“Ta’addabu qabla ta’allamu”, kata Umar bin Khattab, belajar adablah dahulu, sebelum kalian belajar ilmu [al-Adab as-Syar’iyah; 3/552]. Pesannya beliau memang singkat, namun penuh arti. Senada dengan itu, Ibnu Abbas juga mengatakan, “Belajarlah adab, karena adab menajamkan akal fikiran, menunjukkan harga diri, ramah dikala sendiri, sahabat dalam keterasingan dan harta dalam kekurangan” [Ghiza’u al-Baab fi Syarhi Mandzumah al-Adab; 1/36].
Ulama besar, Ibnu Mubarak pun menyatakan;” Kami lebih membutuhkan sedikit adab daripada ilmu yang banyak” [al-Luma’ fi Tarikh at-Tashawwuf al-Islami, Hlm. 137]. Sufyan at-Tsauri mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah, dua puluh tahun, sebelumnya (menulis hadits).” [Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361]
Sedangkan Imam Syafi’I pernah ditanya, “Bagaimana keinginanmu terhadap adab?’’, Ia menjawab, “Ketika aku mendengar satu hal tentang adab maka seluruh anggota tubuhku merasakan nikmat karenanya.” Beliau ditanya lagi, “ Bagaimana engkau mencari adab?”, Beliau menjawab, “ Seperti seorang wanita yang kehilangan anaknya dan ia tidak memiliki apapun selain anak itu.” [Tadzkirah Sami’ wal Mutakallim, Hlm. 32]
Menurut Imam al-Ghazali, adab adalah pendidikan diri lahir dan batin yang mengandung empat perkara: perkataan, perbuatan, keyakinan dan niat seseorang [Raudhat at-Thalibin wa Umdat as-Salikin, Hlm. 10]. Sedikit agak berbeda, menurut al-Mawardi, adab adalah akal yang Allah ciptakan untuk pondasi agama dan tiang bagi urusan dunia [Adab ad-Dunya wa ad-Din, Hlm. 17]
Perkara adab bukan urusan yang sepele, para ulama tedahulu bahkan telah menaruh perhatian dalam porsi besar dalam urusan adab, ini bisa kita lihat dari karya-karya mereka seperti; adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhari, Adab ad-Dunya wa ad-Din karya Imam al-Mawardi, al-Adab fi ad-Din karya Imam al-Ghazali, at-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an karya Imam an-Nawawi, Adab al-Insan karya Sayyid Utsman bin Yahya, dan Adab al-‘Alim wal Muta’allim karya K.H Hasyim Asy’ari dan masih banyak yang lainnya.
Sampai sini dapat kita pahami bahwa para ulama begitu menekankan akan pentingnya adab, bahkan menurut Ibnu Mubarak adab wajib ditanamkan sebelum ilmu. Mengapa demikian?, sebab, orang yang memiliki ilmu tetapi tidak mempunyai adab ia akan menjadi manusia biadab yang merusak. Ia tak tahu bagaimana menggunakan ilmunya dengan benar.
BACA JUGA: Secuil Cerita Adab Dari Negeri Yang Diberkahi
Adab Bagi Penuntut Ilmu
Ibnu Jama’ah dalam Tadzkirah Sami’ wal Mutakallim menyebutkan, bahwa adab seorang penuntut ilmu terbagi menjadi tiga; adab kepada diri, guru dan adab dalam belajar itu sendiri.
Pertama, adab seorang penuntut ilmu kepada dirinya; pertama kali adalah membersihkan hati, karena hati yang bersih bagi hati ibarat tanah subur yang akan ditanami diatasnya tanaman, ia akan cepat besar dan berbuah. Setelah hati bersih, selanjutnya adalah meluruskan niat, hendaknya niat dia menuntut ilmu hanya mengharap pahala dari Allah, siap untuk mengamalkannya. Kemudian dia harus bersedia menghabiskan usianya untuk ilmu, dan memalingkan dari kesibukan-kesibukan tak bermanfaat yang tak ada kaitannya dengan ilmu.
Selain itu dia harus siap menanggung kesusahan manakala dalam proses perjalanan menuntut ilmu dia harus siap menanggung susah dan dan payah. Harus bisa mengatur waktu, mana waktu untuk belajar, untuk dirinya dan untuk urusan sosial lainnya.
