istilah ta’shil al-ilmi. Yaitu sistem study yang mengedepankan pendalaman dan penghayatan kaedah dan pokok dalam satu bidang ilmu.
Imam Syafi’i (150 – 204 H) berkata : “Tidaklah aku berdiskusi dengan orang yang fokus dalam satu bidang kecuali ia mengalahkanku, dan tidaklah aku berdiskusi dengan orang yang fokus dalam banyak bidang kecuali aku mengalahkannya.”(al-Jawahir wa Durar fi Tarjamah Syaikh Islam Ibn Hajar: Vol.1/ Hlm. 272), al-Qasim bin Salim (157 – 224 H) menambahkan: “Khusus dalam bidangnya.” (Al-Ilma’, hlm. 221). Inilah titik keunggulan metode salaf dalam belajar.
Istilah Mulazamah dan Ta’shil Ilmi sendiri dalam ranah pendidikan Islam boleh dikata masih bias, karena secara konseptual boleh dikata belum matang, dalam arti, pada tataran aplikasi belum bisa merujuk kepada suatu model paten tertentu.
Mengapa demikian?, karena pada asalnya para salaf memang tidak mempermasalahkan metode. Dari segi data, ataupun atsar, daripada berbicara masalah metode, atsar-atsar tersebut lebih banyak menceritakan tentang maknawiyat seorang thullab dan gurunya. Selama itu ada, maka proses belajarnya akan berhasil dan sampai pada tujuan yang diharapkan.
Baru kemudian pada kisaran tahun 732 – 808, jauh beradab-abad setelah masa salaf muncul sosok sosiolog tersohor bernama Ibnu Khaldun. Beliau menawarkan sebuah terobosan metode pembenahan dalam belajar.
Konsep beliau inilah yang dijadikan dasar pijakan dalam mengimplementasikan model mulazamah dan ta’shil al-Ilmi.
Prof. Hasan Ajmi menyimpulkan, konsep yang diusung oleh Ibnu khaldun dalam kitab Muqadimah-nya memiliki lima unsur utama, yaitu : tadaruj (bertahap), tikrar (mengulang), konsistensi satu bidang, tidak terlalu fokus dalam ilmu alat dan istilah, dan menambah wawasan dengan rihlah.[2]
Ditambah lagi penerapan pendidikan penuh kasih sayang tanpa kekerasan; berasaskan kekeluargaan dan memprioritaskan penanaman adab.
Berikut penjelasannya: Pertama, tadarruj (bertahap), Ibnu Khaldun berkata; “Ketahuilah, talqin ilmu kepada murid itu efektif jika dilakukan secara bertahap. ilmu demi ilmu, sedikit demi sedikit.” (al-Muqaddimah, hlm. 65).
Hal ini senada apa yang dikatakan az-Zuhri (58 – 124 H) : “Siapa yang mendapatkan ilmu secara kontan maka akan hilang secara kontan pula … pasalnya, ilmu itu dicari seiring berlalu hari-hari.” (Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ li Khatib al-Baghdadi, No. 450 dan 452, Jami’ Bayan al- ilmi : No.652)
Kedua, tikrar (mengulang). Ibn Khaldun menawarkan konsep pengulangan kitab tiga kali pengajaran. Fungsinya, pertama: untuk memberikan proyeksi global kepada murid dan memfrasakan istilah penulis, meskipun masih bersifat segmentatif dan lemah. Kemudian yang kedua; melakukan penambahan deskripsi yang cukup serta penjelasan beberapa khilaf ulama. Agar murid mampu bersikap adil.
Adapun fungsi ketiga : berfokus untuk mengulang seluruh pembahasan secara spesifik sampai dipastikan tidak ada kalimat rumit, poin krusial, dan masalah yang sukar dipahami kecuali telah dijelaskan dan dipahami oleh murid.
