Oleh : Miqdad Abdussalam
Amar ma’ruf nahi munkar, merupakan sebuah amalan yang sangat mulia. Dengannya terbangun kehidupan masyarakat Islami yang luar biasa, dinamis, harmonis, dan religius. Amalan ini harus digulirkan dengan baik, baik kepada golongan masyarakat yang paling rendah yaitu rakyat jelata, hingga golongan masyarakat yang paling tinggi yaitu para pemimpin ataupun penguasa.
Baik dan buruknya kehidupan bermasyarakat sebuah komunitas tergantung kepada siapa yang memimpin. Jika pemimpin ataupun penguasa komunitas tersebut memimpin dengan keshalihan, keilmuan, dan kecerdasan yang ia miliki dan dalam kepemimpinan tersebut bertujuan untuk mensejahterakan sebuah komunitas yang dipimpinnya, maka akan baiklah komunitas tersebut. Dan jika para penguasa tersebut memimpin serta memerintah dengan segala keburukan yang ia miliki dan didasari dengan hawa nafsu, maka akan buruk bahkan hancurnya komunitas tersebut.
Fungsi amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa merupakan sesuatu yang sangat urgen dan sangat dibutuhkan, karena jika kita tengok realita akan rusaknya kehidupan bermasyarakat terkhusus di negeri ini yaitu Indonesia. Para penguasa dan pemimpinnya yang tidak menerapkan hukum Islam, pribadi yang tunduk pada hegemoni para konspirator, boneka asing, dan lain sebagainya. Sehingga, para penguasa dan pemimpin tersebut yang mungkin semula menginginkan kesejahteraan masyarakat dalam kepemimpinannya, berubah kepada hilangnya tujuan tersebut dan menuju pada kepemerintahan ataupun kepemimpinan yang hanya berdasarkan pada hukum manusia dan hawa nafsu.
Definisi
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Al-Amru bil Ma’ruf secara etimologi: al-Amru berarti keadaan ataupun kondisi[1], juga bermakna apa yang diperintahkan untuk mengerjakan, baik itu bersifat pencegahan ataupun tidak[2]. Ma’ruf adalah kebaikan yang diketahui oleh akal ataupun syari’at[3], dan Al-Ma’ruf juga diartikan sebagai apa saja yang dianggap baik dari perbuatan, yaitu segala hal yang diketahui kebaikannya oleh jiwa, dan merasa nyaman dengannya.[4]
Adapun secara terminologi al-Amru bi al-Ma’ruf adalah petunjuk kepada kebenaran, yaitu perintah yang sesuai dengan Al-Kitab maupun As-Sunnah, ataupun perintah kepada amalan yang diridhai oleh Allah Ta’ala baik itu dari perbuatan maupun perkataan.[5]
Sedangkan Nahyu ‘an al-Munkar secara etimologi. An-Nahyu perintah dengan sifat khusus yaitu pelarangan[6] sedangkan al-Munkar adalah lawan dari al-Ma’ruf yaitu segala sesuatu yang dipandang sebagai sesuatu yang buruk, haram, dan makruh.[7]
Adapun secara terminologi, an-Nahyu ‘an al-Munkar adalah celaan (pencegahan) terhadap apa yang dicela oleh syariat, yaitu tindakan pencegahan, peringatan, dan perlawanan kepada sesuatu yang dilarang oleh syariat, dan mengambil tindakan atasnya agar tidak terjatuh kedalamnya secara langsung ataupun terulang kembali.[8]
Maka pengertian amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah atas apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, dan larangan atas apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.[9]
Penguasa secara etimologi, dalam bahasa Arab disebut sebagai Ulil Amri, sulthah, imam, dan yang lain sebagainya. Menurut Ibnu Mandzur, imam adalah siapa saja yang diikuti oleh sebuah kaum, baik itu berada pada jalan yang benar (Islam) ataupun didalam kesesatan (zhalim, kafir, dan fasiq)[10]. Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), penguasa adalah orang yang menguasai; orang yang berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu), memerintah dan yang lain sebagainya, dan diartikan juga sebagai pemegang kekuasaan.[11]
Dari pemaparan definisi secara etimologi, hal yang mengerucut kepada penguasa adalah kata ulil amri, kata ulil amri-lah yang menjadi banyak pembahasan diantara para ulama.