Tak kalah penting, terkait makanan, seorang penuntut ilmu tidak diperkenankan berlebihan saat makan dan juga harus menghindari makanan yang berdampak buruk pada kecerdasan. Bersikap wara’ (hati-hati) dalam segala urusan. Mengurangi waktu tidur, karena terlalu banyak tidur akan mengurangi efektifitas badan dan fikiran. Kemudian yang terakhir adalah menjaga diri dari pergaulan yang kurang baik, agar bisa meminimalisir informasi tidak penting yang masuk dan diserap oleh fikirannya.
Kedua, adab kepada guru; pertama yang paling penting dan harus diperhatikan adalah memperhatikan dari siapa seseorang mengambil ilmu, sebab para salaf dahulu berpesan kepada kita, ilmu itu adalah din maka perhatikanlah darimana kamu mengambilnya. Menaati guru dan bersikap layaknya seorang yang sakit dihadapan dokternya. Menunaikan hak-hak guru dan tidak melupakan jasa-jasanya. Bersabar terhadap sikap guru atas sikapnya yang dirasa tidak mengenakkan.
Selanjutnya kita harus berterima kasih kepadanya atas segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki guru. Tidak sembarangan masuk ke dalam majlisnya tanpa izin, keculi majelis yang diperuntukkan untuk umum. Duduk didepan guru dengan menjaga adab, penuh perhatian, dan tidak berpaling kecuali ada urusan mendesak. Sopan dalam bertanya dan berkata-kata dengannya. Jika mendengar sebuah maklumat atau ilmu yang sejatinya sudah dia dengar dan pahami bersikaplah layaknya belum pernah mendengar sebelumnya. Tidak memotong perkataan atau penjelasannya. Jika guru memberikan sesuatu, terimalah dengan tangan kanan. Kemudian yang terakhir, berada didepannya ketika berjalan di malam hari dan dibelakangnya ketika siang hari.
Ketiga, adab ketika belajar; pertama kali memulainya dengan menghafal al-Qur’an, memperlajari ushul-ushul dan tafsirnya, meskipun ini tidak mutlak bisa dilakukan, karena kemampuan dan latar belakang masing-masing pribadi tentunya berbeda. Untuk pemula, hendaknya menghindari materi-materi tentang ikhtilaf, (perbedaan pendapat dikalangan ulama) karena itu bisa mengacaukan fokus dalam belajar.
Memperbaiki bacaan, atau memahami persoalan secara detail sebelum menghafalnya. Jika itu adalah hadits, bersegera untuk menyimaknya, memperhatikan sanad, rawi, makna, hukum-hukum, faidah, bahasa sampai pada sejarahnya. Ketika selesai memahami suatu permasalahan, lanjut kepada pemabahasan lain yang lebih detail. Selanjutnya jika memungkinkan, tidak mencukupkan hanya dengan pelajaran saja, tapi berusaha untuk mengikuti majelis-majelis lainnya.
Mengucapkan salam ketika masuk kedalam majelisnya, ini juga patut untuk diperhatikan, begitu juga ketika keluar darinya. Tidak memisahkan dua orang di majelis dengan cara kita duduk ditengah keduanya. Tidak malu bertanya jika ada materi yang dirasa belum bisa dipahami.
Selain itu, seorang murid menunggu giliran untuk maju dengan tidak mendahului yang lainnya, kecuali diizinkan. Memulai belajar dengan membaca ta’awudz, basmallah, tahmid dan shalawat. Terakhir, antar sesama murid hendaknya saling mengingatkan sesama mereka ketika rasa bosan mulai mengampiri. [Tadzkirah Sami’ wal Mutakallim, Hlm. 85-124]
Persoalan adab murid terhadap guru bukan hal biasa, yang pantas untuk diremehkan, bolehlah kita umpamakan, seorang murid itu seumpama teko kosong yang akan disisi air, airnya adalah ilmu, dan yang akan mengisi adalah para guru atau ustadz yang dia ambil ilmunya. Ilmu tidak akan pernah bisa masuk ke dalam teko manakala tutup teko tertutup, tutup teko itu ibarat adab, beradab kepada guru berarti membuka tutup teko dan membiarkan air masuk mengisi teko tersebut.
