Agama Adalah Nasehat
Nasehat itu sangatlah agung dalam islam, sebagaimana disebutkan dalam hadits Tamim Ad-Dary -radhiyallahu ‘anhu bahwa “Agama itu adalah nasehat.” [ H.R Muslim]
Para ulama telah menganggap hadits ini seperempat dari agama, yang lain mengatakan seperempat dari islam. Hal ini tidak lain karena ia adalah dakwah kepada Allah Ta’ala dan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Seorang muslim juga akan dikatakan sebagai orang yang merugi jika kita tidak saling menasehati sesama muslim lainnya sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ashr.
Pengertian Nasihat
Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari kata kerja “nashaha” (نَصَحَ ), yang maknanya “khalasha” (خَلَصَ). Yaitu murni serta bersih dari segala kotoran. Bisa juga bermakna “khatha” (خَاطَ), yaitu menjahit. (Lisanul-Arab (XIV/158-159)
Imam al-Khaththabi rahimahullah menjelaskan arti kata “nashaha”, sebagaimana dinukil oleh Imam an- Nawawi rahimahullah: “Dikatakan bahwa “nashaha” diambil dari “nashahar-rajulu tsaubahu” (نَصَحَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ) apabila dia menjahitnya. Maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, dengan usaha seseorang memperbaiki pakaiannya yang robek.” (Syarah Shahîh Muslim (II/37))
Hadits di atas merupakan ucapan singkat dan padat(jami’ mani’), yang hanya dimiliki Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ucapan singkat, namun mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Semua hukum syari’at, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) terdapat padanya. Bahkan satu kalimat “wa li Kitabihi” saja, ia sudah mencakup semuanya. Karena Kitab Allah mencakup seluruh permasalahan agama, baik ushul maupun furu’, perbuatan maupun keyakinan.
Nasihat untuk Allah Ta’ala.
Makna nasihat untuk Allah, ialah menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dengan seluruh anggota badannya selagi mampu melakukannya. Apabila ia tidak mampu melakukan kewajibannya karena suatu alasan tertentu, seperti sakit, terhalang, atau sebab-sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut, apabila penghalang tadi telah hilang.
Allah Ta’ala berfirman: Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka menasihati kepada Allah dan Rasul-Nya (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya). Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs at-Taubah/9:91)
Allah Ta’ala menamakan mereka sebagai “al-muhsinîn” (orang-orang yang berbuat kebaikan), karena perbuatan mereka berupa nasihat untuk Allah Ta’ala dengan hati mereka yang ikhlas ketika mereka terhalang untuk berjihad dengan jiwa raganya.
Dalam kondisi tertentu, terkadang seorang hamba dibolehkan meninggalkan sejumlah amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan nasihat untuk Allah Ta’ala, meskipun disebabkan sakit yang tidak mungkin baginya untuk melakukan sesuatu dengan anggota tubuhnya, bahkan dengan lisan, dan lain-lain, namun akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban memberikan nasihat untuk Allah Ta’ala dengan hatinya. Yaitu dengan penyesalan atas dosa-dosanya dan berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah Ta’ala kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang di larang Allah Ta’ala.
Jika tidak (yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada Allah Ta’ala dan niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan-Nya), maka ia tidak disebut sebagai pemberi nasihat untuk Allah Ta’ala dengan hatinya.
Juga termasuk nasihat untuk Allah Ta’ala, ialah taat kepada Rasul-Nya dalam hal yang beliau wajibkan kepada manusia berdasarkan perintah Rabb-nya. Dan termasuk nasihat yang wajib untuk Allah Ta’ala, ialah dengan membenci dan tidak ridha terhadap kemaksiatan orang yang berbuat maksiat, dan cinta kepada ketaatan orang yang taat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan, termasuk nasihat untuk Allah Ta’ala adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah Ta’ala. Adapun makna nasihat untuk Allah Ta’ala, ialah beriman kepada Allah Ta’ala, menafikan sekutu bagi-Nya, tidak mengingkari sifat-sifat- Nya, mensifatkan Allah Ta’ala dengan seluruh sifat yang sempurna dan mulia, mensucikan Allah Ta’ala dari semua sifat-sifat yang kurang, melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan maksiat, mencintai karena Allah Ta’ala, benci karena-Nya, loyal (mencintai) orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang yang durhaka kepada-Nya, berjihad melawan orang yang kufur kepada-Nya, mengakui nikmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat-Nya. (Syarah Shahîh Muslim (II/38) oleh Imam an-Nawawi)
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah (wafat 1163 H) berkata, ”Maksud nasihat untuk Allah Ta’ala, ialah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, penyerupaan, serta segala apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allah Ta’ala mempunyai segala sifat kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan- Nya.” (Syarhul-Arba’în an-Nawawiyah, hlm. 47-48)
Nasihat untuk Kitabullah.