Maka, secara terminologi, ulil Amri adalah orang-orang yang bertindak atas segala permasalahan kaum muslimin, pemegang tali kendali, dan komando tertinggi dalam kepengurusan ummat. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَ أَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَ أُوْلِيْ الْأَمْرِ مِنْكُمْ…
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kalian….” (QS. an-Nisa : 59)
Dan juga sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,
ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يَغُل عَلَيْهِنّ قَلْب مَسْلِم أَبَداً : إِخْلَاصُ الْعَمَل بِهِ, وَ مُنَاصَحَةُ وُلَاةُ الْأَمْرِ, وَ لُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ.
“Tiga perkara yang mencegah terbelenggunya hati seorang Muslim; ikhlash dalam amal, menasehati wali Amr, dan melazimi (bergabung) Jama’ah (Muslimin)”.[12]
Menurut Syar’i, maksud dari Ulil Amri sebagaimana yang tertera di dalam ayat di atas ada perbedaan pendapat di antara para ulama -baik yang berasal dari para Ahli Tafsir, dan yang selainnya- ada beberapa pendapat dan yang masyhur adalah enam pendapat yaitu;
Pertama, mereka adalah para penguasa (Umara’) ini merupakan pendapat sebagian para salaf, diantaranya adalah Abu Hurairah dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma, pendapat ini dirajihkan oleh Imam ath-Thabrani, an-Nawawi. Ini merupakan pendapat Jumhur Salaf dan Khalaf.
Kedua, mereka adalah para alim (Ulama), ini merupakan pendapat sebagian para salaf, diantaranya adalah Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu, Imam Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i dan yang lainnya.
Ketiga, mereka adalah para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ini merupakan pendapat Mujahid.
Keempat, mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar bin Khaththb Radhiallahu ‘Anhuma, ini merupakan pendapat Ikrimah.
Kelima, menurut Imam Ibnu Katsir. Beliau berkata, “Secara dhahir –Wallahu a’lam– mereka adalah secara umum pada Ulama (para alim) dan Umara’ (para penguasa). Dan aku memilih pendapat ini karena merupakan pendapat jumhur para ulama, diantaranya adalah Abu Bakar bin al-Arabi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, asy-Syaukani, dan Syaikh Abdurrahman bin Sa’di.
Keenam, sebagian ulama mengemukakan pendapat bahwa ulil amri adalah lebih umum dari sekedar umara’ (pemimpin), ulama (ahli ilmu), zuama’ (penanggung jawab), wukala’ (wakil), dan segala yang memiliki pengikut. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wa ‘Aqdi.[13]
YUK IKUT AMAL JARIYAH DI MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Dalil-dalil penegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
- Al-Qur’an.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman;
كُنْتُمْ خَيْرُ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَ تَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ تُؤْمِنَوْنَ بِاللهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imran : 110)
وَالْمُؤْمِنُوْنَ و َ الْمُؤْمِنَاتِ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوتَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَوتَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. at-Taubah : 71)
وَلْيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌ عَزِيْزٌ {} الَّذِيْنَ إِنْ مَكَّنَاهُمْ فِيْ الْأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلَوتَ و ءَاتُوْا الزَّكَوتَ وَ أَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَ للهِ عَاقِبَةُ الْأُمُوْرِ
“…Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Mahaperkasa, (Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma’ruf serta mencegah dari yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. al-Haj : 40-41)
- As-Sunnah.