Adab Seorang Guru
Masih dalam kitab Tadzkirah Sami’ wal Mutakallim tentang adab yang harus dimiliki oleh seorang guru, Ibnu Jama’ah menyebutkan point-point yang cukup banyak, sebagai berikut:
Adab guru terhadap diri sendiri; Muraqabah, sigap dalam menjaga adab, memuliaan ilmu sebagaimana para ulama salaf terdahulu; dengan menjadikan ilmunya sebagai hal yang mulia dan berharga. Berperilaku zuhud, membiasakan diri hidup sederhana sesuai dengan kebutuhan hidup layak dan selalu merasa berkecukupan (qana’ah).
Memuliakan ilmu dengan tidak menjadikannya sebagai alat atau media untuk mencapai tujuan duniawi pragmatis. Menghindarkan diri dari pekerjaan tercela atau tindakan yang kurang pantas, baik berdasarkan perspektif agama maupun menurut adat kebiasaan atau sesuai dengan adab masyarakat yang berlaku secara umum dan luas, termasuk terhadap hal yang dianggap makruh secara syar’i. Harus mampu mengaktualisasikan ajaran agama, spesifiknya yang berkaitan dengan amal lahiriah yang sangat tampak terlihat. Selalu menjaga kontinuitas pelbagai amalan sunnah, baik yang terkait dengan perkataan maupun perbuatan.
Mendasarkan interaksinya (mu’amalah) kepada akhlak mulia. Menjauhkan diri dan menyucikan jiwa dari berbagai akhlak buruk serta menghiasi dan menumbuhkembangkan beragam akhlak baik yang terpuji dalam dirinya, baik lahir maupun batin. Secara kontinuitas berkewajiban untuk selalu menambah wawasan ilmu dan memperdalam cakrawala pengetahuannya sepanjang hidup.
Tidak boleh merasa malu untuk mengambil faedah ilmu atau bahkan untuk belajar dari orang yang lebih junior, baik dalam jabatan, genealogi keturunan atau dalam usia, termasuk bisa saja ia belajar dari para muridnya. Memiliki perhatian untuk memiliki kemampuan dalam menulis, menyusun dan mengompilasi karya ilmiah sesuai dengan kompetensi (tamam al-fadilah) dan keahliannya (kamâl al-ahliyyah).
Adab guru terhadap pelajaran; Ketika hendak berangkat ke tempat mengajar (majlis at-tadris), menyucikan diri dari hadats dan kotoran, membersihkan dan merapikan badan serta dengan elegan mengenakan pakaian paling bagus yang layak sesuai kultur yang berlaku.
Membaca doa keluar rumah. Duduk pada posisi yang bisa dilihat oleh seluruh murid yang hadir dengan terlebih dahulu mengatur posisi duduk mereka secara proporsional. Sebelum memulai pelajaran, sebaiknya membacakan beberapa ayat al-Qur’an agar mendapatkan keberkahandan berdo’a untuk kebaikan diri sendiri, para murid dan seluruh kaum Muslimin. Mendahulukan disiplin ilmu yang berstatus lebih mulia (asyraf) dan lebih urgen (ahamm).
Dapat mengatur nada dan intonasi suaranya ketika mengajar. Menghindarkan majelis pelajarannya dari kegaduhan (laght). Mampu mencegah berbagai pihak terutama dari internal para murid yang akan berbuat keji dalam debat, atau yang kebingungan dalam mengkaji, atau yang tidak baik dalam beradab, atau yang tidak mampu bersikap adil setelah kebenaran berhasil diungkap dalam perdebatan.
Senantiasa bersikap adil dalam memberikan pelajaran dan pembelajaran. Memberi perhatian dan kasih sayang lebih kepada murid asing. Ketika mengakhiri pelajaran hendaknya mengucapkan wallahu a’lam (hanya Allah yang lebih mengetahui). Mengetahui kompetensi keahliannya sehingga ia tidak akan mengajar pada bidang keilmuan yang bukan menjadi spesialisasi keahliannya.
Adab guru terhadap murid: Mengajar dan mendidik harus diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, menyebarluaskan ilmu (nasyr al-‘ilm), menghidupkan atau membumikan syariat (ihya’ asy- syari’), mengimplementasikan kebenaran secara kontinuitas (dawam zuhur al-haqq), dan untuk meredam kebatilan (khumul al- batil).