Ketiga, fokus. Ibnu Khaldun memaparkan alasan logis: “Diantara metode belajar yang menarik dan substansial dalam belajar adalah tidak menggabungkan dua disiplin ilmu kepada murid dalam satu waktu. Karena ada kemungkinan salah satunya akan hilang, fokusnya akan buyar dari satu ilmu dan berfikir bias ke ilmu lain. Menyebabkan pemahamannya tertutup, mentah dan tertolak”. (al-Muqaddimah, hlm. 606)
Keempat, adab, sistem salaf dalam belajar memberikan proporsi adab yang dominan. Mendahulukan adab terhadap pengajar dahulu sebelum penyampaian materi.
Syu’bah bin al-Hajjaj (85 – 160 H) berkata : “Setiap orang yang saya pernah mendengar hadits darinya, walaupun satu kali. Saya posisikan diri saya sebagai budaknya.” (Siyar A’lam Nubala’, Vol.6, Hlm. 607)
Termasuk kultur mencium tangan, khidmat terhadap guru, larangan bertanya untuk membantah, apa lagi berdebat. Karenanya, guru juga dituntut harus menjaga prestise dihadapan murid dengan cara memberikan apa yang dia punya secara totalitas, baik berupa qudwah atau ilmunya.
Kelima, pendampingan. Ibnu Khaldun berkata : “Hendaknya guru tidak bersikap sewenang-wenang kepada anak dan murid, lantaran sikap tersebut akan menumbuhkan rasa culas, dusta dan sia-sia. Mereka menampakkan apa yang bukan dari hati karena takut akan hukuman yang menekan dan menidak. Bahkan cara itu akan mengajarkan murid untuk berbuat licik dan khianat. (al-Muqaddimah, hlm. 613)
Atas dasar itu, maka dibuatlah terobosan pendidikan tanpa sanksi fisik, melainkan melalui pendekatan kekeluargaan dan teguran.
Konsukwensinya, seorang guru dituntut fokus hidup bersama murid selama 24 jam penuh. Merangkap peran dari guru, teman curhat, pembimbing, hingga orang tua.
Itulah prototipe umum konsep pendidikan menurut Ibnu Khaldun yang dijadikan acuan sebagian modul Mulazamah hari ini.
Kecuali pada dua aspek yang dikesampingkan, yaitu: pernyataan Ibnu Khaldun untuk tidak terlalu mendalami ilmu alat, menurut beliau belajar bahasa itu cukup dengan praktik dialog langsung. Karena ilmu alat hanyalah wasilah bukan intensi utama. Penekanan proporsi ilmu alat yang berlebih akan menimbulkan pertanyaan: “Lantas kapan kita belajar ilmu maqashid.” (al-Muqaddimah, Hlm. 401)
Tetapi sebagai kaum a’jam (non-Arab), penting kiranya untuk melandasi murid dengan dasar bahasa yang kuat dahulu sebelum yang lain.
Aspek yang kedua adalah diskusi. Sebagai seorang sosiolog, Ibnu Khaldun mengerti bahwa metode diskusi interaktif antara muallim dan murid lebih efektif dan efisien.
Beliau berkata : “ … susah kiranya seorang murid mendapatkan potensi kecerdasan dalam berbagai ilmu. Adapun cara mudah mendapatkan potensi tersebut yaitu melatih lisan untuk berdiskusi dan berdialog seputar permasalahan ilmiah. Metode ini dinilai lebih dekat dan efektif. Lihatlah pada sebagian thalibul ilmi, bertahun-tahun umurnya habis untuk mulazamah di majlis ilmu. Tapi ia hanya diam, tidak pernah berdialog dan berunding. Sekedar fokus pada hafalan yang terlampau banyak dari kebutuhan. Sehingga mereka tidak mendapatkan keahlian interaktif tentang ilmu dan ta’lim.”(al-Muqaddimah, Hlm. 401)
Oleh karena menimbang konteks ke-Indonesia-an yang notabene thalibul ilmi masih berbasis masyarakat awwam. Maka metode diskusi ini diakhirkan.