Sedangkan dari sunnah, dari riwayat Abu Sa’id al-Khudri Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَاراَ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِلِسَانِهِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَافُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka ubahlah dengan hatinya, maka itulah selemah-lemahnya iman.”[14]
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَاب رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ،وَ قَدْ وَضَعَ رِجْلَهُ فِيْ الغَرْزِ : أيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : «كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Dari Thariq bin Syihab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa seorang laki-laki –yang meletakkan kakinya pada batang kayu- bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Jihad manakah yang paling utama?” beliau menjawab, “Kalimat hak yang diungkapkan di hadapan manusia penguasa zhalim.”[15]
Hadits Hasan bin al-Hakam,
مَنْ بَدَا جَفًّا وَمَنْ تَبِعَ الصَّيْد غَفَلَ وَمَنَ أَتَى بَابَ السُّلْطَان افْتَتَنَ وَما ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ قُرْباً إِلَّا ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
“Barang siapa yang memulai ia akan berada ditempatnya, barang siapa yang mengikuti hewan buruan niscaya akan lalai, barang siapa yang mendatangi Shulthan (penguasa) maka sungguh ia telah terfitnah, barang siapa yang senantiasa bertambah untuk mendekatkah diri dengan Sulthan, maka Allah akan menjauh darinya dengan jauh.”[16]
- Perbuatan salaf dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi Munkar kepada penguasa.
Pada Masa Khilafah Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, beliau berjalan-jalan menuju pasar ditemani oleh seorang pembantunya yang bernama al-Jarud. Di tengah perjalanan, mereka berdua bertemu dengan seorang wanita. Setelah mengucapkan salam dan dijawab oleh kedua belah pihak, maka kemudian wanita tersebut berkata, “Wahai Umar, aku mengetahui ketika engkau masih kecil dipasar Ukadz dengan nama Umair, kemudian ketika hari-hari telah berlalu engkau menjadi (seorang) Umar, kemudian ketika hari-hari telah terlewat engkau dikenal sebagai Amirul Mukminin. maka bertaqwalah kepada Allah atas tanggung jawab (kepemimpinan) ini, karena barangsiapa yang benci kepada hari-hari yang telah lewat berarti ia membenci kematian.” menangislah Umar.
Ketika melihat hal seperti ini, al-Jarud naik pitam, ia mengatakan, “Hai, engkau telah lancang kepada Amirul Mukminin dan membuatnya menangis!” Maka Umar menimpalinya, “Tinggalkanlah ia, tahukah engkau siapakah dia? Dia adalah Khaulah binti al-Hakim yang perkataan (doa)-nya didengar oleh Allah Ta’ala di atas langit, maka Umar pantas lebih pantas mendengar apa yang dikatakannya.”[17]
Para salaf memberikan perhatian yang sangat luar biasa dalam hal ini, diantaranya ada yang mewanti-wanti agar anak cucunya tidak terjerumus ke dalamnya. Sebagaimana yang dinasehatkan oleh Amru bin ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu kepada anaknya yaitu, “Wahai anakku jagalah olehmu wasiat ini, Imam (pemimpin) yang adil lebih baik daripada hujan lebat yang turun, singa yang lapar lebih baik daripada Imam (pemimpin) yang zhalim, dan Imam yang zhalim lebih baik daripada fitnah yang senatiasa berputar.”[18]
Juga sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal, ketika khalifah al-Watsiq billah yang terkena virus khalqul Qur’an mendakwahkan hal tersebut. Maka para Fuqaha’ Baghdad berkumpul kepada Imam Ahmad untuk melawan hal tersebut, maka Imam Ahmad menjawab, “Hendaknya hati-hati kalian mengingkari hal ini (khalqul Qur’an), janganlah kalian melepaskan diri dari ketaatan kepadanya, janganlah memecah belah kaum muslimin, jangan tumpahkan darah kalian bersama dengan darah kaum muslimin, lihatlah akibat yang (akan) ditimbulkan dari perbuatan kalian (memberontak), bersabarlah sampai hal tersebut tercabut, atau orang tersebut telah tiada.”[19]
Kaidah-kaidah dasar dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
- Dasar dari penetapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah Syariat.
Yaitu bahwa timbangan segala sesuatu baik atau buruk adalah Kitabullah, Sunnah Rasulullah, dan manhaj Salaf, maka tidak ada yang pantas memberikan pengertian akan kebaikan dan keburukan kecuali Syariah al-Islamiyyah. Perkara yang Allah perintahkan baik di dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah, disertai dengan motivasi ataupun sanjungan bagi yang melaksanakan, maka itulah hal Ma’ruf yang diperintahkan.
