Bercanda Dengan Etika
Oleh Fachrur Rozy
Bercanda atau senda gurau merupakan salah satu bentuk komunikasi dan bentuk kedekatan antar sesama. Cara komunikasi ini biasanya dipakai untuk mencairkan suasana atau menghibur teman bicara.
Akan tetapi sering kali kita menjumpai fenomena bercanda yang kebablasan, yaitu bercanda dengan kekurangan orang lain, dengan aib orang lain, bahkan bercanda dengan kebohongan agar membuat orang lain tertawa.
Hal semacam ini pun telah dianggap lumrah bagi sebagian kelompok. Dalih “jangan baperan” dan sebagainya membuat kita lupa terhadap adab menjaga perasaan orang lain. Sehingga, pada akhirnya bercanda ini berujung bully (perundungan).
Ironisnya sekarang telah muncul istilah prank sebagai bentuk lain candaan yang tujuannya menjahili target prank. Kemunculan prank yang dimainkan dengan dalih sebuah guyonan ini bisa dikatakan membohongi seseorang dan bersifat ‘mengerjai’.
Dibuat seolah-olah serius namun ternyata hanya sebuah kebohongan agar target prank merasa kaget, terkejut, atau bahkan malu. Prank menjadi salah satu tren atau konten yang akhir-akhir ini kerap diproduksi para youtuber untuk cepat viral.
Meski kerap dipakai untuk mencairkan suasana atau menghibur, ia tentu tidak bisa dikemukakan seenaknya tanpa memperhatikan adab dan etika. Bercanda, memang menjadi hal yang asyik di sela-sela penat kehidupan.
Namun, dalam bercanda juga harus memperhatikan adab-adab agar tidak menyinggung orang lain yang ada di sekitar atau melebihi batas norma tertentu. Ada satu yang perlu diingat, bercandalah sewajarnya saja. Boleh bercanda, akan tetapi jangan berlebihan hingga menimbulkan trauma yang membahayakan sesama.
Islam dan Canda
Mizah (bercanda/bergurau) adalah wasilah atau sarana untuk mendapatkan kesenangan. Bercanda bisa mendatangkan beberapa faedah diantaranya; dapat memberikan rasa gembira kepada teman, menghilangkan rasa kesendirian dan kesepian, mengakrabkan, melembutkan hati, menghilangkan rasa takut, marah dan stres.
Tidak bisa dipungkiri pada saat-saat tertentu kita memang membutuhkan suasana rileks dan santai untuk mengendurkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis bekerja. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktivitas semakin meningkat.
Hal ini tidak dilarang selama tidak berlebihan. Islam mewajarkan hal tersebut selama memperhatikan batasan dan tidak berlebihan, dalam suatu kesempatan Rasulullah mengajak istri serta sahabatnya untuk saling bercanda dengan orang lain agar membantu mereka menjadi lebih bahagia.
Sahabat Nabi Muhammad di lain kesempatan juga melakukan candaan agar suasana menjadi cair. Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan
وَالَّذِي يَسْلَمُ مِنْ ذَلِكَ هُوَ الْمُبَاحُ فَإِنْ صَادف مصلحَة مثل تطييب نَفْسِ الْمُخَاطَبِ وَمُؤَانَسَتِهِ فَهُوَ مُسْتَحَبٌّ
“Candaan yang bersih dari yang demikian itu (segala yang dilarang dalam agama-pent) hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab.” (Fath al–Bari, 10/527)
Izzuddin bin Abdussalam as-Syafi’i rahimahullah mengatakan
سُئِلت قَدِيْمًا عَنِ الْمِزَاحِ، وَمَا يُكْرَهُ مِنْهُ وَمَا يُبَاحُ، فَأَجِبْتُ بِأَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ بَيْنَ الْإْخوَانِ، وَالأَصْدِقَاء وَالْخلَاِن. لَمِا فِيهِ مِنْ تَرْوِيْحِ الْقُلُوْبِ، وَالْاِسْتِئْنَاسِ الْمَطْلُوب، بِشَرْطٍ أَنْ لَا يَكُوْنَ فِيْهِ قَذَف وَلَا غَيْبَة، وَلَا يُحَرك الْحُقُوْد الكمينة
“Dahulu aku pernah ditanya tentang canda, materinya, dan canda yang diperbolehkan, maka aku jawab, ‘Canda disunahkan di antara saudara, teman, dan sahabat. Sebab canda bisa membuat hati senang dan suasana yang bersahabat.
