“Ghufraanaka”
“Aku mohon ampunan-Mu, Ya Allah.”
Riwayat Hadits
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنْ الْخَلَاءِ قَالَ غُفْرَانَكَ
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila sudah keluar dari kamar kecil beliau membaca: Ghufraanaka.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa, no. 52)
Doa ini didasarkan pada hadits Aisyah radliyallah ‘anha dan merupakan riwayat yang paling shahih yang menerangkan masalah ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim. (Lihat Subulus Salam: 1/254). Ummul Mukminin Aisayah telah meriwayatkan dari Rosulullah sebanyak 2210 hadits dan termasuk al mukatsirun as sab’ah (tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rosulullah).
Ada dua lagi riwayat yang menerangkan masalah ini, namun status keduanya banyak di dhoifkan oleh ulama’, walaupun perkara ini banyak pula diamalkan salafush sholih, lebih lebih masalah ini berkaitan dengan fadhoilul a’mal.
Pertama, hadits Anas bin Malik, berkata: “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika keluar dari kamar kecil, beliau membaca:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan yang telah memaafkanku.” (HR. Ibnu Majah. Didhaifkan oleh Syekh al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah: 1/373; didhaifkan juga dalam al Misykah no. 374 dan al Irwa’ no. 53)
Kedua, hadits ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذَاقَنِي لَذَّتَهُ وَأَبْقَى فِي قُوَّتَهُ وَأَذْهَبَ عَنِّي أَذَاهُ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kenikmatan kepadaku, yang masih memberikan kekuatan pada diriku, dan yang telah menghilangkan kotoran dari diriku.” (HR. Ibnus Sunni. Didhaifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif al-Jami’ al Shaghir, no. 4388) Imam al Shan’ani dalam Subulus Salam menyatakan seluruh sanadnya lemah. (1/254)
Keluar Dengan Mendahulukan Kaki Kanan dan berdoa
Membaca doa di atas ketika sudah keluar dari kamar kecil (toilet). (Subulus Salam: 1/253)
Doa di atas diucapkan ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat. Kesesuaian doa ini dengan keadaan tersebut adalah setelah seseorang diringankan dan dilindungi dari gangguan fisik, dia akan teringat gangguan berupa dosa. Maka dari itu, dia meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar meringankan dosanya dan mengampuninya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan perlindungan kepadanya dari gangguan fisik. (asy-Syarhul Mumti’, 1/84)
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya mengatakan: “apabila keluar hendaknya mendahulukan kaki kanan, kemudian membaca: Ghufraanaka. (1/37)
Kenapa beristighfar?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 11/107)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristighfar ketika keluar dari kamar kecil mengandung beberapa makna:
Pertama, karena beliau tidak berdzikir kepada Allah sewaktu buang air. Padahal beliau senantiasa berdzikir kepada Allah setiap saatnya. Beliau menganggap bahwa meninggalkan dzikir pada saat itu perlu diganti dengan banyak melakukan kebaikan dan yang beliau contohkan adalah bersegera istighfar ketika keluar dari WC.
Kedua, maknanya adalah beliau bertaubat dari kelemahannya dalam menyukuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Allah telah memberinya makan, lalu memudahkan beliau mencernanya, lalu memudahkan kotoran keluar darinya. Karenanya beliau merasa syukur beliau masih sangat sedikit dibandingkan nikmat ini, makanya beliau segera beristighfar. (Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud 1/33-34)
Kemudian Imam ash Shan’ani menyimpulkan, boleh jadi istighfarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari kedua-duanya.
Pengarang kitaan Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi berkata: “kekuatan manusia itu amatlah terbatas untuk mensyukuri nikmat yang dicurahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa makanan, minuman, dan pengaturan zat makanan di dalam tubuh sesuai dengan kebutuhan sampai akhirnya dikeluarkan sisanya dari tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya seorang hamba memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pengakuan akan kekurangan tersebut dari apa yang sepatutnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 1/42). Wallahu a’lam.