Allah berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” [Al-Hajj: 37]
Tak diragukan lagi, bahwa udhiyah (qurban) adalah salah satu sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Syari’at ini berasal dari Nabi Ibrahim ketika Allah perintahkan untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail lalu. Lalu Allah menggantinya dengan seekor domba. Dari sinilah kemudian perintah untuk menyembelih hewan udhiyah bermula.
Namun ibadah ini sama seperti ibadah yang lain, bukan hanya berdasar asumsi kita bahwa itu baik, lantas kita bisa berkreasi dalam melaksanakannya. Karena baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah.
Dahulu diera jahilayah, kaum Quraisy biasa menyembelih hewan udhiyah yang mereka niatkan untuk taqarrub kepada Allah melalui perantara berhala-berhala mereka, مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى , (…dan tidaklah kami menyembah tuhan-tuhan/berhala itu kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah: az-Zumar: 3), lalu mereka letakkan daging-daging udhiyah itu diatas berhala-berhala, mereka lumurkan darahnya sebagi bukti pengorbanan mereka.
Namun semua amalan itu Allah tolak dengan menurunkan ayat diatas. Ayat diatas adalah lanjutan dari beberapa ayat sebelumnya yang berbicara tentang udhiyah secara umum maupun udhiyah secara khusus, namun titik tekan pada ayat ini lebih pada ketentuan ataupun syarat agar qurban/udhiyah diterima dan berganjar pahala disisi Allah.
Berkenaan dengannya Imam at-Thabari berkata : “ Tidak sampai kepada Allah daging hewan yang kalian kurbankan kepada Allah baik daging ataupun darahnya, akan tetapi akan yang sampai adalah ketakwaan dalam melaksanakan sebagaimana yang dianjurakan dan diperintahkan Allah dan dalam rangka mengaggungkan hak/ syi’ar Allah sebagaimana firman Allah, ‘barangsiapa yang mengagungkan syi’ar Allah maka itu merupakan ketaqwaan hati’ (al-Hajj: 32), (Jami’ul bayan, 18/641).
Maknanya, tidak akan berguna udhiyah yang kita lakukan kecuali itu berada dalam bingkai ketaqwaan kepada Allah, bukan untuk ambisi dan tujuan politis duniawi, tapi ia murni untuk Allah dan untuk mengagungkan syi’arNya.
Karena sejatinya, kata Ibnu Katsir, Allah itu Maha Kaya dari siapapun dijagad raya ini, Allah tak butuh apapun dari HambaNya, yang sebenarnya butuh kepada Allah itu adalah kita. Sedangkan tujuan dari syari’at ini agar kita selalu mengingat bahwa Allahlah yang Maha Pencipta segala sesuatu juga sebagai Pemberi rezeki atas hambaNya (Tafsir al-Qur’anul ‘adzim: 5/423).
Nabi sendiri dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Tirmidzi melakukan udhiyah sebanyak 10 kali di Madinah, bahkan dalam hadits lain Rasul juga memberikan semacam rambu-rambu bagi mereka yang mampu namun enggan menunaikannya. Rasulullah bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَة فَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلانا
“ Barangsiapa yang mampu untuk ber-udhiyah, tapi dia tidak melaksanakannya, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami” (Sunan Ibnu Majah, 3123)
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, menyebutkan ada lima permasalahan berkaitan dengan ayat diatas:
Pertama, sudah menjadi kebiasaan orang jahiliyah dulu mereka melumuri rumah mereka dengan darah unta yang mereka kurbankan, sebagai suatu kiasan atau simbol bahwa udhiyah mereka diterima Allah, walaupun sebenarnya itu tidak ada hubungannya tapi kemudian kaum muslimin ingin meniru apa yang mereka kerjakan, maka Allah menurunkan ayat ini untuk membantahnya, Allah menyatakan yang demikian tidak ada kaitannya dengan diterima atau tidak olehNya, karena udhiyah yang diterima Allah adalah apa yang hanya diperuntukkan untuk Allah saja, لن ينال الله لحومها ولَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Kedua, menunjukkan kekuasaan dan karunia Allah kepada manusia terhadap hewan ternak yang secara bentuk maupun kekuatan lebih besar dari manusia, tetapi dengan mudah dapat ditundukkan bahkan dijadikan kurban. Karena dalam hal ini urusannya bukan lagi mana yang paling besar dan kecil, kuat atau tidak kuat, tapi ini adalah perkara apa yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki oleh Allah, meskipun diluar jangkauan nalar manusia, ini makna dari كذالك سخّرها لكم. Sehingga kurban atau udhiyah merupakan simbol ketundukan kita atas KuasaNya tersebut.