Akan tetapi dengan syarat materi candaan tidak mengandung unsur tuduhan, ghibah, dan tidak berlebihan sehingga bisa mengikis wibawa.” (al-Marah fil-Mizah. Abul Barakat Badruddin Muhammad bin Muhammad al-Ghazi. Tahqiq: Bassam bin ‘Abdul Wahab al-Jabi, hlm. 8)
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Kuwaitiyah (36/273) disebutkan
“Bercanda tidak menghilangkan kesempurnaan, bahkan sebaliknya bercanda bisa menjadi pelengkap kesempurnaan jika sesuai dengan aturan syariat. Misalnya, canda tapi tetap jujur dan tidak dusta.
Tujuannya untuk menarik dan menghibur orang-orang yang lemah atau untuk menampakkan sikap lemah-lembut kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda, namun canda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari segala yang terlarang dan tidak sering dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.
Canda yang seperti ini hukumnya sunah karena hukum asal perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib diikuti atau sunah untuk diteladani kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan dalam masalah canda ini tidak ada dalil yang melarang. Berdasarkan ini, maka jelas hukumnya sunah sebagaimana yang dikatakan oleh Ahli Fikih dan Ushul.”
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Qur’an al-Adzim 2/209 berkata, “Tersebutlah bahwa termasuk akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mempergauli istri ialah beliau orang yang sangat baik dalam bergaul, selalu gembira, dan sering bermain dengan istrinya.
Senantiasa bersikap lemah lembut kepada mereka, memberi kelapangan dalam nafkah serta gemar bersenda gurau. Hingga pernah beliau berlomba lari dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha sambil bercengkerama dan berkasih mesra dengannya.”
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhatu al-‘Uqala wa Nazhatu al-Fudhala, hlm 77, “Hendaknya bagi orang yang berakal untuk mengambil hati manusia dengan bercanda bukan dengan kemarahan. Bercanda itu ada yang terpuji dan ada juga yang tercela.
Adapun bercanda yang terpuji adalah yang tidak mendatangkan kemarahan Allah, tidak mengandung dosa, dan tidak pula memutus silaturahmi. Sedangkan bercanda yang tercela adalah yang menimbulkan permusuhan, yang menghilangkan kemuliaan dan memutus persaudaraan.”
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata
الْمِزَاحُ بِمَا يَحْسُنُ مُبَاحٌ، وَقَدْ مَزَحَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقُلْ إِلَّا حَقًّا
“Bergurau dengan apa-apa yang baik adalah harus. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bergurau dan baginda tidak akan berkata-kata melainkan kebenaran belaka.” (al-Adab al-Syar’iyyah 2/222)
Dalam kitab Adabu ad-Dunya wa ad-Din hlm. 319 seorang penyair terkenal, Abul Fath al-Busti rahimahullah berkata
أَفْدِ طَبْعَك الْمَكْدُودَ بِالْجِدِّ رَاحَةً يُجَمُّ وَعَلِّلْهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْمَزْح
وَلَكِنْ إذَا أَعْطَيْتَهُ الْمَزْحَ فَلْيَكُنْ بِمِقْدَارِ مَا تُعْطِي الطَّعَامَ مِنْ الْمِلْحِ
Berikanlah istirahat pada tabiat kerasmu yang serius, rilekskan, dan hiasilah dengan sedikit canda.
Tetapi jika engkau berikan canda kepadanya, jadikanlah ia seperti kadar engkau memasukkan garam pada makanan.