Sedangkan apa yang dilarang baik terdapat didalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah dan disertai dengan ancaman, bahayanya di dunia dan di akhirat serta celaan bagi yang melaksanakannya, dan ancaman masuk neraka, maka itulah kemunkaran yang dilarang.[20] Maka di sini dapat disimpulkan bahwa hal yang baik (Ma’ruf) ataupun yang buruk (Munkar) itu bukan terletak pada perintah dan larangannya, namun terletak pada Al-Qur’an dan as-Sunnah ketika dikembalikan kepadanya atas pemahaman para salaf ash-Shalih.[21]
- Memiliki dasar ilmu dan bashirah akan hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Yaitu hendaknya bagi yang melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah seorang yang berilmu, ia memiliki ilmu atas apa yang ia perintahkan dan apa yang ia larang. Ilmu merupakan hal yang sangat diperlukan sebelum melakukan amal perbuatan, oleh karena itu Imam al-Bukhari memberikan bab tersendiri yaitu bab “Al-Ilmu Qabla al-Qaul wa al-‘Amal” (ilmu sebelum perkataan dan perbuatan). Berdasarkan pada firman Allah Ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهَ
“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah…” (QS. Muhammad : 19)[22]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Sebuah amal tidak akan baik kecuali dengan ilmu dan difahaminya. Maka dengan jelas bahwa amal tanpa disertai dengan ilmu akan rusak, sesat, serta mengikuti hawa nafsu. Inilah yang menjadi pembeda antara ahlul Jahiliyyah dan ahlul Islam, sudah menjadi keharusan (bagi muslim) untuk mengetahui antara yang baik dan yang buruk, serta dapat membedakan antara keduanya, juga harus memahami kondisi atas apa yang diperintahkan ataupun yang dilarang.”[23]
Syaikh al-Utsaimin memberikan komentar bahwa seorang yang melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus mengetahui ilmu (dalam hal tersebut), kondisi orang yang dituju, dan juga bagaimana metode terbaik yang digunakan dalam hal tersebut.[24]
- Mengetahui syarat pengingkaran kemunkaran.
Dalam hal ini, bagi seorang muhtasib[25] harus mengetahui dan memahami ketika ia hendak menghapuskan kemunkaran, yang pertama adalah bagaimana ia memastikan kemunkaran yang ada, kemudian memperhatikannya ketika dalam upaya untuk melarang atau menghilangkannya.
Syarat-syarat menghilangkan kemunkaran ada tiga, yaitu; pertama, Memastikan kemunkaran yang ada. Kedua, (memahami) kemunkaran sesuai dengan realitanya. Ketiga, Kemungkaran tersebut jelas, bukan dihasilkan dari Tajassus, selama ia bukan merupakan Mujaharah[26]. Keempat, Kemunkaran tersebut bukan hal yang diperselisihkan (kemunkarannya).[27]
- Mengetahui tingkatan dalam pengingkaran kemunkaran.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus dilakukan sesuai dengan kemampuan seorang muhtasib. Ketika seorang muhtasib dapat melakukannya dengan tangan dan itu merupakan yang wajib baginya, maka harus dilakukan. Ketika ia tidak mampu untuk melakukannya dengan tangan maka dengan lisan, jikalau dengan lisan pun tidak dapat melakukannya, maka yang wajib baginya adalah mengingkarinya dengan hati dan membenci kemunkaran tersebut, ini merupakan hal yang dapat dilakukan oleh semua manusia. Dengan dasar Hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,[28]
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراَ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِلِسَانِهِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَافُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka ubahlah dengan hatinya, maka itulah selemah-lemahnya iman.”[29]
