Setelah kita membahas syarh doa ketika akan masuk wc dan keluar dari wc. Pada tulisan ini akan dilanjutkan dengan adab-adab yang berkaitan dengan wc, mengingat perkara ini sangat penting dan menjadi rutinitas dalam kehidupan manusia.
Perhatikan Adabnya
Berdoa menjadi sesuatu yang sangat urgent, apalagi berkaitan dengan makhluq lain yakni syetan. Bagaimana tidak, wc menjadi tempat tinggal nyaman bagi syetan dan disanalah ia banyak merusak kehidupan manusia. Maka mengikuti petunjuk yang disampaikan Rosulullah menjadi “thoriqul kholas” cara ampuh untuk menghindarkan diri dari tipu daya syetan dan bentuk itba’ kepada Rosulullah.
Menutup Diri dan Menjauh Dari Manusia
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– فِى سَفَرٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– لاَ يَأْتِى الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يُرَى.
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya sampai tidak nampak dari manusia dan tidak terlihat.” (HR. Ibnu Majah no. 335. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Tidak Membawa Sesuatu Yang Bertuliskan Nama Allah.
Seperti memakai cincin, membawa buku yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ –صلى الله عليه وسلم– إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) Akan tetapi hadits ini munkar menurut ahli hadits. Tetapi banyak ulama’ yang mengatakan bahhwa hadits ini memiliki syawahid (penguat dari jalur lain) seperti riwayat imam Baihaqi dan al Hakim. Imam Bukhori meriwayatkan hadits yang menerangkan bahwa cincin beliau bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat. (Shohih Fiqh Sunnah 1/92)
Masuk Kaki Kiri Keluar Kaki Kanan
Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan. Dalam masalah ini tidak terdapat hadits shahih yang secara khusus menyebutkan disukainya mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk WC. Hanya saja terdapat hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR Bukhori Muslim)
Oleh karena itu, beberapa ulama seperti Al-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau, Syarhu Shahih Muslim, dan juga Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Id menyebutkan disukainya seseorang yang masuk WC dengan mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar dengan mendahulukan kaki kanan.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global.” (As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 1/64)
Tidak Menghadap Kiblat Ataupun Membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian mendatangi jamban (WC), maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.”
Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” (HR BukhoriMuslim).
Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.
Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam (Lihat kitab shohih Fiqh sunnah 1/94).
[ydsui/annuur]