Begitulah konsep salaf menuntut ilmu. Dari sejumlah atsar salaf, kemudian dirumuskan konsepnya oleh Ibnu Khaldun.
Sistem ini terbukti secara empiris mampu melahirkan para ulama lintas masa dan generasi.
Walaupun demikian, model pendidikan ini memiliki satu celah yang kiranya perlu untuk dipertimbangkan. Yaitu masa fatrah atau masa transisi satu bidang ilmu ke bidang lain setelah mengkhatamkan suatu kitab.
Jurang terdalamnya adalah lupa. Ketika suatu pembelajaran bidang ilmu tertentu teralihkan ke bidang lain, secara kausal murid akan sukar untuk menghadirkan prototipe ilmu secara inklusif. Demikian apa yang dikatakan Oleh Prof. Hasan Ajmi tentang konsep ini.
Terkait hal ini, Ibnu Khaldun sendiri sebenarnya sudah mengantisipasi permasalahan ini. Beliau mengingatkan urgensi murid memiliki gambaran utuh dari semua yang pernah dipelajari. “Jika memang ilmu-ilmu yang dipelajari diawal pembelajaran dan yang diakhir itu bisa hadir utuh dalam fikiran, dan tidak lupa. Maka potensi (keahliannya) akan lebih mudah didapatkan, lebih kuat dikaitkan dan lebih dekat untuk mengambil keputusan. Karena potensi apapun itu, didapatkan melalui konsistensi pengamalan dan mengulang ilmu. Jika ilmu itu dilupakan maka potensi itu turut lenyap.” (al-Muqaddimah, Hlm. 606-607
Modernitas Pendidikan Khas khalaf
Lain halnya dengan sistem salaf yang dominan merujuk pada para pendahulu. Sistem kontemporer dalam kependidikan justru mengacu pada perkembangan potensi dan kondisi murid yang dinamis dari masa ke masa.
Karena sudah menjadi hal yang lumrah konsep atau metode belajar adalah ruang yang luas dalam syari’at. Tidak ada kaedah normatif yang harus dijadikan patokan secara konstan, yang ada adalah prinsip-prinsip dasarnya.
Sehubung peradaban yang semakin berkembang dan sentuhan modernisasi semakin mengakar. Kondisi tersebut merubah poros pendidikan dari masjid menuju pusat-pusat kota.
Menurut Dr. Ahmad asy-Syalabi dalam kitab Tarbiyah Islamiyah setidaknya ada empat alasan mengapa poros pendidikan bergeser: Pertama, perkembangan kuantitas anak didik. Sehubung terjadi eskalasi jumlah halaqoh yang drastis maka secara tidak langsung menimbulkan kebisingan dan kegaduhan di tempat yang semestinya khusus untuk ibadah.
Kedua, perkembangan materi-materi selain dari Al-Qur’an yang menuntut pengaplikasian metode diskusi. Sehingga terkadang menjadi hiperbolis dan tidak mengindahkan norma kemasjidan.
Ketiga, formalisasi pendidikan dan insentif para guru dalam pengajaran.
Keempat, sikap atau perilakau anak-anak dan wanita yang tidak bisa total terkontrol terutama adab dan kebersihan masjid. (Tarbiyah Islamiyah, hlm. 113)
Selain bangunan fisik yang bergeser, sistem pembelajarannya juga berevolusi menjadi sistem berjenjang tingkat dan berbatas waktu. Umumnya, dibagi menjadi 4 tingkatan : Raudhah al-Athfal, Asasiyah, Tsanawiyah dan Jami’ah.
Raudhah al-Athfal dimaksudkan untuk memberikan rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut
Tingkat asasiyah difokuskan untuk memberikan aksentuasi dasar-dasar menulis, membaca dan menghitung. ditambah dengan beberapa ilmu pengetahuan dasar.
Fase tsanawiyah biasa berfokus pada pengembangan siswa terhadap sosial budaya dan alam sekitarnya.