Tingkatan pengingkaran kemunkaran ada tiga, pertama, mengingkarinya dengan tangan. Kedua, mengingkarinya dengan Lisan. Ketiga, mengingkarinya dengan Hati.[30]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan komentar atas hadits ini, “Hadits yang disebutkan tidak menunjukkan keharusan untuk mengingkari dengan tangan, kemudian lisan, dan kemudian hati. Hadits ini mengandung mafhum mukhalafah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Bahwa mengingkari dengan hati dan lisan sebelum mengingkari dengan tangan merupakan cara (yang diterapkan) Al-Qur’an….mengingkari dengan hati, dengan cara membencinya, dan itu tidak dapat diketahui tanpa menggunakan ilmu (tentang) keburukannya (kemaksiatan tsb), kemudian setelah itu baru mengingkari dengan lisan, dan kemudian mengingkari dengan tangan, dan Nabi bersabda, “Dan itulah selemah-lemahnya iman.” Bagi yang melihat kemunkaran.”[31]
Sedangkan DR. Abdul Akhir al-Ghunaimi menjelaskan, “Menurut DR. Abdul Akhir al-Ghunaimi, “Hadits tersebut (man raa minkum munkaran…) menerangkan tingkatan yang ada dalam mengubah kemunkaran, bukan menerangkan tahapan dalam mengubah kemunkaran, sementara itu tahapan dalam mengingkari kemunkaran dimulai dengan membenci kemunkaran tersebut didalam hati, lalu menasihati dengan lisan, lalu mengubah dengan tangannya. Ada orang yang dapat mencapai tingkatan tertinggi yaitu dengan membenci kemunkaran, dan menasehatinya dengan lisan serta mengubahnya dengan tangan.”[32]
- Mendahulukan permasalahan yang lebih penting dari yang penting.
Mendahulukan (memulai dengan) perkara yang lebih penting dari yang penting merupakan kaidah yang dengannya ada hukum wajib akan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, hendaknya bagi sang muhtasib untuk membenahi dahulu permasalahan ushul Aqidah, ia perintahkan untuk bertauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata, serta melarang untuk melaksanakan kemusyrikan, kebid’ahan, dan sihir (sulapan). Baru kemudian diperintahkan untuk melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, kemudian kewajiban-kewajiban yang lainnya dan meninggalkan hal-hal yang haram, kemudian menuju kepada yang sunnah dan meninggalkan hal-hal yang makruh.[33]
- Mengetahui maslahat dan Mafasid.
Syariat Islam terbangun untuk menghasilkan maslahat serta menyempurnakannya, dan juga menghilangkan mafsadat, meminimalisir hingga meniadakannya. Oleh karena itu, ini merupakan kaidah penting dalam penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah mengetahui Maslahat, maka menjadi syarat dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidaklah mengakibatkan mafsadat yang lebih besar atau lebih besar dari kemunkaran itu sendiri.[34]
- Kokoh (tenang) dalam permasalahan dan tidak tergesa-gesa.
Hendaknya bagi seorang muhtasib dan Da’i untuk kokoh (tenang) dalam segala kondisi dan segala urusan, tanpa disertai dengan terburu-buru atau tergesa-gesa. Senantiasa memperhatikan kelemah lembutan dan kesabaran dalam muamalah kepada orang-orang, baik ketika Memerintah (Amar Ma’ruf) ataupun ketika melarang (Nahi Munkar). Ini merupakan hal yang harus diperhatikan, baik seorang muhtasib ataupun seorang da’i.[35]
Baca juga: Fenomena Anak Indigo Dalam Kajian Syar’i
Perihal Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada Penguasa.
Wulat al-Amr menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah orang yang memiliki pengaruh ataupun kekuasaan dan apa yang dibawahnya, mereka adalah yang memerintah (mengatur) manusia, maka didalamnya juga termasuk pada orang yang memiliki pengaruh dan kekuatan, juga ahli ilmu dan kalam.
