Apakah Sabar Ada Batasnya?
Oleh Izzuddin Hadidullah (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Sebagai amalan hati yang berganjar tak terhingga, sabar merupakan sifat para Nabi dan orang-orang mulia.
Nabi Muhammad ﷺ manakala mendapat gangguan dan cobaan beliau bukan segera mendendam melainkan justru bersabda, “Semoga Allah merahmati Musa yang telah diganggu melebihi gangguan ini lantas ia bersabar.” (HR. Bukhari: 2150)
Beliau mengajarkan, kesabaran kita belum seberapa dibandingkan kesabaran para Nabi sebelumnya.
Diganggu, disiksa, dihina namun tidak menghalangi mereka dari rasa putus asa, bahkan mereka mendoakan ampunan kepada kaumnya seraya berkata, “Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu menahu.” (HR. Muslim: 1792)
Secara umum para ulama membagi kesabaran menjadi 3 gambaran. Keseluruhannya dikaitkan dengan takdir dan kondisi-kondisi yang tidak dapat terelakkan oleh seseorang.
Abu Hatim berkata, “Kesabaran memiliki 3 bentuk: Bersabar atas kemaksiatan, bersabar atas ketaatan, dan bersabar atas musibah berat yang menimpa.”
Kata beliau, “Dan kesabaran yang paling utama adalah bersabar atas kemaksiatan.”
Demikian, sebab seringnya seseorang bersabar atas musibah yang tidak dapat dihindarkan atau atas ketaatan Sang Pencipta adalah karena kondisi yang terdesak.
Akan tetapi ketika seseorang bersabar dalam menjauhi kemaksiatan maka hal tersebut akan bergantung pada ikhtiar seorang hamba.
Sehingga diketahui bahwa tingkatan kesabaran yang paling tinggi adalah kesabaran karena pilihan bukan karena keadaan.
Tapi banyak orang memahami bahwa sabar yang tidak ada batas pahalanya itu juga tidak terdapat batas ujungnya.
Maka kita dapati banyak orang yang terzalimi pasrah di hadapan orang zalim.
Masyarakat menengah ke bawah menyerah dengan pihak elit dan bangsa yang lemah tunduk kepada para thaghut.
Sehingga orang yang zalim akan semakin bertambah kezalimannya dan para pembangkang semakin membangkang.
Padahal jika ditelisik lebih dalam konsep Islam secara utuh, maka akan didapati bahwa kesabaran itu berimbang dengan jiwa kebenaran.
Tatkala menasihatkan kesabaran bagi orang yang terzalimi, agama Islam juga mengajarkan teguran kepada orang yang zalim dengan cara mengajak pada kebenaran. Bahkan Al-Qur’an mengajarkan untuk menasihati dalam kebenaran dahulu sebelum saling berwasiat pada kesabaran. (QS. Al-‘Ashr: 3)
Hakikat Kesabaran
Kegagalan dalam memahami konsep sabar secara utuh, timbul disebabkan karena salah dalam memaknai kesabaran.
Imam Raghib al-Asfahani dalam kitabnya “Mufradat Alfadz Qur’an Karim” halaman 474 menyebutkan, “Sabar adalah menahan diri atas apa-apa yang dikehendaki akal untuk dikerjakan dan diinginkan syariat untuk ditinggalkan.”
Namun harus diketahui bahwa kesabaran adalah tingkatan awal dan wasilah untuk mencapai rasa ridha.
Fudhail bin Iyadh, Ibn Mubarak, dan banyak ulama salaf lain menyebutkan bahwa orang yang sabar itu masih berharap kondisi yang menimpanya berubah.
Sedangkan orang yang ridha adalah yang tidak terdetik untuk berharap perubahan.
Dari sini muncul pertanyaan “Sampai kapan kita harus bersabar dan apakah ada batasannya?”
Hal ini muncul karena sebuah “harapan perubahan” dan itulah yang disebut kesabaran.
Para ulama pun sepakat bahwa kesabaran hukumnya wajib sedangkan keridhaan hukumnya sunnah.
Selain daripada pemaknaan yang salah, kegagalan pemahaman konsep sabar juga dapat muncul dari kurang pahamnya menempatkan kesabaran pada tempatnya.
Sebab Islam tidak hanya mengajarkan bersabar namun juga membolehkan berbalas. Tidak sebatas melazimkan kerelaan melainkan juga menganjurkan kebijaksanaan.
Oleh karenanya Rasulullah pernah bersabda
انصر أخاك ظالما أو مظلوما
“Tolonglah saudaramu baik mereka yang zalim atau yang dizalimi.” (HR. Bukhari: 6952)
Maka sabar adalah pilihan. Seseorang boleh memilih kapan ia akan bersabar dan kapan ia akan membalas. Atau kapan ia bersabar atau kapan ia bersikap bijak.
Bijak dalam makna yang disampaikan oleh Imam al-Askari adalah menunda membalas hingga waktu yang tepat.