Kemudian tingkat jami’ah sebagai tingkat spesialisasi guna mencetak para ahli disetiap aspek kehidupan.
Selama ini, yang menjadi persoalan bukanlah lokalisasi tempat, melainkan beberapa poin paradigma dasar dalam sistem pendidikan modern. Seperti pada variasi materi yang bersifat harian berjadwal. Terlebih generasi kekinian yang cenderung memiliki tingkat kebosanan tinggi. Sebagaimana yang dikhawatirkan Rasulullah (lihat: Bukhari, no. 66).
Imam az-Zuhri (49-123 H) juga pernah berkata : “Telinga itu terkadang muntah dan jiwa juga punya nafsu, maka tampilkan sesuatu (Sya’ir) yang bersifat ringan kepada kami.” (Adab al-Imla’, hlm. 70)
Disinilah bedanya dengan model pendidikan salaf yang memiliki prinsip belajar dari kitab ke kitab, dan tidak boleh lanjut sebelum selesai. Sedangkan model khalaf sifatnya cenderung tematik.
Secara pribadi penulis pernah dikesahi oleh salah seorang syaikh di Yaman: “Kenapa beberapa thullab indonesia melakukan hal-hal yang tidak etis dilakukan penuntut ilmu.” Maka, kami katakan waktu itu: “Wahai syaikh, kultur thullab di Yaman berbeda dengan Indonesia. Di Yaman tidaklah menjadi thullab kecuali orang sholeh. Sedang kita disana, pondok bukan hanya tempat orang sholeh, melain orang yang ingin sholeh.” Sehingga dapat dimaklumi jika ada thullab yang kurang serius dan menuntut perhatian khusus dalam belajarnya.
Terkait model khalaf yang sifatnya tematik ini, ada beberapa atsar salaf yang menguatkan sistem ini selain yang telah disebutkan oleh Imam Bukhari dan az-Zuhri.
Ibnu Abbas berkata sebagaimana yang dikutip oleh al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Diin: “Ilmu itu tak terbilang untuk digapai, maka pastikan ambil pokok terpenting disetiap cabang ilmu.” (hlm. 51)
Bahkan Ibn Abdil Barri menukilkan perkataan salah seorang salaf : “Siapa yang ingin menjadi hafidz (ahli) maka cukup ia menekuni satu bidang ilmu, namun orang yang ingin menjadi alim sedianya mempelajari pokok ilmu di setiap disiplin ilmu.” (Jami’ Bayan al-Ilmi, No.851)
Dikuatkan oleh Ahmad Salim dalam Subul al-Mardhiyah, “ Saya katakan, kalaulah kamu ingin fokus dalam satu bidang (takhasush), kamu juga harus mempelajari ilmu-ilmu yang lain secara ringkas. Saya kira kamu akan cacat dan bukan ahli selama tidak melakukan hal itu.” (Hlm. 117)
Khalid bin Yahya bin Barmak (165 H) juga secara detail mewasiati anaknya: “Duhai anakku, pelajarilah suatu bagian dari setiap ilmu, jika tidak begitu, ada suatu hal yang kamu tidak ketahui dan jika kamu tidak tahu hal itu, nantinya justru engkau akan mencacati ilmumu. Tabu bagiku untuk sekedar mencacati kemuliaan ilmu.” (Jami’ Bayan Ilmi: No. 853)
Atsar ini menjelaskan urgensi murid untuk mengetahui banyak ilmu guna menjadi bahan pijakan dan timbangan dalam menentukan sebuah keputusan atau hukum. Baik itu untuk pribadi ataupun khalayak.
Selain terdapat penguat beberapa atsar dari ulama salaf, terbukti banyak ulama kontemporer hari ini didominasi oleh tokoh yang berlatar belakang akademis. Seperti; Syaikh Yusuf Qarhawi, Ali Ash-Shalabi, Raghib as-Sirjani, Shalih Fauzan, Sulaiman Asyqar, dan masih banyak yang lainnya.