Oleh karena itu, ulil Amri memiliki dua sisi, yaitu umara’ itu sendiri, dan yang kedua adalah para ulama, ketika mereka baik dan benar, maka baik dan benarlah manusia, dan jika mereka rusak dan menyesatkan, maka semua oramg pun akan rusak dan disesatkan, mencakup didalamnya adalah para raja, masyayikh, pejabat bagian, yang siapa saja yang diikuti (untuk ditaati) adalah wulat al-Amr.[36]
Pertama, Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada para ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melakukan berbagai hal dalam rangka amar Ma’ruf kepada para ulama dalam banyak hal. Yaitu ketika para ulama yang menjadi rujukan umat tersebut melakukan kesalahan, baik itu fatal ataupun tidak.[37]
Diantaranya adalah apa yang beliau lakukan terhadap ulama dan Qadhi (Hakim) Mesir di zaman beliau,[38] yang mengatakan akan anjuran melakukan perjalanan (yang berat serta menyusahkan) guna berziarah kubur, ia jelaskan hal ini kepada hakim tersebut akan kebatilan apa yang difatwakan tersebut.[39]
Beliau juga melakukan hal ini kepada sebagian ulama Ushul Fiqh pada zaman beliau, yaitu sebagian ahli Ushul tersebut membangun dasar ilmu Ushul dengan ushul Filsafat, sehingga mengingkari adanya tingkatan dalam macam-macam kewajiban dan keharaman.[40] Dan masih banyak lagi perihal yang beliau benahi dari para ulama masa tersebut yang mengalami kesalahan.[41]
Kedua, Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada para penguasa pemerintahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa pada zamannya. Yaitu kepada sebagian pemimpin bani Ubaid dan ‘khilafah’ Bani Buwaih yang dikenal dengan ke-zindikannya, beliau menjelaskan atas apa yang menjadi kesesatan dan kesalahan mereka.[42]
Begitu juga yang beliau lakukan kepada para pemimpin yang menyebarkan kesesatan dalam keyakinan, seperti khalqul Qur’an, Hulul, dan Wihdatul Wujud.[43] Dan juga ketika beliau melihat bahwa pemerintahan pada masa tersebut menjadikan kaum Nashrani sebagai orang-orang yang mengurus urusan kaum muslimin atau dalam artian bahwa mereka dijadikan sebagai pejabat dalam pemerintahan Islam. Karena itu semua dapat menimbulkan fitnah bagi kaum muslimin.[44]
Dan juga yang beliau lakukan ketika menegur para penguasa dan memotivasi mereka agar berani bertempur melawan pasukan Tatar.[45]
Bagaimana melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada Penguasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan cara bagaimana Amar Ma’ruf Nahi Munkar dilaksanakan kepada penguasa, tentunya berbeda dengan yang selainnya, karena posisi dan kedudukan mereka. Ia memiliki kaidah-kaidah yang harus diperhatikan terutama bagi pelaksana amal ini, diantaranya adalah,
- Pertama, Mereka adalah ulama pewaris para Nabi,[46] sehingga untuk menghadapinya haruslah dengan adab-adab yang baik kepada mereka, demi menjaga posisi dan kedudukan mereka, bahasa yang digunakan tidak membuat mereka bingung, tidak menggunakan bahasa yang buruk namun mengandung kebenaran, dan juga tidak menggunakan bahasa yang baik namun mengandung keburukan. Agar pesan yang disampaikan benar dan sempurna.[47]
- Kedua, Merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam hal taat kepada Umara’ pada hal yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, memberikan nasehat kepada mereka, bersabar atas mereka, berperang bersama mereka, shalat dibelakang mereka, dan itu semua merupakan dalam hal Ta’awun ‘ala al-Birri wa at-Taqwa. Oleh karena itu Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada mereka pun disyariatkan. Dengan tidak mengharapkan imbalan, harta, jabatan, ataupun menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah (penjilat).[48]
- Ketiga, seorang muhtasib hendaknya mengetahui, bahwa pandangan manusia kepada penguasa terbagi menjadi dua, pertama adalah yang memandang kepada seluruh perbuatan maksiat dari para penguasa tersebut, sehingga mereka mencela dan marah terhadap penguasa-penguasa tersebut, kedua adalah yang memandang dari segi berbagai kebaikannya (ketaatannya saja), sehingga menimbulkan rasa cinta kepada mereka, mengutamakan mereka dalam hal kebaikan, bahkan yang lainnya sampai jika para penguasa tersebut melakukan keburukan akan dianggap baik pula.[49] Dengan itu ia dapat bersikap objektif dalam menyikapi kemunkaran yang ada.
