Harbul Musthalahat: Sebuah Perang Tanpa Darah
Oleh Ikhsan Jannata
Di era milenial seperti hari ini, istilah atau terminologi adalah suatu alat yang menjadi sebab pertikaian dan peperangan di antara umat manusia, terkhusus umat Islam. Banyak istilah-istilah baru yang masuk ke dalam ranah akidah dan pemikiran Islam, yang kemudian istilah-istilah ini dijadikan senjata baru untuk menghancurkan kaum muslimin.[1]
Zaman ini, paradigma perang telah berubah, bukan lagi seperti perang konvensional yang kemenangannya hanya diukur dengan mati atau musnahnya lawan, tapi diukur dari sejauh mana subjek mampu mengubah cara berfikir musuhnya, dengan ide-ide dan pemikiran sesuai yang dikehendaki. Para ahli menyebut perang ini dengan istilah “Perang Generasi Ke Empat” (Fourth Generation Warfare atau 4GW).
Fenomena ini, jika kita kembalikan kepada hadits Rasulullah ﷺ, telah diisyaratkan jauh-jauh hari oleh beliau, dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda
لَيَشْرَبُ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرِ يَسُمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اِسْمِهَا
“Akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamr dan menyebut khamr dengan nama lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)[2]
Pengertian Harbul Musthalahat
Secara etimologi kata حرب memiliki arti perang atau pertempuran. Adapun secara terminologi adalah sebuah aksi fisik dan non-fisik antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Secara etimologi اصطلح merupakan bentuk humasi dari fiil صلح yang memiliki arti berbuat baik, kesepakatan, perdamaian. Adapun secara terminologi yaitu kesepakatan sesuatu kaum terhadap suatu ungkapan.
Jika keduanya digabungkan maka artinya merupakan peperangan dengan suatu agenda besar yaitu ingin menimpakan bahaya dan kehancuran pemikiran atau ideologi umat Islam melalui istilah-istilah yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah ﷻ).
Macam-Macam Istilah Menurut Para Ulama
Para ulama telah membagi istilah syariah menjadi tiga bagian:
1. Haqiqah Lughawiyah
Haqiqah lughawiyah adalah kata atau istilah yang digunakan berdasarkan makna bahasanya, yaitu makna yang dibuat oleh orang Arab sejak awal. Misal: kata shalat dimaknai dengan berdoa; zakat dimaknai dengan menyucikan; riba dimaknai pertumbuhan; jihad dimaknai denagan bersungguh-sungguh, dan sebagainya.
Haqiqah lughawiyah bisa digunakan dengan syarat tidak bertentangan dan tidak mengeliminasi haqiqah syar’iyyah. Al-Qur’an sendiri sering menggunakan haqiqah lughawiyah dari beberapa kata atau istilah. Misalnya dalam firman Allah ﷻ
وَإِن جَٰهَدَاكَ لِتُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡم فَلَا تُطِعۡهُمَا
“Jika keduanya memaksa kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak kamu mengerti maka jangan kamu menaati keduanya.” (QS. Al-Ankabut: 8)
Kata jahadaka dalam ayat ini, yang merupakan akar kata dari jihad, dimaknai dengan makna bahasanya, yaitu bersungguh-sungguh (dalam memaksa kamu).
2. Haqiqah ‘Urfiyyah
Haqiqah ‘urfiyah adalah suatu lafal atau istilah yang digunakan berdasarkan makna ‘urf (tradisi, konvensi)-nya, yakni makna yang biasa digunakan oleh bangsa Arab). Makna ini berbeda dengan makna secara bahasa. Contohnya kata ad-dabbah. Secara lughawiyyah maknanya adalah setiap hewan yang melata. Adapun secara ‘urfiyyah maknanya adalah hewan yang berkaki empat.
3. Haqiqah Syar’iyah
Haqiqah syar’iyah adalah suatu kata atau istilah yang digunakan berdasarkan makna yang ditetapkan syariah, berdasarkan nash-nash syariah baik secara mantuq ataupun mafhum. Contohnya kata shalat, secara lughawiyyah kata shalat ini diartikan berdoa.