Bahkan setelah madrasah dirasa penting dan berpotensi pesat dalam keilmuan umat, sejumlah ulama berusaha mendapatkan posisi dan tadris disana, seperti : Ibn Shalah, an-Nawawi, Ibn Katsir, as-Subki, al-Ala’i dan yang lain.
Terkhusus para ulama besar lulusan Madrasah Nidzamiyah di era Bani Saljuk (Baghdad – 459 H), seperti Abu Ishaq as-Syairazi (Madzhab Syafi’i), Abu Hamid al-Ghazali (mantiqi, Tasawuf), Abdul Malik al-Juwaini, Iez bin Abdus Salam, Ibnu Haitsam, Ibnul Jauzi (Madzhab Hambali), Umar Khiyam (Falaki), al-Biruni (geografi), Ibn Hauqil (sejarawan) dan masih banyak lagi.
Fakta menunjukkan justru banyak cabang keilmuan dan penelitian berkembang progresif di pusat-pusat pendidikan yang lingkup dalam satu lokal yaitu “Madrasah”. Sebab, pemerintah di masa itu memberikan dukungan penuh baik berupa fasilitas, intensif para pengajar, kebutuhan pokok serta tempat tinggal. Belum lagi donasi sedekah, wakaf, dan hibah dari para saudagar muslim.
Mulanya, madrasah hanya diperuntukkan bagi para bangsawan kerajaan. Mereka dituntut untuk mengenal pengetahuan dan wawasan lebih, selain dari aspek keagamaan. Adapun para ulama, tetap konsisten dengan pranata keilmuan di masjid-masjid. Kemudian dirasa penting mewadahi usaha ulama’, para khalifah berusaha memberikan atensi lebih melalui pembentukan pusat-pusat pembelajaran yang disokong penuh oleh pemerintah.
Sebagai contoh, pada abad ke-15. Daulah Utsmanyiah melakukan revolusi dalam bidang pendidikan dengan membangun pusat pemberadaban di kota-kota besar seperti di Bursa dan Edirne yang dinamai (kulliye/kuliah). Mencakup infrastruktur masjid, rumah sakit, sekolah, dapur umum, dan restoran. Termasuk fasilitas makan, kesehatan, dan tempat tinggal gratis. Demikianlah pergeseran dinamika pendidikan terjadi dan bertahan hingga kini.
Perihal sistem pembelajaran, Syaikh Muhamad Shalih al-Munajid dalam esainya “Thalibul Ilmi wal Manhaj” tidak mempermasalahkan sistem pembelajaran, baik salaf atau modern. Beliau berkata : “Mereka (orang Barat) mengintegrasikan banyak ilmu dalam satu waktu, hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Imam an-Nawawi yang mempelajari sembilan ilmu, dan mengajar dua belas pelajaran dalam satu waktu …”
Beliau melanjutkan: “Secara umum permasalahan ini berkutat pada perbedaan animo, potensi, talenta, kondisi, milieu dan metode syaikh. Sebab, sebagian jiwa itu terkadang bosan … maka, metode yang tepat itu bergantung pada kondisi (murid).” Meskipun beliau juga mengatakan ini dari sisi variasi belajar, dari sisi prioritas tidaklah tepat.[3]
Menggabungkan antara Metode Salaf dan Khalaf dalam Belajar
Menurut Prof. Ali Ahmad bin Ali al-Qarni, sebenarnya antara kedua sistem tersebut tidak banyak terdapat kontradiksi yang signifikan. Pasalnya, tidak ada yang absolut dalam ranah pendidikan. Sistem hanyalah salah satu pokok dari empat pilar penuntut ilmu. Selain dari SDM, pemilihan kitab, dan penjurusan. (Ta’shil Ilmi, Hlm. 7)
Apalagi bilamana timbul kompetisi yang tidak sehat. Alih-alih membawa tranformasi namun justru menimbulkan dekadensi. Problematika tentang ijazah, contohnya.
