Shalat Sunnah
Shalat sunnah merupakan shalat tambahan yang dapat menjadi sarana bagi seorang hamba untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Azza wa Jalla. Shalat sunnah juga dapat ‘menambal’ kekurangan pada shalat fardhu.
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ عَلَيْهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَنَجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِيْ مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكّمِّلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ، ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ. (رواه الترمذي)
“Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka dia beruntung dan selamat. Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka ia akan menyesal dan celaka. Jika dalam shalat fardhunya ada kekurangan, Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah karena ia dapat menyempurnakan ibadah fardhunya.’ Demikian juga seluruh amalannya.” (HR.Tirmidzi, hadits hasan)
Shalat Tathawwu’
Dalam istilah syar’i, shalat sunnah disebut dengan shalat tathawwu’ atau shalat nafilah. Dinamakan tathawwu’ karena ia disyariatkan sebagai ibadah tambahan dan penyempurna shalat fardhu. Orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan tidak berdosa bagi orang yang meninggalkannya. Shalat sunnah dinamakan juga dengan shalat nafilah, karena merupakan ibadah tambahan yang disyariatkan namun tidak masuk dalam kategori fardhu atau wajib.
عن رَبِيْعَة بْن كَعْبٍ الْأَسْلَمِيُّ –رضي الله عنه– قَالَ : كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ، فَقَالَ لِي : سَلْ، فَقُلْتُ : أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ : أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، قُلْتُ : هُوَ ذَاكَ، قَالَ : فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ. (رواه مسلم)
Dari Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Suatu hari aku bermalam bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, aku menyiapkan air wudhu’ dan keperluan beliau, kemudian beliau berkata, ‘Mintalah sesuatu kepadaku!’ aku menjawab, ‘Aku ingin menemanimu di Jannah (Surga).’ Beliau menjawab, ‘Tidak adakah permintaan selain itu?’ aku menjawab, ‘Itu saja permintaanku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Kalau begitu perbanyaklah sujud.” (HR. Muslim, no.489)
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa maksud ‘memperbanyak sujud’ adalah memperbanyak shalat sunnah. Hal itu karena sujud merupakan rukun dan bagian utama dalam shalat. Oleh karena itulah, para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil disyariatkannya shalat sunnah.
Adapun alasan kenapa dengan memperbanyak shalat, seseorang bisa masuk Jannah. Hal itu karena shalat adalah sebaik-baik ibadah. Dalam shalat terkumpul berbagai macam bentuk ibadah yang tidak ada pada ibadah lainnya, mulai thaharah, menghadap kiblat, membaca Al-Quran, dzikir, dan membaca shalawat. Dengan demikian, sebaik-baik tathawwu’ adalah shalat tathawwu’.
Pembagian Shalat Sunnah
Para ulama membagi shalat sunnah dengan pembagian yang berbeda-beda:
Ulama Hanafiyah membagi shalat sunnah berdasarkan tingkatannya, yaitu sunnah muakkadah (ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan). Sunnah muakkadah, sunnah yang senantiasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan terkadang ditinggalkan, namun itu jarang karena hanya untuk menunjukkan bahwa amalan tersebut bukan fardhu atau wajib, seperti dua rakaat qabliyah Subuh. Sedangkan sunnah ghairu muakkadah, sunnah yang hanya terkadang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan terkadang juga ditinggalkan, seperti shalat sunnah qabliyah Ashar dan qabliyah Maghrib.
Ulama Malikiyah membagi shalat sunnah berdasarkan waktunya, rawatib dan mustaqillah. Dinamakan shalat rawatib karena mengiringi shalat fardhu, seperti qabliyah dan ba’diyah Zhuhur, ba’diyah Maghrib, ba’diyah Isya’, dan qabliyah Subuh. Sedangkan mustaqillah karena terpisah dan tidak mengiringi shalat fardhu, seperti shalat Tahajjud, Dhuha, Witir, Tahiyatul masjid, dan lainnya.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah membagi shalat sunnah berdasarkan cara pelaksanannya, sendirian (munfarid) dan berjamaah. Shalat sunnah yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah adalah shalat Witir, shalat Khusuf (gerhana), shalat Istisqa (minta hujan), dan lainnya.
Ada juga yang membagi shalat sunnah karena ada sebab dan tanpa sebab. Shalat sunnah karena memiliki sebab tertentu seperti shalat Tahiyatul masjid (karena masuk masjid), shalat Jenazah, shalat Khusuf (karena gerhana), dan lainnya. Sedangkan shalat sunnah yang tidak memilki sebab tertentu seperti shalat Tahajjud, Witir, Dhuha, dan lainnya.
Shalat Sunnah Rawatib
Di antara shalat sunnah yang paling sering dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah shalat sunnah rawatib, terutama yang berjumlah 12 rakaat yaitu 4 rakaat sebelum Zhuhur dan 2 rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah Maghrib, 2 rakaat setelah Isya’, dan 2 rakaat sebelum Subuh. Para ulama menyatakan bahwa dua belas rakaat ini hukumnya sunnah muakkadah, berdasarkan beberapa hadits, di antaranya:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ (رواه مسلم)
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib) sehari semalam, akan dibangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)
مَنْ صَلَّى فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ (رواه الترمذي)
“Barangsiapa sehari semalam mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib), akan dibangunkan baginya rumah di surga, yaitu: 4 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at setelah Zhuhur, 2 raka’at setelah Maghrib, 2 raka’at setelah ‘Isya dan 2 raka’at sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi no. 415 dan an-Nasai no. 1794, menurut Syaikh al-Albani hadits ini shahih).
Di antara dua belas rakaat tersebut, yang paling ditekankan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dua rakaat sebelum Subuh, sebagaimana sabda beliau:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا (رواه مسلم)
“Dua rakaat sunnah Fajar (Subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)
Juga keterangan dari istri beliau Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ (رواه البخاري و مسلم)
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah secara terus-menerus melebihi dua rakaat (shalat sunnah rawatib) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1169 dan Muslim no. 724)
Referensi
Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Wahbah az-Zuhaili
Taisirul ‘Allam Syarh Umdatul Ahkam, Abdullah Alu Bassam.