Ketiga, berkaitan dengan bacaan yang dibaca ketika menyembelih hewan, لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلى مَا هَداكُمْ (supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu) ayat ini masih berhubungan dengan ayat sebelumnya فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْها (dan sebutlah nama Allah atasnya). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya Ibnu Umar ketika menyembelih hewan udhiyah beliau menggabungkan keduanya sehingga menjadi بسم الله، والله أكبر.
Dalam hadits shahih dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Rasulullah pernah menyembelih dua ekor domba yang berwarna putih yang bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, beliau juga meletakkan kakinya kepunggung domba tersebut, beliau lalu membaca basmalah dan bertakbir”. Dari hadits ini para ulama berbeda pendapat, Abu Tsaur berkata, “ Takbir ini sifatnya sama seperti takbir pada shalat, dan kebanyakan para ulama memandang baik hal tersebut, tapi boleh juga untuk membaca salah satu nama dari nama-nama Allah, seperti ‘Allahu akbar’ saja, ataupun ‘lailaha illallah’”. Artinya tidak mesti harus basmalah.
Namun, menurut Imam Syafi’i dan Muhammad as-Syaibani, tidak diperbolehkan memakan sembelihan yang tidak disembelih dengan basmalah. Sebagian lain para ulama berpendapat makruh, sama dengan hukum mengucap shalawat Nabi ketika menyembelih, namun dalam permasalahan shalawat ini Imam Syafi’i membolehkannya.
Keempat, jumhur ulama mengatakan bahwa berkataan اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّي (Ya Allah terimalah persembahan dariku) bagi mudhahhi adalah boleh. Sedangkan menurut Abu Hanifah itu adalah makruh, berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ, (dengan menyebut nama Allah, Ya Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad)
Sedangkan perihal perkataan اللَّهُمَّ مِنْكَ وَإِلَيْكَ adalah bid’ah menurut Imam Malik, namun ini bertentangan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah membacanya ketika hendak menyembelih hewan udhiyah. Maka disini Imam al-Qurthubi memberikan komentar, “Bisa jadi hadits itu belum sampai kepada Imam Malik, sehingga beliau mengatakan bid’ah”. Sehingga kita boleh untuk membacanya.
Kelima, ayat ini juga sekaligus kabar bagi orang-orang yang berbuat baik, meskipun secara khusus yang dimaksud ‘muhsinin’ di ayat adalah para khulafa’ ar-rasyidin, namun juga berlaku bagi siapa saja yang berbuat kebaikan secara umum. Artinya jika saja semua kebaikan itu hanya diniatkan untuk Allah, Allah pasti akan menerima dan mengganjarnya dengan pahala, terkhusus dalam pembahasan ini adalah masalah udhiyah (al-Jami’ li ahkamil qur’an: 12/65).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam menafsirkan ayat ini berkata, ”Ayat ini menganjurkan kepada kita untuk ikhlas dalam menyembelih hewan udhiyah, harus untuk mengharap pahala dari Allah, bukan untuk berbangga diri/riya’, sum’ah/ingin didengar atau hanya mengikut tradisi masyarakat, sama halnya dengan ibadah yang lain, apabila tidak diniatkan untuk Allah dan untuk memperkuat takwa, maka ia akan menjadi sebagimana kulit tampak indah dari luar namun tak ada isinya, atau ibarat jasad tanpa ruh (Taisirul karim ar-Rahman, 1/538).
Ya, ia tak ubahnya seonggok bangkai yang tak berguna.
Kesimpulannya, udhiyah merupakan salah satu sarana untuk menggapai ridho Allah, dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemampuan secara finansial. Namun, udhiyah yang dilakukan tak akan diridhai Allah tanpa dibarengi ketakwaan dan niat yang ikhlas, bukan seperti yang dilakukan kaum Quraisy, mereka lakukan udhiyah justru untuk mensekutukan Allah.
Wallahu a’lam bis shawab.