Layaknya makanan, apabila tidak diberi garam maka dia akan terasa hambar. Akan tetapi, jika terlalu banyak diberikan garam, maka tidak akan enak untuk dimakan. Sesuatu yang berlebih-lebihan, kebanyakan akan membawa dampak buruk. Sama halnya dengan bercanda dan tertawa.
Apabila terlalu sering bercanda dan tertawa, maka akan mengakibatkan banyak keburukan. Berdasarkan nukilan perkataan para Ulama di atas, diketahui bahwa bercanda hukum asalnya mubah. Namun terkadang bisa menjadi sunah bila bermaksud menghibur, terutama bila melihat teman atau saudara dalam keadaan susah atau murung
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Pun Bercanda
Allah Ta’ala berfirman
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab: 21)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan telah memperlihatkan bagaimana semestinya seorang Muslim bersenda gurau.
Beliau sendiri juga bercanda dengan keluarga dan para sahabatnya. Dengan bercanda, beliau bisa menambah keakraban, menghibur dan menimbulkan kasih sayang, bahkan candaan beliau sering memberikan pengetahuan dan pengajaran yang positif.
Nabi Muhammad mempunyai wibawa yang sangat agung dan tidak ada makhluk yang setara dengan wibawanya. Maka dari itu, agar para sahabat mampu untuk menerima semua ajaran yang disampaikan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyelinginya dengan gurauan yang haq.
Sehingga para sahabat mampu menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini senada dengan perkataan para salaf tentang bercanda ala Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam kitab Muntaha as-Sul ala Wasail al-Wushul ila Syamail ar-Rasul karya Syaikh Said bin Muhammad Ubbadi al-Lahjiy, 2/538
.كان له مهابة، فلذا كان ينبسط مع الناس بالمداعبة والطلاقة والبشاشة
“Rasulullah mempunyai wibawa yang agung, maka dari itu beliau bergaul kepada manusia (para sahabat) dengan senda gurau, kegembiraan, dan keceriaan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suka bercanda. Akan tetapi, dalam candaan beliau kita harus memahami bahwa tidak ada unsur kebohongan di sana. Semua perkataan dan candaan yang beliau ucapkan merupakan sebuah kebenaran tanpa ada sedikit pun kebohongan.
Dalam hadits riwayat sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إنِّي لأمزَحُ ولا أقولُ إلَّا حقًّا قالوا إنَّك تُداعِبُنا يا رسولَ اللهِ قال إنِّي لا أقولُ إلَّا حقًّا
“Sesungguhnya aku benar-benar bercanda dan aku tidak mengatakan kecuali dengan perkataan yang haq.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah sungguh engkau mau bercanda dengan kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sungguh aku tidak mengucapkan kecuali ucapan yang benar. ” (HR. at-Tirmidzi 1990)
Berikut beberapa riwayat tentang canda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ وَلَهَا ابْنٌ مِنْ أَبِي طَلْحَةَ يُكْنَى أَبَا عُمَيْرٍ وَكَانَ يُمَازِحُهُ فَدَخَلَ عَلَيْهِ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ مَالِي أَرَى أَبَا عُمَيْرٍ حَزِينًا فَقَالُوا مَاتَ نُغَرُهُ الَّذِي كَانَ يَلْعَبُ بِهِ قَالَ فَجَعَلَ يَقُولُ أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah datang ke rumah Ummu Sulaim. Dia memiliki seorang anak dari Abu Thalhah yang dikenal dengan kunyah Abu Umair. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bercanda dengannya. Beliau mendatanginya dan melihatnya sedang sedih.