Kemudian kata shalat digunakan untuk menunjuk pada makna shalat sebagimana yang biasa kita lakukan, yakni aktivitas ibadah ritual yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dengan demikian kata shalat dengan makna baru ini (yakni makna syariah) disebut dengan haqiqah syar’iyyah.
Ketika menemukan istilah syariah baik di dalam Al-Quran maupun as-Sunnah, maka yang pertama harus dicari dan digunakan adalah makna syariahnya. Kita tidak boleh beralih dari makna syariah ke makna bahasa kecuali jika ada qarinah (indikator) yang mengharuskan penggunaan makna bahasa.
Kata jihad, misalnya, harus dimaknai sebagai haqiqah syar’iyyah, yaitu berperang di jalan Allah ﷻ, baik secara langsung atau tidak langsung. Semua kata jihad di dalam ayat-ayat madaniyah adalah haqiqah syar’iyyah. Maknanya adalah perang.
Jika kita tidak mungkin mengartikan jihad dengan makna perang di jalan Allah, baru kita maknai jihad dengan makna bahasanya, yaitu bersungguh-sungguh untuk meraih suatu tujuan. Semua kata jihad dan derivasinya di dalam ayat-yata Makkiyah adalah haqiqah lughawiyyah.
Jihad dalam ayat-ayat tersebut dimaknai secara bahasa karena sebelum hijrah dari Makkah ke Madinah belum ada perintah berperang.
Urgensi Menetapkan Suatu Istilah
Syaikh Abdul Halim Thumiyat dalam makalahnya menyatakan bahwa mengkaji perkara ini sangat penting sekali terutama bagi orang awam, agar mengerti bahwa di dalam istilah-istilah syar’i itu ternyata ada batasan-batasan yang telah ditetapkan.
“Sesungguhnya agama kita ini dibedakan dengan lafadz-lafadz, dan batasan-batasan maknanya, serta dibangun hukum-hukum atas keduanya, dan tidak ada satu umat pun yang memiliki hal semacam ini kecuali umat ini.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Sesungguhnya yang menjadi sebab banyaknya terjadi perpecahan adalah pada lafadz-lafadz yang masih mujmal (umum), serta pada makna musytabihah.”[3]
Sejarah Harbul Musthalahat
Perang Istilah atau harbul musthalahat merupakan perang dengan suatu agenda besar, yaitu menimpakan bahaya dan kehancuran pemikiran dan politik kepada lawan. Caranya dengan menggunakan istilah sebagai alat untuk melemahkan, menyesatkan, atau mencitra burukkan lawan.
Harbul musthalahat telah digunakan oleh musuh-musuh Islam sejak awal perjuangan Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Kaum Quraisy di Makkah telah menyerang Nabi Muhammad ﷺ dengan amunisi dari senjata perang istilah ini. Mereka mempropgandakan bahwa Muhammad ﷺ adalah tukang sihir, dukun, bahkan gila.
Begitu halnya orang-orang Yahudi di Madinah. Mereka mengambil celah dari istilah “ra’ina” yang digunakan oleh kaum muslimin ketika memohon perhatian Nabi Muhammad ﷺ, lalu Allah ﷻ memberikan arahan melalui wahyu kepada kaum Muslim agar tidak lagi menggunakan istilah “ra’ina” meski makna asalnya tidak mengandung makna negatif sedikit pun.
Allah ﷻ berfirman
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٰعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian berkata (kepada Muhammad), ‘ra’ina’ tetapi katakanlah, ‘unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Bagi kaum kafir itu siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)[4]
Perang istilah ini terus berlanjut terus dan menemukan momennya seiring majunya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Media masa-lah yang kini menjadi ujung tombaknya. Tugas media ini adalah mem-framing kejadian kejadian tertentu dengan membentuk opini publik yang menyudutkan umat Islam.