Walaupun murid memiliki niat yang tidak ikhlas (adam khulush al- niyyah), tidak boleh berhenti atau menolak untuk mengajarinya. Dapat memotivasi (targhîb) para muridnya tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan proses pencariannya (thalab) pada setiap waktu. Mencintai muridnya dalam mendapatkan kebaikanatau hal positif seperti mencintai dirinya sendiri.
Menggunakan metode dan teknik penyampaian yang paling lugas dan mudah dipahami oleh murid. Antusias (hirsh) dalam memberikan pembelajaran dengan selalu mempertimbangkan kemampuan daya serap muridnya. Ketika telah selesai menjelaskan pelajaran, ada baiknya memberika kesempatan kepada murid untuk bertanya dan mengadakan evaluasi (imtihan). Mampu mengatur waktu untuk mengadakan evaluasi terhadap kekuatan hafalan murid secara kognitif.
Menasehati murid yang belajar secara berlebihan hingga melampaui batas kemampuannya dengan lemah lembut. Mampu menjelaskan prinsip- prinsip dasar ilmu dari setiap disiplin ilmu yang menjadi landasan atau kaidah bagi ilmu lainnya kepada para muridnya dan dapat menunjukkan kepada mereka referensi utama yang tersedia dalam kajian tersebut.
Tidak bersikap diskriminatif dengan memberikan perlakuan istimewa kepada sebagian murid. Berkewajiban untuk dapat mengawasi dan memonitor adab, perilaku, dan akhlak murid, baik lahir maupun batin. Hendaknya selalu berusaha untuk membantu murid. Rendah hati dan lemah lembut. [Tadzkirah Sami’ wal Mutakallim, Hlm. 48-82].
Itulah beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang guru, semoga menjadi bahan inspirasi ataupun renungan bagi para guru dan bisa melazimi hal tersebut diatas. Sebab hilangnya sensifitas terhadap adab, khususnya adab yang terkait dengan ilmu akan melahirkan dampak kerusakan yang besar, serta berdampak bagi kemunduran umat Islam.
BACA JUGA: Media Sosial Dalam Perspektif Islam
Krisis Adab, Problem Mendasar Umat Islam
Professor Syed Naquib al-Attas, seorang pemikir muslim yang diakui, baik dikalangan muslim sendiri, atau dikalangan Barat bahkan mengatakan bahwa problem terbesar yang menjadi sebab kemunduran umat Islam hari ini adalah loss of adab, problem hilangnya adab. Menurut al-Attas, masalah ini adalah masalah internal mendasar yang melekat pada umat Islam hari ini. Maksud loss of adab dijelaskan maknanya oleh al-Attas sebagai; “lost of discipline-the discipline of body, mind, and soul, the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society, and community, the recognition and acknowledge of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials, the recognition and acknowledge of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically.” [Aims and Objectivies of Islamic Education, Hlm. 1].
Penjelasan al-Attas ini sangat menarik, sebab memberikan definisi loss of adab sebagai ’’hilang disiplin” yakni hilang disiplin badan, pemikiran, dan jiwa. Seseorang beradab, menurutnya, adalah adalah orang yang memahami dan mengakui posisinya yang tepat dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dan komunitasnya. Ia memahami dan menyikapi dengan betul potensi-potensi fisik, intelektual, dan spritualnya. Juga ia memiliki sikap yang benar terhadap kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan wujud diatur secara hirarkis.
Maknanya, ketika manusia tidak paham atau tidak memiliki sikap dan tindakan yang benar terhadap diri dan lingkungannya serta terhadap ilmu pengetahuan dan tatanan wujud, maka manusia itu telah hilang adabnya.
Jika loss adab itu terjadi pada adab terhadap ilmu, maka akan berdampak serius pada kondisi umat secara keseluruhan. Sebab, ilmu menjadi dasar amal. Karena itu, Prof. Naquib al-Attas menekankan pentingnya memahami tujuan mencari ilmu yang benar. Dalam buku Islam and Secularism, al-Attas menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tersebut: “ The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a good man… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab …” [Islam and Secularism, Hlm. 150-151].
