Merasa cukup dengan apa yang ada merupakan kunci untuk meraih kebahagiaan bagi manusia ketika hidup di dunia. Sebagai pengikut Rasulullah, kita telah diajarkan bagaimana harus berikap terhadap harta, yaitu menyikapi harta dengan sikap qana’ah (kepuasan dan kerelaan). Adapun wujud qana’ah yaitu dengan merasa cukup terhadap pemberian Allah, tidak tamak terhadap apa yang dimiliki manusia, tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan tidak rakus mencari harta benda dengan menghalalkan segala cara.
Sebagai manusia kita memang mempunyai banyak kebutuhan, baik kebutuhan materi ataupun selainnya, namun kita perlu menyadari bahwa harta bukanlah segala-galanya dalam kehidupan dunia yang sementara ini. Ia merupakan sarana untuk menjalani kehidupan di dunia, bukan tujuan akhir dari kehidupan kita.
Pengertian Qanaah
Secara bahasa, qana’ah dari berasal dari kata يقنَع – قُنوعًا– وقناعةً قتع – artinya ridho. Ahli bahasa menyebut seseorang itu qona’ah karena dia menerima sesuatu dengan penuh keridhoan. (Ibnu Faris, Maqoyisi al Lughoh 5/32).
Sedangkan menurut istilah, qana’ah berarti merasa ridho atas apa yang telah dikaruniakan Allah.(Masyariqul Anwar, Abu Fadhol al Bustany: 2/187). Imam As suyuti menerangkan bahwa qona’ah adalah ridho terhadap sesuatu yang tidak mencukupi, tidak mengandalkan sesuatu yang fana dan merasa cukup dengan apa yang ada” (Mu’jam Maqolidil al Ulum: 205-2017). Al Munawi rahimahullah mengatakan, “ Qona’ah adalah mencukupkan dengan yang ada tanpa berambisi lebih ”. (At tawaqif ‘ala muhimmati ta’arif: 275). Ibnu Baththol mengatakan bahwa qona’ah adalah,
الرضا بقضاء الله تعالى والتسليم لأمره علم أن ما عند الله خير للأبرار.
”Ridho dengan ketetapan Allah Ta’ala dan berserah diri pada keputusan-Nya yaitu segala yang dari Allah itulah yang terbaik”.
Anjuran untuk Qona’ah
Banyak dalil, baik Al Qur’an atau Sunnah, yang memerintahkan kepada orang mukmin untuk berlaku qona’ah dalam menerima pemberian dari Allah. Dan seyogyanya sifat ini senantiasa ada dalam diri seorang mukmin. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ
”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 4138, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Syari’at Islam mengajarkan kita bahwa untuk menyikapi pemberian Allah yang berupa materi, kita diperintahkan untuk melihat keadaan orang yang berada di bawah kita. Yaitu orang yang kondisi ekonominya lebih lemah dibandingkan dengan kondisi kita. Rasulullah Shallahu’alaihi wasalam bersabda,
« انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ ». قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ « عَلَيْكُمْ »
”Lihatlah pada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah perhatikan orang yang berada di atas kalian. Lebih pantas engkau berakhlak seperti itu sehingga engkau tidak meremehkan nikmat yang telah Allah anugerahkan – Abu Mu’awiyah menambahkan- padamu.” (HR. Ibnu Majah no. 4138, shahih kata Syaikh Al Albani).
Bahkan islam juga menjelaskan kepada umatnya bahwa kaya adalah merasa cukup dengan apa yang ada, bukan dengan limpahan harta.
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
”Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, Ibnu Majah no. 4137).
Yang dimaksud dengan Ghina nafs dalam hadits ini adalah tidak pernah tamak pada segala hal yang ada pada orang lain. Tidak merasa iri ketika orang lain mendapatkan nikmat lebih dari Allah.
Ibnu Bathol menjelaskan lebih lanjut berkaitan dengan hadits di atas, ”Yang dimaksud kaya bukanlah dengan banyaknya perbendaharaan harta. Karena betapa banyak orang yang telah dianugerahi oleh Allah harta malah masih merasa tidak cukup (alias: fakir). Ia ingin terus menambah dan menambah. Ia pun tidak ambil peduli dari manakah harta tersebut datang. Inilah orang yang fakir terhadap harta (tidak merasa cukup dengan harta). Sikapnya demikian karena niatan jelek dan kerakusannya untuk terus mengumpulkan harta. Padahal hakikat kaya adalah kaya hati, yaitu seseorang yang merasa cukup dengan yang sedikit yang Allah beri. Ia pun tidak begitu rakus untuk terus menambah.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
مَنْ كَانَ طَالِبًا لِلزِّيَادَةِ لَمْ يَسْتَغْنِ بِمَا مَعَهُ فَلَيْسَ لَهُ غِنًى
”Siapa yang terus ingin menambah dan menambah (hartanya) lalu tidak pernah merasa cukup atas apa yang Allah beri, maka ia tidak disebut kaya hati.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 140).
Bagaimana meraih qona’ah?
Untuk mendapatkan sifat qona’ah, diperlukan proses dan tahapan – tahapan yang harus dilalui, hingga akhirnya menjadi karakter yang akan menghiasi diri:
1. Memperkuat keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Qona’ah tidak akan muncul kecuali dari hati yang memiliki keimanan kepada Allah. Karena orang beriman mengetahui hakikat dari kehidupannya. Sementara orang kafir memaknai kehidupan mereka hanya untuk memburu dunia. Karena mereka tidak mengetahui hakikat kehidupan kecuali hanya untuk dunia. Dan mereka tidak akan pernah puas dengan dunia yang di milikinya.
2. Yaqin bahwa rizki telah tertulis.
Seorang muslim harus yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “…Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kewajiban kita adalah berusaha dengan menetapi sebab untuk mendapatkan rezeki yang telah dituliskan, dengan bekerja misalnya.
3. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki
Di antara hikmah adanya perbedaan rizki antara seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika dalam kehidupan. Sehingga muncul aktivitas yang menyebabkan manusia berusaha untuk meningkatkan kemampuan ekonomi, bukan hanya pasrah dengan takdir tanpa ada usaha nyata. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentu kan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. az-Zukhruf:32)
4. Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan dan kepandaian akal semata, banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran secara pasti.
Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.
5. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia
Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
انْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ دُونَكَ ، وَلا تَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكَ ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لا تَزْدَرِيَ نِعْمَةَ اللَّهِ عِنْدَكَ
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika saat ini kita sedang sakit, maka yakinlah bahwa selain kita masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika kita merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya.
6. Membaca dan meneladani Kehidupan Salaf
Kehidupan para shahabat dan generasi setelahnya yang luar biasa merupakan sumber inspirasi bagi seorang mukmin. Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan. Seperti kisahnya Abdurahman bin Auf.
7. Menyadari beratnya tanggung jawab harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemilik nya jika dia tidak mendapatkan nya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
Ketika seorang hamba ditanya tantang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang lebih sedikit hartanya.
Maka sungguh indah apa yang diucapkan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kami pun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedang kita terbebas darinya.” [annuur/ydsui]
Wallahu a’lam bisshowab.