Nasihat untuk kitab-Nya adalah dengan meyakini Al-Qur‘an itu Kalamullah. Wajib mengimani apa-apa yang ada di dalamnya, wajib mengamalkan, memuliakan, membacanya dengan sebenar-benarnya, mengutamakannya daripada selainnya, dan penuh perhatian untuk mendapatkan ilmu-ilmunya. Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai Uluhiyyah Allah yang tidak terhitung banyaknya. Dia merupakan teman dekat orang-orang yang berjalan menempuh jalan Allah, dan merupakan wasilah (jalan) bagi orang-orang yang selalu berhubungan dengan Allah. Dia sebagai penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu. Barangsiapa yang ingin sampai di tempat tujuan, maka ia harus menempuh jalannya. Karena kalau tidak, ia pasti tersesat. Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan Kitabullah, niscaya ia tidak akan meninggalkannya sedikitpun. (Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48)
Secara rinci, nasihat untuk Kitabullah dilakukan melalui beberapa hal berikut; membaca dan menghafal al-al-qur‘an, mentadabburi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayatnya, mengajarkannya kepada generasi muslim agar ikut berperan dalam menjaga al-qur‘an, memahami dan mengamalkannya.
Nasihat untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Yang dimaksud dengan nasihat untuk Rasul-Nya, ialah dengan meyakini Beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Allah mengutusnya kepada para hamba-Nya, agar Beliau mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya, menjelaskan kepada mereka semua yang membuat mereka bahagia dan semua yang membuat mereka sengsara, menerangkan kepada mereka jalan Allah yang lurus agar mereka lulus mendapatkan kenikmatan surga dan terhindar dari kepedihan api neraka, dan dengan mencintainya, memuliakannya, mengikutinya serta tidak ada kesempitan di d
adanya terhadap semua yang Beliau putuskan. Tunduk serta patuh kepada Beliau, seperti orang yang buta mengikuti petunjuk jalan orang yang tajam matanya.
Orang yang menang, adalah orang yang membawa kecintaan dan ketaatan pada Sunnahnya. Dan orang yang rugi, adalah orang yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada Beliau, maka ia taat kepada Allah. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Allah dan kelak akan diberi balasan setimpal. (Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48)
Nasihat untuk Para Pemimpin Kaum Muslimin.
Yang dimaksud dengan pemimpin kaum Muslimin, ialah para penguasa, wakil-wakilnya, atau para ulama. Agar penguasa ditaati, maka penguasa tersebut harus dari orang Islam sendiri.
Nasihat untuk pemimpin, ialah dengan mencintai kebaikan, kebenaran, dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Karena, melalui kepemimpinannyalah kemaslahatan kita bisa terpenuhi. Kita juga senang dengan persatuan umat di bawah kepemimpinan mereka yang adil dan membenci perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
Nasihat untuk para pemimpin dapat juga dilakukan dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada di atas jalan kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik.
Para ulama juga mempunyai tanggung-jawab yang besar untuk selalu menasihati para penguasa, dan senantiasa menyerukan agar para penguasa berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka lalai dalam mengemban tanggung jawab ini sehingga tidak ada seorang pun yang menyerukan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allah akan menghisabnya.
Nasihat untuk Kaum Muslimin
Makna “nasihat untuk kaum Muslimin pada umumnya”, ialah dengan menolong mereka dalam kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintainya untuk diri sendiri, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Maka seorang hamba harus memandang mereka dengan landasan yang satu, yaitu kacamata kebenaran. (Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48)
Nasihat untuk masyarakat muslim, dilakukan dengan cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Nasihat yang dilakukan seharusnya tidak terbatas dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengan amalan. Dengan demikian, nasihat tersebut akan terlihat nyata dalam masyarakat muslim, sebagai penutup keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah terhadap bahaya, pemberi manfaat, amar ma’ruf nahyu mungkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap yang lebih kecil, serta menghindari penipuan dan kedengkian. (Al-Wafî fî Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hlm. 45)
Demikian penjelasan singkat tentang makna ad-dinu an-nashihah, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [ydsui/Ryan Arif]