Di antara sarana seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla adalah dengan memperbanyak shalat sunnah. Dengan inilah seorang hamba akan mencapai derajat yang mulia, menjadi kekasih Allah (Waliyullah), sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Punggung-punggung mereka jauh dari tempat tidur, karena beribadah kepada Allah, dengan penuh rasa takut dan rasa harap. Mereka juga menginfakkan sebagian dari rezeki yang Aku berikan kepada mereka.” (QS. as-Sajdah: 16)
Sebagaimana disebutkan oleh para ulama, bahwa shalat sunnah ada dua macam; shalat sunnah muqayyad (terikat) dan shalat sunnah muthlaqah (tidak terikat). Shalat sunah muqayyad adalah shalat sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan pada waktu tertentu atau pada keadaan tertentu, seperti tahiyatul masjid, dua rakaat seusai wudhu, shalat sunah rawatib, dan yang sejenisnya.
Sedangkan shalat sunah mutlak adalah semua shalat sunah yang dilakukan tanpa terikat waktu, sebab tertentu, maupun jumlah rakaat tertentu. Shalat sunnah ini boleh dilakukan kapanpun, di manapun, dengan jumlah rakaat berapapun, selama tidak dilakukan di waktu atau tempat yang terlarang untuk shalat.
Shalat sunnah dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk shalat sunnah mutlak. Hal mana ini termasuk dalam keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
عن رَبِيْعَة بْن كَعْبٍ الْأَسْلَمِيُّ –رضي الله عنه– قَالَ : كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ، فَقَالَ لِي : سَلْ، فَقُلْتُ : أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ : أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، قُلْتُ : هُوَ ذَاكَ، قَالَ : فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ. (رواه مسلم)
Dari Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Suatu hari aku bermalam bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, aku menyiapkan air wudhu’ dan keperluan beliau, kemudian beliau berkata, ‘Mintalah sesuatu kepadaku!’ aku menjawab, ‘Aku ingin menemanimu di Jannah (Surga).’ Beliau menjawab, ‘Tidak adakah permintaan selain itu?’ aku menjawab, ‘Itu saja permintaanku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Kalau begitu perbanyaklah sujud (shalat sunnah).” (HR. Muslim, no.489).
Tata Cara Shalat Sunnah Mutlaq
Shalat sunah mutlak tata caranya sama dengan shalat biasa. Tidak ada bacaan khusus, maupun doa khusus. Sama persis seperti shalat pada umumnya. Untuk bilangan rakaatnya, bisa dikerjakan dua rakaat salam-dua rakaat salam. Bisa diulang-ulang dengan jumlah yang tidak terbatas.
Shalat sunah yang dilakukan di rumah, lebih utama dibandingkan shalat sunah yang dikerjakan di masjid.
إِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا المَكْتُوبَةَ
“Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sarana Taqarrub
Secara umum, shalat sunnah memiliki tata cara pelaksanaan yang sama dan dilakukan minimal dua rakaat, kecuali shalat Jenazah dan shalat Khusuf. Perbedaannya hanya pada maksud dan tujuannya; shalat Istikharah dilakukan untuk mendapatkan petunjuk dari Allah untuk mengerjakan salah satu dari dua hal yang mubah atau sunnah; shalat Istisqa’ dilakukan untuk meminta diturunkan hujan di kala musim kemarau dan kering; shalat Tahiyyatul Masjid karena memasuki masjid; shalat Taubat dilakukan untuk menunjukkan bukti kesungguhan seorang hamba bertaubat kepada Allah dari suatu perbutan maksiat.
عن أبي بَكْرٍ الصديق رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ( مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ : “وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ“) . صححه الألباني في صحيح أبي داود) .
Dari Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba yang berbuat dosa kemudian ia (bertaubat) berwudhu dan mengerjakan shalat dua rakaat serta beristighfar (meminta ampun/bertaubat) kepada Allah, niscaya Allah akan mengampuninya, kemudian beliau membaca ayat [Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui, QS. Ali Imran:135]. (HR.Abu Dawud).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa shalat sunnah mutlak ini bukan karena suatu sebab apa pun, tapi murni hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala dari-Nya.
Referensi:
Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Wahbah az-Zuhaili
Shahih Fiqh as-Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim
[ydsui/annur]