Lalu beliau bertanya, “Ada apa dengan Abu Umair, aku melihatnya sedang sedih?” Lalu para sahabat menjawab, “Burung kecil yang dia biasa bermain dengannya telah mati.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Umair, ada apa dengan si Nughair?” (HR. Ahmad no. 12980. Syaikh Syu’aib al-Arnauth mengatakan sanadnya sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menggali faedah dari hadits yang sangat ringkas ini, yaitu bolehnya bercanda dengan anak kecil, demikian pula boleh jika sering dilakukan. Ini merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan hanya sekedar rukhshah (keringanan) karena ada faktor yang memberatkan. (al-Mausu’ah al Kuwaitiyah, 36/274)
2. Diriwayatkan dari Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, dia berkata
أَتَتْ عَجُوزٌ إِلَى النَّبِيِّ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ فَقَالَ: يَا أُمَّ فُلاَنٍ، إِنَّ الْجَنَّةَ لاَ تَدْخُلُهَا عَجُوزٌ. قَالَ: فَوَلَّتْ تَبْكِي فَقَالَ: أَخْبِرُوهَا أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوزٌ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ :إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً ،فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا عُرُبًا أَتْرَابًا
“Seorang nenek tua mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nenek itu pun berkata, ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga.’ Beliau pun mengatakan, ‘Wahai Ibu Fulanah. Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua.’
Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Beliau pun mengatakan, ‘Kabarkanlah kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengatakan: (35) Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung. (36) Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. (37) Penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al-Waqi’ah: 35-37)
3. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibawa serta di atas tunggangannya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَنَا حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ نَاقَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ
“Aku akan membawamu dengan anak unta.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina.” (HR Imam Ahmad, no. 13817; Abu Daud, no. 4998; dan at-Tirmidzi, no.1991 ) Artinya semua unta itu adalah anak dari unta betina yang melahirkannya
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi 6/108 berkata
فَفِيهِ مَعَ الْمُبَاسَطَةِ لَهُ الْإِشَارَةُ إِلَى إِرْشَادِهِ وَإِرْشَادِ غَيْرِهِ بِأَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَ قَوْلًا أَنْ يَتَأَمَّلَهُ وَلَا يُبَادِرَ إِلَى رَدِّهِ إِلَّا بَعْدَ أَنْ يُدْرِكَ غَوْرَهُ
Dalam hadits ini, di samping mencandai orang tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi bimbingan kepadanya dan yang lainnya agar orang yang mendengar suatu ucapan seyogianya mencermati lebih dahulu dan tidak langsung membantahnya, kecuali setelah tahu secara mendalam maksudnya. (Tuhfatul Ahwadzi 6/108)
4. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
إنِّي لأمزَحُ ولا أقولُ إلَّا حقًّا قالوا إنَّك تُداعِبُنا يا رسولَ اللهِ قال إنِّي لا أقولُ إلَّا حقًّا
“Sesungguhnya aku benar-benar bercanda dan aku tidak mengatakan kecuali dengan perkataan yang haq.” Sahabat berkata “Ya Rasulullah sungguh engkau mau bercanda dengan kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sungguh aku tidak mengucapkan kecuali ucapan yang benar.” (HR. at-Tirmidzi 1990)
5. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita, ada seorang pria dusun bernama Zahir bin Haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukainya. Hanya saja tampang pria ini jelek.
فأتاهُ النَّبيّ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّم وهو يبيعُ متاعَهُ فاحتضنَهُ من خلفِهِ حتَّى ألصقَ ظَهرَهُ ببطنِهِ فقالَ: أطلِقني من هذا قالَ فالتفتَ إليْهِ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّم، وجعلَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّم يقولُ: من يشتَري العبدَ فقال: يا رسولَ اللَّهِ إذًا واللَّهِ تجدُني كاسدًا فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّم لَكنَّكَ عندَ اللَّهِ لستَ بِكاسدٍ وقال لَكنَّ أنتَ عندَ اللَّهِ غال
Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya ketika ia sedang menjual barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memeluknya dari belakang, sehingga ia tidak dapat melihat beliau. Zahir bin Haram pun berseru, “Lepaskan aku. Siapakah ini?” Setelah menoleh ia pun mengetahui, ternyata yang memeluknya ialah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merapatkan punggungnya ke dada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, “Siapakah yang sudi membeli hamba sahaya ini?”