- Keempat, bagi muhtasib hendaknya mengetahui dengan benar (begitu pula dengan manusia pada umumnya) akan kewajiban taat kepada Allah, Rasulullah, dan Ulil Amri baik yang berasal dari ulama maupun umara’, dalam segala kondisi selama tidak dalam rangka maksiat kepada Allah dan rasul-Nya.[50]
- Kelima, hendaknya hal pertama muhtasib dalam amalnya kepada penguasa adalah tidak dengan menggunakan tangan terlebih dahulu, walaupun itu merupakan tingkatan yang paling utama, maka dimulai pada tingkatan yang paling rendah, yaitu mengingkari dengan hati, baru kemudian melanjutkannya kepada tingkatan diatasnya yaitu mengingkari dengan lisan. Bentuk mengingkari dengan lisan adalah dengan memberikan keterangan dan pengertian dalam kemunkaran, kemudian dilanjutkan dengan peringatan dan takhwif (penakutan atas Allah). Dalam rangka memberikan nasehat ataupun teguran, hendaknya memperhatikan situasi dan kondisi penguasa tersebut, karena bisa jadi ia disibukkan oleh perkara-perkara yang menjadi tanggung jawabnya, dan tentunya dengan memperhatikan adab yang ada.[51] Wallahu a’lam bish Shawwab.
Kesimpulan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada penguasa adalah perkara yang harus dilakukan pada tipikal penguasa manapun, ia memiliki aturan yang lebih ketat dari yang lainnya. Karena penguasa sendiri menjadi tolak ukur kebaikan (kesejahteraan) suatu masyarakat, yang jika ditinggalkan sama sekali akan berakibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Dan juga ketika dilaksanakan namun tidak merata atau maksimal akan berakibat tidak baik bagi kehidupan masyarakat.
Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama menjadi hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan amalan ini, amalan yang tidak sembarang orang dapat melaksanakannya. Maka atas seluruh apa yang dipaparkan semoga dapat membimbing bagi para muhtasibin dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar terutama kepada penguasa, Wallahu A’lam bish Shawwab.
PROGRES PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
[1] Ibrahim Musthafa, Ahmad Hasan az-Zayat, Hamid Abdul Qadir, Muhammad Ali an-Najjar, Al-Mu’jam al-Wasith, (Istambul, al-Maktabah al-Islamiyyah, 1392 H), Cet. II, vol. 1. Hlm. 26.
[2]Ali bin Abdul Kafi as-Subki, Al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj ‘ala Minhaj al-Wushul ila Ilmi al-Ushul lil Baidhawi, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H), vol. 1. Hlm. 221.
[3] Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt). Hlm. 431.
[4] Nashir Khalil Muhammad Abu Diyah, Adh-Dhawabith al-Fiqhiyyah li al-Amru bil Ma’rufi wa an-Nahyu ‘anil Munkar, (Universitas an-Najah al-Wathani, Gaza). Hlm. 16.
[5] Ali bin Abdul Kafi as-Subki, Al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj ‘ala Minhaj al-Wushul ila Ilmi al-Ushul lil Baidhawi, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H) vol. 1. Hlm. 221.
[6] Ibid.
[7] Ibnu Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, (Beirut, Al-Maktabah Al-Ilmiyyah, tt), vol. 5. Hlm. 115.
[8] Sulaiman bin Abdurrahman al-Huqail, Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar fi Dhaui Kitabillah. Hlm. 21.
[9] Nashir Khalil Muhammad Abu Diyah, Adh-Dhawabith al-Fiqhiyyah li al-Amru bil Ma’rufi wa an-Nahyu ‘anil Munkar, (Universitas an-Najah al-Wathani, Gaza, tt) Hlm. 19.
[10] Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-Udzma ‘inda Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah, (Riyadh, Dar Thayyibah, tt). Hlm. 28.
[11] KBBI offline.