Disebutkan oleh penulis dalam kitab yang sama: “Saya katakan, termasuk syahadat zuur di zaman ini adalah ijazah sebagian ahli hadits kepada muridnya dengan ijazah umum atau ijazah seluruh kitab atau ijazah riwayat sebagai bentuk representasi keberkahan.” (Hlm. 352)
Contoh lain adalah menganggap salah satu sistem dirasa gagal total dalam mendidik. Padahal tidak bisa dipungkiri baik sistem salaf maupun khalaf keduanya telah mencetak berbagai tokoh besar di ragam cabang keilmuan.
K.H. Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri sistem pendidikan khaaf di Indonesia pernah tegas mengatakan : “Tidak ada istilah gagal dalam pendidikan di Gontor (KMI), seberapapun ilmu dan pendidikan yang didapat, bisa dijadikan modal yang dikembangkan dalam perjuangan hidup.” (Senarai Kearifan Gontory, No. 138)
Dan juga diafirmasi oleh Trimurti “Pondok memberi kail, bukan (hanya) memberi ikan, memberi benih padi untuk disemai bukan (sebatas) memberi nasi untuk habis dimakan. Memberi sabit, bukan (cuma) rumput, memberi kunci untuk membuka khazanah ilmu pengetahuan seluas-luaasnya. bukan (sekedar) materi ilmu tertentu”. (Ibid, No. 144)
Di sisi lain Ibnu Abdil Baari, ulama yang hidup kisaran tahun 368-453 H dalam kitab Jami’ Bayan al-ilmi, pernah berkata: “Menuntut ilmu itu banyak tahapan, derajat dan urutan, tidak boleh diselisihi, barangsiapa yang melintanginya maka telah menyalahi metode salaf, yang sengaja akan tersesat dan yang menyelisihi pokoknya akan tergelincir.” (Jami’ Bayan ilmi, Hlm. 1129)
Pernyataan ini tidak salah, namun juga tidak bisa sepenuhnya diambil untuk langsung dipraktekkan tanpa pertimabangan kondisi, baik anak didik maupun zamannya.
Dalam masalah manhajiyah, terkadang para masyayikh sendiri tidak ambil pusing tentang “apa” dan “bagaimana”. Syaikh Adnan al-Aqthal, misalnya, ketika penulis tanya tentang manhaj terbaik dalam belajar beliau berucap : “Guru-guru kalian lebih tahu kondisi yang cocok untuk kalian, jadi ikutilah apa kata mereka.” Dan kita dapati telah banyak masyayikh yang masuk ke universitas-universitas baik untuk belajar ataupun mengajar. Tidak ada rasa apriori dengan manhaj studi lain. Selama dibutuhkan dan dihajatkan, kenapa tidak.
Hal itu karena mereka tahu, setelah memiliki ilmu yang kondisi, zaman menuntut pengakuan formal melalui berbagai gelar akademisi. Dan itu kompatibel. Lain hal jika tujuannya sebatas meraih gelar tanpa disertai kematangan ilmu. Sehingga menimbulkan ketimpangan. Inilah yang diwanti-wanti oleh Ibnu Jauzi dalam kitab Shaidul Khathir : “Dahulu ulama salaf itu muhadits lagi paham fikih. Tapi kemudian (sekarang) para fakihnya tak paham hadits, pun para muhadits juga tak paham fikih.” (Shaidul Khatir, Hlm. 443)
Beliau khawatir fenomena ketimpangan satu bidang namun nihil dibidang lain yang membuat seseorang berfikir parsial.
Untuk mencari titik temu dari masalah ini, menarik kiranya kita mengkaji salah satu tokoh salaf. Lebih salaf dari Ibn Abdil Baar dan Ibnu Khaldun. Beliau adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Bashri (100-170 H). Pencetus ilmu A’rudh, orang yang pertama kali menulis kamus arab. Guru ahli nahwu Sibawaih dan qurra’ al-Kisa’i serta perawi al-Ashma’i.