Beberapa contoh istilah yang dibuat dan disematkan bangsa Barat kepada Islam adalah sebagai berikut;
1. Fundamentalisme ( الأصوليّة )
Ungkapan ini adalah salah satu ungkapan yang pernah di labelkan Barat kepada kaum muslimin. Mereka sering menjulukinya dengan islam fundamentalisme. Ungkapan ini memiliki arti seorang muslim yang tekun didalam menjalankan syariat ibadahnya dan teguh didalam memperjuangkanya.
Sebenarnya yang melatarbelakangi terciptanya ungkapan ini adalah ketakutan mereka kepada kaum muslimin apabila ada diantara kaumnya yang kuat memegang teguh kepada agamanya itu akan membuat berbagai kerusakan, sebagai buktinya adalah kaum Nashrani sendiri yang memiliki catatan kelam dalam hal ini.
Apabila kita merujuk arti fundamentalisme kepada kitab injil maka hal ini adalah sesuatu yang buruk dan tercela. Namun apabila hal ini dikembalikan kepada Al-quranulkarimmaka hal ini adalah sesuatu yang terpuji.
2. Sekulerisme (العلمانيّة)
Sekulerisme merupakan ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu.
Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.
Adapun terkait penggunaan istilah sekuler dengan ilmaniyah banyak diantara ulama kaum musimin sendiri yang tidak setuju salah satu diantaranya adalah sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Naquib Al-Attas yang menyatakan bahwa:
“Pada hari ini dikalangan orang-orang Muslim ada yang menerjemahkan istilah sekularisme sebagai ‘ilmāniyyah yang berakar kata ‘ilm (ilmu). Sebahagian lain menerjemahkannya sebagai ‘almāniyyah yang berasal dari kata ‘ālam (alam). Dalam Islam, kata ‘ilm (ilmu) dan kata ‘ālam (alam) tidak ada memiliki arti yang sama dengan istilah sekularisme itu sendiri.”
Oleh karena itu, al-Attas menasehati kaum Muslim, terutama para sarjana dan cendikiawannya supaya lebih berhati-hati dan memahami dengan benar pengunaan istilah sekularisme dalam Islam. Ia memberikan usulan supaya istilah sekularisme lebih baik dialih tuliskan saja menjadi ‘sīkulariyyah’ dan tidak diterjemahkan ke dalam istilah Islam, demi menghindari kekeliruan berpikir pada kaum Muslimin.[5]
4. Terorisme (الإرهاب)
Kata ini menjadi viral sejak peristiwa pengeboman dua gedung kembar World Trade Center di Amerika Serikat pada 11 November 2001. Jika dilihat dari segi penyematanya kata (الإرهاب ) di dalam terminologi Islam memiliki makna yang baik.
(الإرهاب) berasal dari kata رهب yang berarti takut kepada Allah ﷻ sebagai Sang Pencipta. Kata ini memiliki makna yang baik apabila dikembalikan mushtalahat syar’i. Adapun jika menurut terminologi para pembenci, diartikan sebagai yang memberikan rasa takut, memberikan was-was kepada orang lain dengan cara menganiaya, mengebom, dan semisalnya. [6]
Pola Harbul Musthalahat
Menurut Dr. Ahmad Ibrahim Khidr dalam tulisannya,“al-Islam wa Harb al-Musthalahat,” perang istilah atau harbul musthalahat dilakukan dengan dua hal:
1. Taqbih al-Hasan, yaitu mencitraburukkan perkara yang baik di dalam Islam.
Ketika kaum kafir ingin memerangi jihad misalnya, mereka menyamakan jihad dengan terorisme, pembantaian dan kesan-kesan buruk lainnya. Akhirnya, kaum Muslim terpengaruh. Banyak dari kaum Muslim yang merasa khawatir ketika menyebut kata jihad.
Ayat-ayat tentang jihad dihindari dari pengkajian dan pembahasan. Jihad identik dengan kekerasan dan kriminal. Pelakunya disebut teroris, ekstremis, atau sebutan lainnya yang menyeramkan.