[12] Muhammad bin Abdullah al-Mas’ari, Tha’atu Ulil Amri Hududuha wa Quyuduha, (London, Lajnah ad-Difa’ ‘an al-Huquq asy-Syar’iyyah, 1423H) cet. III. Hlm. 15. Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, vol. 1, hlm. 29.
[13] Muhammad bin Abdullah al-Mas’ari, Tha’atu Ulil Amri Hududuha wa Quyuduha, (London, Lajnah ad-Difa’ ‘an al-Huquq asy-Syar’iyyah, 1423H) Cet III, hlm. 15.
[14] Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih / Shahih Muslim, (Dar al-Afaq al-Jadidah, tt), no. 70, vol. 1, hlm. 167.
[15] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Riyadh, Bait al-Afkar, 1419 H), nomor. 19033. Hlm. 1376. An-Nasa’i, As-Sunan al-Kubra li an-Nasa’i, (Maktabah Syameela), no. 7834, vol. 4, hlm. 435. Muhammad bin Yazid Ibnu Majah al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh, Dar as-Salam, 1999 M), Cet. I, kitab al-Fitan, no. 4012, vol. 5, hlm. 144. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, (Riyadh, Maktabah Al-Ma’arif, 1417 H), vol. 2, hlm. 62.
[16] Ibnu Hajar al-Asqalani, Ithraf al-Musnid al-Muta’ali bi Athraf al-Musnad al-Hanbali, (Damaskus, Dar Ibnu Katsir, tt), vol. 8. Hlm. 221.
[17] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhajul Qashidin, (Alexandria, Dar al-Aqidah, 2005 M), cet I. hlm. 123.
[18] Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, al-Adab asy-Syar’iyyah, (Beirut, Mu’sasah ar-Risalah, 1417 H), Cet. II., vol. 1. Hlm. 197.
[19] Ibid. Hlm. 196.
[20] Qawaid Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 9-10.
[21] Ibid. Hlm. 10.
[22] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1410 H), Cet. I. Vol. 1. Hlm. 211.
[23] Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili, Qawaid Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, ( Madinah, Universitas Islam Madinah, tt). hlm. 11.
[24] Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili, Qawaid Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, ( Madinah, Universitas Islam Madinah, tt), hlm. 12-13.
[25] Orang yang melaksanakan amal Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
[26] Mujaharah merupakan orang-orang yang melakukan kemaksiatan (keburukan) dimalam hari sedangkan Allah menutupi perbuatannya tersebut, namun ketika siang hari ia membongkarnya sendiri.
[27] Ibid, hlm. 14.
[28] Ibid, hlm. 20.
[29] Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih / Shahih Muslim, (Dar al-Afaq al-Jadidah, tt), no. 70, vol. 1, hlm. 167.
[30] Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili, Qawaid Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, ( Madinah, Universitas Islam Madinah, tt), hlm. 21-31.
[31] Hisbah nadzariyyah wa amaliyyah inda Ibnu Taimiyyah, hlm. 142-144.
[32] DR. Abdul Akhir al-Ghunaimi, Nahi Munkar. Hal. 62.
[33] Ibid, hlm. 32.
[34] Ibid, hlm. 35.
[35] Ibid, hlm. 41.
[36] Naji bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah ‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M) Cet. I. Hal. 261.
[37] Ibid, hlm. 262.
[38] Ibid.
[39] Ahmad bin Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Al-Majlis al-Islami al-Asiawi Lajnah Dakwah wa at-Ta’lim, 1417 H), vol. 27. hlm. 215-220.
[40] Naji bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah ‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M) Cet. I. Hlm. 264.
[41] Ibid.
[42] Ibid, Hlm. 265.
[43] Ibid.
[44] Naji bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah ‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M) Cet. I. hlm. 266.
[45] Ibid. Hlm. 277.
[46] pengertian Wulat al-Amr yang pertama menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[47] Ibid, hlm. 284.
[48] Ibid, hlm. 284-285.
[49] Naji bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah ‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M) Cet. I, hlm. 285.
[50] Ibid, hlm. 286.
[51] Ibid.