Sebab kesabaran yang terpuji adalah yang membawa kepada kemuliaan dan kesabaran yang tercela adalah yang membawa kepada kehinaan.
Abu Maimun pernah menjelaskan perihal kesabaran yang terpuji. Beliau menjabarkan bahwa kesabaran itu memerlukan kesadaran.
Sadar akan bagaimana caranya bersabar, sadar kepada siapa sajakah harus bersabar, dan sadar apa yang diinginkan dari kesabaran.
Jika tidak demikian -kata beliau- maka sama saja dengan hewan yang gelisah terkena musibah, kemudian kembali tenang.
Ia tidak menyadari atau bahkan mencari pahala darinya. (Shabr wa Tsawabuha, Ibn Abi Dunya, hlm. 53)
Benarkah Sabar Tidak Ada Batasnya?
Ungkapan di atas timbul dari 3 gambaran kesabaran yang banyak disebutkan oleh para ulama; yakni bersabar atas ketaatan, kemaksiatan dan musibah.
Ketiganya memiliki titik temu yang sama yaitu bersabar atas hal-hal yang tidak bisa terhindarkan. Namun lingkup kesabaran bukan hanya terbatas pada 3 gambaran itu semata.
Muhammad Khair Ramadhan Yusuf dalam tahqiq kitab “Shabr wa Tsawabuhu” tulisan Ibn Abi Dunya, menyimpulkan terdapat banyak gambaran kesabaran yang lain.
Seperti bersabar atas penguasa, fitnah, gangguan, siksa, perang, dan lainnya.
Maka benar bila dikatakan bahwa kesabaran identik dengan hal yang tidak dimampui manusia.
Sebab bila seseorang mampu melakukan sesuatu ataupun terhindar dari sesuatu sudah barang tentu ia tidak mengambil sikap “bersabar”.
Pasalnya Nabi menyifati kesabaran selalu lekat dengan ketidakmampuan. Diriwayatkan oleh Abu Umamah bahwa Rasulullah pernah bersabda
إذا رأيتم أمرا لا تستطيعون أن تغيروا فاصبروا حتى يكون الله هو الذي يغيّره
“Jika mendapati sebuah urusan yang tidak mampu kalian ubah, maka bersabarlah hingga Allah sendiri yang akan mengubahnya.” (ath-Thabari, 8/192)
Hadits tersebut juga menegaskan keabsahan ucapan “sabar tidak ada batasnya”. Bahkan pada perkara yang tidak dapat dihindarkan sekalipun.
Adapun batasan yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah hingga Allah mengubahnya sendiri.
Artinya; mungkin saja Allah memampukan kita dalam urusan itu sehingga tidak memilih “bersabar” sebagai sikap, ataupun Allah mengganti dan mengubah dengan yang lebih baik atau melalui perantara orang lain.
Rasulullah sendiri di permulaan dakwahnya hanya dipersilahkan bersabar dan memaafkan (QS. Ar-Rum: 60, Shahih Nasa’i: 3086) dengan alasan menjaga kemaslahatan dan kekuatan Islam dan Kaum Muslimin saat itu; sebagaimana dijelaskan Imam Qurthubi.
Lantas manakala kekuatan kaum muslimin dianggap seimbang diperintahkanlah untuk membela diri (QS. Al-Hajj: 39).
Kemudian tatkala pasukan Islam dominan barulah diizinkan untuk menyerang (QS. At-Taubah: 36).
Perihal bersabar atas gangguan manusia seluruhnya, juga bukan termasuk hal yang dibenarkan.
Kepada gangguan dari orangtua misalnya, apapun kondisinya seorang anak harus bersabar dari perilaku buruk orangtua selama tidak menyeru pada kesyirikkan.
Lain halnya apabila gangguan datang dari orang mukmin, jika ia tidak mampu membalas maka bersabar namun jika mampu, hendaknya memaafkan (QS. An-Nahl: 26).
Kemudian jika gangguan tersebut dari orang kafir ataupun membawa kepada kemaksiatan, kemungkaran, dan kehinaan maka cukuplah hal tersebut menjadi alasan untuk tidak bersabar dan menerima apa adanya.
Sebab orang mukmin adalah orang-orang yang terhormat dan mulia (QS. Al-Munafiqun: 8).
Kesimpulannya bahwa hukum bersabar itu berbeda-beda berdasarkan kondisi dan kemampuan.
Menjadi wajib dan tidak ada batasannya dalam 3 gambaran yang umum dijelaskan oleh para ulama; yakni bersabar atas ketaatan, kemaksiatan, dan musibah.
Juga dapat menjadi sunnah manakala bersabar dalam perkara yang dibenci dan kita mampu membalasnya.
Atau menjadi makruh ketika membuat seseorang rendah dan lemah. Bahkan menjadi haram jika kesabaran dilakukan untuk menyikapi kekufuran, kezaliman, dan kemaksiatan. Wallahu a’lam.