Padahal jihad adalah ibadah yang mulia di dalam Islam. Bahkan Nabi ﷺ menyebut jihad dengan dzirwah sanam al-Islam (puncak amal tertinggi dalam Islam). Jihad adalah ibadah yang tidak bisa ditandingi oleh amal apa pun.
Demikian pula dengan istilah khilafah. Khilafah merupakan ajaran Islam yang mendatangkan rahmat. Khilafah adalah pemersatu kaum Muslim serta penjaga harta, jiwa dan kehormatan umat. Khilafah adalah kewajiban terbesar dalam agama (ahamm al-wajibat).
Namun kemudian, Khilafah mereka identikkan dengan hal-hal buruk. Khilafah dikesankan dengan dinasti otoriter dan penuh dengan kekerasan. Khilafah digambarkan dengan kekuasaan haus darah dan memecah-belah. Jika khilafah berdiri maka yang terjadi adalah perpecahan dan pertumpahan darah.
2. Tahsin al-Qabih, yakni menilai baik hal-hal yang sebetulnya buruk dalam Islam.
Riba yang dimurkai Allah ﷻ disebut dengan istilah fa’idah (manfaat) atau bunga. Dengan nama baru ini akhirnya kaum Muslim tidak takut lagi dengan dosa riba. Bahkan ada kecenderungan tidak mau melepaskan riba karena riba itu berfaedah, indah dan menguntungkan, bermanfaat seperti bunga.[7]
Mendudukkan Istilah
1. Al-Musthalah asy-Syar’iyyah
Al-Musthalah asy-syar’iyyah (istilah syariah) istilah syariah ini merupakan istilah yang mengikat dan harus digunakan serta dimaknai sesuai dengan kehendak Syari’ (Allah ﷻ dan Rasul-Nya). Istilah syariah tidak boleh diganti dengan sebutan lain yang tidak dinyatakan di dalam nash.
Pasalnya, penetapan istilah atau sebutan tertentu di dalam nash memiliki tujuan dan makna yang tidak bisa diwakili oleh sebutan atau istilah lain. Penyebutan tentang keuntungan yang diperoleh dari menghutangkan misalnya, disebut dengan riba.
Istilah riba ini tidak bisa diganti dengan sebutan lain, seperti fa’idah (baca: bunga) atau ar-ribhu (keuntungan). Allah ﷻ berfirman
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Para pemakan riba tidak akan bangun kecuali seperti bangunnya orang yang dijungkalkan oleh setan (sempoyongan) karena disuap setan. Siksa itu karena (ketika di dunia) mereka mengatakan bahwa sesungguhnya jual-beli itu seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Dalam ayat tersebut, orang-orang yang selalu bermuamalah dengan riba ingin menyamakan riba dengan jual-beli. Mereka bahkan menggunakan tashbih maqlub (penyerupaan yang dibalik). Seharusnya mereka mengatakan riba itu halal seperti jual beli.
Namun, mereka mengatakan jual-beli itu halal seperti riba. Ini dilakukan karena mereka sangat mengahalalkan riba sehingga seolah-olah riba itu lebih halal dari jual-beli. Dengan ungkapan itu mereka ingin mengganti penyebutan keuntungan dari meminjamkan dengan istilah ar-ribhu sebagimana keuntungan jual-beli.
Contoh lain: Nabi ﷺ melarang kita menyebut orang munafik dengan kata sayyid. Dengan kata lain, istilah munafik tidak boleh diganti dengan istilah sayyid. Beliau ﷺ bersabda
لاَ تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Jangan katakan ‘sayyid’ (tuan) kepada orang munafik. Sebab jika dia menjadi sayyid berarti kalian telah membuat murka Tuhan kalian.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Baihaqi)
2. Al-Mushthalahat al-Haditsah
Al-Mushthalahat al-haditsah atau Istilah baru yang belum digunakan dalam nash. Jika istilah baru ini mengandung makna yang diakui oleh syariah dan tidak bertentangan dengan syariah maka kita diperkenankan menggunakan istilah baru ini. Misal, istilah dustur yang maknanya undang-undang dasar atau qanun yang berarti undang-undang.
