Tulisan ini adalah kiriman dari salah satu alumni Ma’had ‘Aly An-Nuur asal Riau, Yasfi Ramadhani yang kini tengah melanjutkan studinya di negeri Yaman, beliau ingin berbagi sedikit cerita kepada kita tentang kehidupan masyarakat Yaman yang cukup unik menurut beliau. Tentang, nuansa keislaman yang begitu kental mewarnai kehidupan mereka sehari-hari.
Di Yaman, hal yang cukup unik pertama kali ditemukan adalah ‘sebar salam’, dimana pun dan dari siapapun, baik yang berpenampilan layaknya seorang syaikh atau biasa-biasa saja. Anda akan temui mereka tetap memberi salam tanpa peduli apakah salam itu akan diberikan kepada pasa syaikh, anak muda, atau bahkan anak-anak. Jujur, kami pribadi kadang kaget dan kagum, dibuatnya. Karena bagi kami itu hal yang luar biasa, tak pernah (bagi saya pribadi) kami saksikan dinegri kami, Indonesia.
Se-preman apapun preman Yaman, katakanlah begitu, itupun kalau benar mereka preman, mereka tetap memakai sarung, atau minimal atau lengkap dengan imamah (sorban)nya. Kita dapat menemukan keadaan itu, di sudut jalan, dilapangan bola, dijalan dan tempat tempat umum lainnya. Bukan masalah sarung atau sorbannya tentu, karena itu adalah budaya mereka, yang menjadi perhatian saya, bila mereka berpapasan dengan kami, warga asing di negri mereka, mereka lantas memberi salam kepada kami, padahal kami belum saling mengenal.
Hal unik lain adalah semua perempuan (baca: Harim Yaman) yang sudah baligh, tidak ada yang wajahnya terbuka kecuali sangat sedikit sekali, ini kami dapatkan di Aden, mungkin sebabnya karena daerah ini bekas jajahan Inggris dulunya. Sehingga sisa-sisa akulturasi Budaya Barat masih didapatkan. Selain daerah ini, baik di jalan, sekolah, pasar, maupun di restoran, tidak pernah atau belum pernah kami melihat wanita baligh disini yang terbuka wajahnya.
Kami penasaran, setelah coba kami telusuri kira-kira apa yang menjadikan mereka begitu erat memegang nilai keIslaman. Kami menmukan fakta yang luar bisa menurut kami, ternyata mereka sangat erat memegang nilai-nilai adab, dan suatu aib yang besar manakala mereka meninggalkan hal itu, karena itulah yang ditanamkan para guru dan orangtua mereka semenjak kecil. Karenanya, mereka sangat malu bila tak mempraktekannya.
Begitu juga dengan para masyayaikh yang kami belajar kepada mereka. Ketawadhu’an para masyayikh ini sampai terkadang membuat kikuk saya, orang Indonesia yang notabene jarang mendapatkan pendidikan adab luhur seperti itu disekolah-sekolah umum saya dahulu. Adab-adab itu seolah telah mengkristal menyatu dalam diri mereka.
Contoh lain; seorang laki-laki dewasa, bila tak dapat restu dari sang ayah untuk bekerja di suatu tempat, pasti dia urungkan niatnya. Menurut hemat kami, pelajaran adab turun temurun seperti itulah kuncinya, itulah yang berperan mengarahkan dan membentuk pola fikir mereka.
Adalah beliau Syaikh Thalib bin Umar al Katsiri, gurunda yang ketawadhu’annya bagi saya sangat mirip dengan gurunda al-Ustadz Abdullah manaf Amin hafizhahullah, dalam ketawadhu’an, akhlak dan caranya mengajarkan ilmu. Ntahlah, susah dilukiskan dengan kata-kata, atau bisa jadi ini hanya pendapat subjektif pribadi saya.
Tentang beliau, pernah suatu hari kami yang dari Indonesia diundang untuk asya’ (makan malam) bersama beliau. Sebelum asya’ dimulai, kami ditanyai satu persatu tentang berbagai hal, dan kami menjawab satu persatu pertanyaan beliau.
Yang membuat pribadi saya kagum, saat semua kami berpikir kalau beliau akan makan di meja lain dengan menu yang mungkin lebih enak dari kami, eh ternyata beliau ikut duduk lesehan bareng kami, sebagaimana duduknya Rasulullah saat makan bersama para sahabatnya.
Belakangan kami ketahui, ternyata Syaikh Thalib ini bukan orang sembarang, beliau menjabat sebagai ketua ‘Rabithah Ahlul Hadits Seiyun’, Yaman, gelar beliau doktor, murid dari Syaikh Muqbil di Dammaj dan murid dari Syaikh Abu Hasan al Ma’ribi di Ma’arib. Tapi semua itu tak menghalangi beliau untuk dekat dengan penuntut ilmu yang lugu seperti kami. Di kesempatan lain, beliau sering menyapa, bertanya kabar, memegang bahu, atau menghibur kami dikala sebagian kami galau karena kangen kampung halaman, misalnya.
Pengalaman ini adalah pengalaman pribadi saya yang boleh dikata cukup subjektif, tapi saya merasakan atsar mendalam dalam hati saya, mutiara ini yang saya rasa nyaris hilang di negri kita tercinta, Indonesia. Tapi, saya tidak mengatakan hal semisal tak ada di Indonesia, ada, hanya saja ruang lingkupnya masih kecil dan terbatas di ma’ahid atau hanya komunitas tertentu saja, bukan menjadi budaya dan kultur masyarakat secara umum.
Saya hanya sekedar berbagi coretan lalu, boleh setuju, boleh juga tidak, harapan saya, dimulai dari pribadi kita, untuk lebih memperhatikan persoalan adab, teringat Perkataan dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu “Ta’addabu qabla ta’allamu”, kata beliau, belajar adablah dahulu, sebelum kalian belajar ilmu [al-Adab as-Syar’iyah; 3/552]. Wallahu a’lam bisshawab. [Yasyfi Ramadhani]
BACA JUGA: Media Sosial Dalam Perspektif Islam