Dia menyahut, “Demi Allah, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika demikian aku tidak akan laku dijual.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membalas, “Justru di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala engkau sangat mahal harganya.” (HR. Ahmad 12237; at-Tirmidzi 239)
Etika Bercanda
Hukum bercanda dan bergurau pada asalnya adalah perkara yang mubah dan boleh di lakukan dengan porsi yang tepat, pada waktu yang tepat, dan tidak melanggar norma-norma. Bahkan bercanda bisa menjadi pelengkap kesempurnaan jika sesuai dengan aturan syariat.
Maka ada adab-adab yang perlu diperhatikan dalam bercanda, yaitu:
1. Tidak menjadikan agama sebagai candaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang yang menjadikan agama sebagai bahan candaan, bahkan pelakunya diancam dengan kekafiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِهِ وَرَسُوْلِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ- ٦٥ لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata
الاستهزاء بالله وآياته ورسوله كفر يكفر به صاحبه بعد إيمانه
“Memperolok-olok Allah, ayat, dan Rasul-Nya adalah kekufuran dan pelakunya dihukumi kafir sesudah beriman.”(Majmu’ al-Fatawa, 7/273)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan hukum menjadikan agama sebagai bahan candaan, yaitu bahwa hukumnya sangat berat yaitu bisa keluar dari agama Islam. “Mengolok-olok dalam agama, ayat Al-Qur’an dan Rasul-Nya termasuk kekafiran yang bisa mengeluarkam dari Islam. Sebab agama ini dibangun di atas pengagungan kepada Allah, agama, dan Rasul-Nya.”(Tafsir as-Sa’di, hlm. 342)
2. Berkata jujur serta menjauhi perkataan dusta.
Merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar adalah selalu berkata jujur di dalam setiap keadaan termasuk dalam bercanda. Berdasarkan keumuman hadits dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ
“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga.” (HR. Bukhari)
Rasulullah telah mencontohkan bahwa beliau sesekali juga bercanda dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Namun dalam candaan itu Rasulullah tidak pernah berkata dusta. dalam hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bercanda dan beliau bersabda
إنِّي لأمزَحُ ولا أقولُ إلَّا حقًّا قالوا إنَّك تُداعِبُنا يا رسولَ اللهِ قال إنِّي لا أقولُ إلَّا حقًّا
“Sesungguhnya aku benar-benar bercanda dan aku tidak mengatakan kecuali dengan perkataan yang haq.” Sahabat berkata, “Ya Rasulallah sungguh engkau mau bercanda dengan kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sungguh aku tidak mengucapkan kecuali ucapan yan benar.” (HR. at-Tirmidzi 1990)
Syariat melarang berkata dusta meskipun dalam bercanda. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
لاَ يُؤْمِنُ الْعَبْدُ الإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ فِى الْمُزَاحَةِ وَيَتْرُكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقاً
“Seorang hamba tidak sempurna imannya sampai ia meninggalkan dusta meskipun sedang bercanda, dan meninggalkan perdebatan meskipun ia benar.” (HR Ahmad)
Syaikh Muhammad Afandi al-Birkawi berkata
شَرْطُ جَوَازِ الْمِزَاحِ قَوْلًا وَفِعْلًا أَنْ لَا يَكُوْن فِيْهِ كَذب
“Syarat dibolehkannya bergurau, baik berupa perkataan atau perbuatan ialah tidak berdusta.” (al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 43/37)
Bahkan yang lebih parah dari itu adalah ketika seseorang berdusta hanya karena ingin membuat orang lain tertawa. Bercanda seperti ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.” (HR Abu Dawud)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata
“لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جدٍّ وَلَا هَزْلٍ، وَلَا أَنْ يعد أحدكم ولده ثُمَّ لَا يُنْجِزُ لَهُ
“Tidaklah patut berbohong baik dalam masalah yang serius maupun dalam keadaan bercanda, dan tidaklah patut salah seorang di antara kalian menjanjikan sesuatu kepada anaknya kemudian dia tidak menepatinya.”