Beliau berkata dalam riwayat Ibnu al-Azraq: “Jika kamu ingin menjadi alim maka fokuslah satu bidang ilmu, tapi jika engkau ingin menjadi adib maka ambil yang terbaik dari segala ilmu. Sedikitkan buku (pelajaranmu) jika kamu mau hafal (ahli), dan perbanyak buku jika kamu ingin mengetahui (banyak wawasan).” (Bada’i as-Salak Fi Thabai’ al-Muluk, 2/354).
Perkataan beliau diatas mengandung dua istilah filosofis: Pertama, orang alim : yaitu para tenaga ahli bidang tertentu, terkhusus ilmu syar’i.
Kedua, adalah orang adib atau “Mutsaqaf” (Mu’jam Ra’id, hlm. 39) atau juga populer disebut Intelektual. Mereka dituntun mengetahui wawasan pengetahuan dalam segala bidang. Karena dalam pengambilan keputusan bijak dibutuhkan berbagai pertimbangan dari sekian variabel. Dan ini cocok untuk para figur tokoh keagamaan, pemegang kekuasaan, dan para pemimpin.
Jadi titik persoalannya sebenarnya ada pada visi, misi lembaga pendidikan terkait dan kebutuhan masyarakat. Apakah anak didik akan dibentuk menjadi alim yang memiliki spesialisasi dan menguasai satu bidang ilmu namun mendalam atau intelektual yang memiliki keterampilan dan wawasan luas, namun tidak spesialis.
Sebenarnya-pun kedua sistem diatas bisa dikolaborasikan bilamana kita berfikir kritis tentang afdhaliyah (mana yang utama) atau aulawiyat (mana yang prioritas).
Tapi di sisi lain kita juga harus berfikir marhaliyah (bertahap), sehingga menuntut konsepsi pendidikan komprehensif bertahap disetiap fase usia. Mendahulukan yang perlu didahulukan dan mengakhirkan apa yang lazim diakhirkan. Pun demikian harus menganalisa lebih dalam fase-fase mendidik anak.
Disebutkan oleh Abdul Malik bin Marwan di beberapa kitab adab. Dan riwayat Ali bin Abi Tholib serta Sufyan ats-Tasuri. Walaupun tidak ada satupun periwayatan tersebut yang berstatus shahih.
Mereka membagi fase pendidikan menjadi tiga tahapan. Tujuh tahun pertama, anak dididik seperti tuan, dibiarkan dan dituruti keinginannya. Tujuh tahun kedua, seorang anak dididik bak sakai sahaya. Didikte dan diperintah. Baru kemudian tujuh tahun ketiga, anak diperlakukan seperti mentri. Diandilkan aspirasinya dalam mengambil keputusan hidup. Meskipun tetap diberi arahan sebelum nantinya dilepas menjelang usia dewasa di tujuh tahun keempat.
Kiranya dari sini kita bisa ambil kesimpulan. Hendaknya anak didik usia tujuh tahun pertama dan kedua dididik dengan sistem salaf yang memiliki kekuatan hafalan dan penanaman pokok ilmu, terlebih murid kala itu masih di fase belia. Dengan harapan agar memiliki bekal untuk menerima ilmu lanjutan dan mampu bersikap terhadap heterogensi berpendapat.
Kemudian tujuh tahun ketiga, jika dipandang kurang dalam tahapan basis maka tetap konsisten dalam sistem salaf, namun idealnya mereka dididik dengan sistem khalaf yang menitik beratkan wawasan keilmuan yang luas. Sehingga keterbukaan berfikir dan memiliki khazanah keislaman dan kemandirian dalam pengembangan potensi. Wallahu a’lam bi ash-Shawaab.
Penulis : Izzuddin Hadidullah
Editor : Ashabul Yamin
***
[1] https://www.alukah.net/fatawa_counsels/0/112004/