Dalam istilah-istilah para fuqaha banyak terdapat istilah baru, yang kemudian disebut dengan istilah syariah, karena istilah ini digunakan untuk menunjuk makna yang diakui syariah. Imam al-Bajuri mengatakan:
وَقَدْ يَسْتَعْمِلُ أَهْلُ الْعِلْمِ في التَّعْرِيْفِ بِبَعْضِ الْمُصْطَلَحَاتِ الْحَادِثَةِ كَلِمَةَ الْمُصْطَلَحِ الشَّرْعِي، وَيُرِيْدُوْنَ بِهِ أَنَّهُ مِنْ كَلاَمِ الْفُقَهَاءِ مَثَلاً وَهُوَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَتَلَقّىً منَ الشَّرْعِ إِلاَّ أَنَّهُ اِصْطَلاَحُ حَمْلَةِ الشَّرْعِ
“Kadang para ulama, ketika mendefinisikan beberapa istilah baru, menggunakan kata ‘istilah syar’i’. Padahal yang mereka maksudkan adalah perkataan fuqaha, misalnya. Istilah ini meski tidak diterima dari syariah, ia merupakan istilah para pengemban syariah.”
Jika istilah baru ini bertentangan dengan nash atau memiliki makna yang bertentangan dengan nash maka istilah ini tidak boleh digunakan. Misal, istilah demokrasi digunakan untuk menyebut musyawarah. Pasalnya, demokrasi—yang subtansinya adalah kedaulatan rakyat—adalah istilah khas yang memiliki makna yang bertentangan dengan Islam.[8]
Sikap Dalam Menghadapi Harbul Musthalahat
Pertama kali yang harus dilakukan adalah memiliki kesadaran bahwa musuh-musuh Islam akan selalu berupaya agar kaum Muslim jauh dari Islam dan mengikuti agama serta perilaku mereka, meraka akan selalu berupaya dengan berbagai cara agar umat Islam kembali pada kekufuran.
Peperangan ini tidak akan pernah berhenti; akan terus-menerus berlangsung sepanjang masa sebagaimana firman Allah ﷻ
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Kemudian, memahami masalah penggunaan istilah dan makna-maknanya. Beristilah (menggunakan istilah tertentu dan memaknainya) adalah bagian dari agama. Istilah yang ditetapkan oleh Islam melalui nash harus menjadi istilah yang dipopulerkan oleh umat Islam, tidak boleh diganti dengan istilah lain.
Selanjutnya adalah berjuang secara serius untuk mewujudkan institusi penjaga agama, sebagaimana didefinisikan oleh Imam al-Mawardi, adalah institusi pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dan tidak membiarkan istilah-istilah asing tersebar untuk menggantikan istilah-istilah syar’i, karena bisa berdampak pada keberlangsungan dakwah dan penegakkan syariah[9]. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Referensi
[1] Makalah Harbul Musthalahat wal Mafahim karya Dr. Abdul Halim Thumiyat
[2] Dishahihkan oleh Syaikh al-Bani dalam Targhib wa Tarhib, Juz 2/ Hlm. 302
[3] Majmu’ Fatawa Juz. 12, Hlm. 114
[4] Majalah Al-Wai’e dengan judul Harb al-Musthalahat karya Utsman Zahid As-Sidani
[5] Skripsi Kritik Syed Muhammad Naquib Al-Attas Terhadap Sekularisme karya Syahri Kismanto, hlm. 50
[6] Ibid
[7] Makalah Al-Islam wa Harb al-Musthalahat karya Dr. Ahmad Ibrahim Khidr
[8] Hasyiah Ibnu Qasim karya imam al bajuri jilid1, hlm.20
[9] Makalah Al-Islam wa Harb al-Musthalahat karya Dr. Ahmad Ibrahim Khidr