3. Tidak berlebihan dalam bercanda dan tidak terlalu sering.
Berlebihan dalam bercanda menjadikan tertawa berlebihan, sedangkan tertawa berlebihan bisa mematikan hati dan menjadikan lalai dari mengingat Allah Ta’ala, yang demikian bertentangan dengan sunah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda
لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”(HR. Ibnu Majah)
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Hati-hatilah bercanda (bergurau) karena canda itu sesuatu hal yang remeh dan kurang masuk akal dan bisa menimbulkan rasa tidak suka.” (Nihayatu al-Arab fi Funun al-Adab, Syihabuddin an-Nuwairi, 4/73)
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar berkata, “Para ulama mengatakan, ‘Candaan yang dilarang adalah yang keterlaluan dan terus-menerus. Tertawa bisa mengakibatkan hati keras, menyibukkan hati sehingga lupa kepada Allah dan memikirkan urusan agama yang penting.
Bercanda mempunyai potensi menyakiti orang lain dan menyebabkan kedengkian, menghilangkan kewibawaan. Adapun yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah bercanda dengan tidak terlalu sering, yakni ketika berdampak maslahat dan membuat nyaman lawan bicara. Jika tujuannya seperti itu, guyon tidak dilarang bahkan malah disunahkan’.” (an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah, hlm. 326).
Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Siapa yang banyak tertawanya akan berkuranglah kehilangan rasa hormat. Siapa yang suka bergurau dia akan dinilai rendah karenanya. Barangsiapa yang biasa berbuat sesuatu akan dikenal sebagai orang yang seperti itu.” (Faidh al-Qadir, Zainuddin al-Munawi 17/165)
5. Tidak boleh menghina, merendahkan dan mengejek orang lain.
Menghina orang lain atau mengejeknya meskipun hanya sebatas bercanda merupakan perbuatan haram bahkan dikategorikan dosa besar. Seperti mengejek nama, postur tubuh, kekurangan fisik, sifat dan lainnya. Allah berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat. Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ
Tidaklah termasuk hamba yang mukmin, yaitu mereka yang selalu mengungkap aib, melaknat, berperangai buruk dan suka menyakiti (HR. at-Tirmidzi no. 1977)
Dalam riwayat yang lain Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci maki orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Muttafaqun ‘alaih)
5. Memilih tempat dan waktu yang tepat.
Imam al-Munawi dala kitab Faidh al-Qadir, 3/18 berkata, “Bercanda adalah perkara yang disenangi akan tetapi pada tempat-tempat tertentu, tidak semua tempat dan tidak juga pada tiap waktu bisa digunakan untuk bercanda.”
Dikatakan kepada Sufyan bin Uyainah, “Bergurau itu dipandang rendah atau dianggap munkar.” Kemudian dia menjawab, “Bukan begitu, bergurau itu sunah, tapi keadaannya hanya bagi orang yang dengan gurauan itu menjadi bagus dan meletakkan gurauan itu pada tempatnya (sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat yang tepat).” (Syarhu Sunah, Imam al-Baghawi, 13/184)
6. Tidak ada unsur menakut-nakuti saudaranya.
Dalam hadits riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَخَافَ مُؤْمِنًا بِغَيْرِ حَقٍّ كَانَ عَلَى اللَّهِ أَنْ لا يُؤَمِّنَهُ مِنْ أَفْزَاعِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. رواه الطبراني
“Siapa saja yang menakut-nakuti orang yang beriman tanpa hak, maka Allah berhak untuk tidak menjamin keamanan baginya dari ketakutan di hari Kiamat.” (HR at-Thabrani)
Abdurrahman bin Abu Laila berkata, “Para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku bahwa saat mereka sedang berjalan bersama Nabi, salah seorang dari mereka tertidur. Lalu ada sebagian sahabat mengambil dan menarik tali yang ada bersamanya hingga orang yang tertidur itu kaget.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim membuat kaget sesama saudaranya yang muslim.” (Abu Daud Nomor 4351)
Demikianlah pembahasan tentang bercanda, semoga tulisan ini bisa bermanfaat sehingga kita mengetahui kedudukan bercanda dalam pandangan Islam dan batasan-batasan yang dibolehkan dalam bercanda. Wallahu a’lam bishshawwab.