Jadi, tujuan utama mencari ilmu adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai keadilan. Itu bermakna, bahwa Prof. al-Attas lebih menekankan pendidikan sebagai proses pembentukan sikap dan prilaku yang betul (beradab) untuk mewujudkan tegaknya keadilan. Pendidikan bukan sekedar pengajaran atau sekedar penambahan wawasan. Tetapi, lebih penting lagi, pendidikan harus berdampak kepada perubahan sikap dan perilaku.
Proses penanaman adab dalam diri seorang muslim, kata DR. Adian Husaini, adalah hakikat dari pendidikan; dan itulah yang seharusnya menjadi fokus utama perjuangan umat Islam (dalam bidang pendidikan). Sumber daya manusia yang unggul adalah kunci keberhasilan perubahan menuju yang lebih baik. Perjuangan membentuk lembaga atau institusi Islam (dalam semua bidang kehidupan) akan berakhir sia-sia jika lembaga-lembaga itu dikelola manusia-manusia yang tidak bermutu atau tidak beradab. Karena itulah, lanjut beliau, keberhasilan dakwah Rasulullah yang sangat fenomenal adalah melahirkan satu generasi terbaik. Generasi inilah yang mampu melanjutkan dakwah Nabi dengan sangat gemilang, dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik dan kenegaraan dan pendidikan. [Pendidikan Islam Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045, Hlm. 13].
Mewujudkan tujuan pendidikan yang mulia itu merupakan perkejaan yang sangat berat. Sebab utamanya adalah kekeliruan ilmu (confusion of knowledge) yang telah merasuk ke berbagai sektor kehidupan umat Islam, sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin keliru di berbagai bidang kehidupan. [Pendidikan Islam Mewujudkan …, Hlm. 14]
Di zaman Rasulullah, generasi sahabat dididik langsung oleh guru terbaik didunia, Rasulullah sendiri, dan rumusan pendidikan ketika itu digambarkan oleh Umar bin khattab, “Ta’addabu qabla ta’allamu …”, belajarlah kalian adab, sebelum belajar ilmu. Ini konsep yang luar biasa, tahun 637, lima tahun sepeninggal Rasulullah, generasi ini telah membuka peradaban baru di kota Jerusalem. Mereka berhasil mengalahkan Romawi, yang jumlah pasukannya berkali-kali lipat dari pasukan Islam. Sebelum wafat, Rasulullah sudah mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima perang pada usia 18 tahun. [Pendidikan Islam Mewujudkan …, Hlm. 316]
Pun demikian, generasi Shalahuddin dilahirkan oleh para ulama semisal al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya. Generasi ini berhasil membebaskan kota Jerusalem pada 1187 M. Simaklah lahirnya generasi ini dalah buku “ Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin …” karya pakar pendidikan Dr. Majid Irsan al-Kilani. Pola pendidikan pada generasi ini pun mengacu pada konsep penanaman adab dan peningkatan ilmu, berporos pada konsep “tazkiyatun nafs” (pensucian jiwa).
Sementara itu, generasi Muhammad al-Fatih dilahirkan oleh guru-guru hebat pula, seperti Syaikh al-Kurani dan Aaq Syamsuddin. Pola pendidikannya pun sama: penanaman adab dan peningkatan ilmu. Syaikh Aaq Syamsuddin adalah seorang ahli dibidang tasawwuf, syari’ah, akhlak, pengobatan dan sebagainya. Prestasi gemilang generasi ini adalah membuka Kota Konstantinopel pada 1453 dan membangun satu peradaban yang unggul. Akan tetapi, perlu dicatat, itu adalah karya sebuah generasi, bukan hasil karya seorang tokoh saja. [Pendidikan Islam Mewujudkan …, Hlm. 317]
Hari ini, saat kita coba untuk sejenak merenung, membandingkan realita hari ini dengan zaman Shalahuddin dan Muhammad al-Fatih, kita dihadapkan pada satu kenyataan bahwa lembaga-lembaga pendidikan kita masih belum sesuai harapan atau tepatnya belum mampu mencetak generasi layaknya dua generasi diatas, sebabnya entahlah, karena kualitas pendidiknya, konsep yang dipakai, atau bahkan keduanya. Kiranya ini menjadi PR besar umat Islam yang harus difikirkan bersama. Wallahu a’lam. [Yamin]