“Sesungguhnya seorang hamba ada yang datang pada hari kiamat nanti dengan membawa kebaikan-kebaikan sebesar gunung. Akan tetapi dia menjumpai lisannya telah menghancurkan semua kebaikannya itu.” (ad-Da’ wa ad-Dawa, hlm. 375).
Sebuah nasehat dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah agar kita kita lebih memperhatikan apa yang terlontar dari lisan. Sebab suatu ucapan jika sudah keluar, maka tidak bisa ditarik kembali. Ibarat sebuah paku yang menancap pada kayu, walaupun sudah dicabut tetap akan meninggalkan bekas.
Sebagaimana kasus ceramah seorang budayawan yang dinilai menghina Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Meski permintaan maaf sudah disampaikan tapi amarah umat yang terlanjur tersinggung tidak mudah untuk padam.
Anehnya lagi, meski yang berucap mengaku salah, namun para penggemarnya tetap membela mati-matian. Siap pasang badan demi sang idola. Mencari alasan dan pembenaran yang terlalu dipaksakan. Menganggap sikap orang yang marah dengan statement sang budayawan sebagai orang yang berlebihan.
Padahal kalau kita tilik sejarah, jangankan sekelas orang biasa sebagaimana Gus Muwafiq. Sekelas Imam Waki’ bin al-Jarrah; guru Imam asy-Syafi’i saja hampir diamuk masa gegara pernyataan beliau tentang nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Itupun kalau kita lihat pernyataannya jauh lebih ringan dibanding apa yang disampaikan saudara Muwafiq. Imam Waki’ hanya mengatakan bahwa jasad nabi bengkak dan biru. Itu saja. Tentu tidak selancang ungkapan bahwa Nabi dekil atau semisalnya.
BACA JUGA: Ketika Ruwaibidhah Memimpin Negeri
Atas kejadian ini, Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya; Siyar A’lam An-Nubala, sampai-sampai berkata:
محنة وكيع – وهي غريبة – تورط فيها ، ولم يرد إلا خيرا ، ولكن فاتته سكتة ، وقد قال النبي – صلى الله عليه وسلم – : كفى بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع فليتق عبد ربه ، ولا يخافن إلا ذنبه
“Ujian yang menimpa Waki’, kisahnya sungguh aneh. Sebenarnya, tidak ada yang beliau inginkan melainkan kebaikan. Akan tetapi, mengapa ia tidak memilih diam. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Cukuplah menjadi dosa seseorang bila ia membicarakan setiap apa yang ia pernah dengarkan.’”
Kisah lengkapnya dituturkan oleh Ali bin Khasyram. Beliau berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Abdullah Al-Bahiy, bahwasanya Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi Jenazah Rasulullah, kemudian bersimpuh dan menciumnya seraya berkata, “Ayah dan ibuku (menjadi tebusannya), alangkah indahnya hidup dan kematianmu.” Setelah itu, Abdullah Al-Bahiy berkata, “Adalah jenazah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam disemayamkan selama satu hari satu malam, hingga perutnya agak bengkak, demikian pula jari jemari beliau“.
Ali bin Khasyram menambahkan, “Tatkala Waki’ menceritakan riwayat ini di Mekkah, maka orang-orang Quraisy pun murka. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menyalib Waki’. Mereka juga telah menegakkan kayu untuk menyalibnya.
Beruntung Sufyan Al-Uyainah segera datang dan berseru lantang, “Demi Allah, demi Allah, orang ini adalah faqihnya (ulama besarnya ahli fiqih) negeri Irak, demikian pula bapaknya. Sungguh ini adalah hadits ma’ruf (ma’ruf tidak mesti shahih).” Padahal, seperti kata Sufyan, “Aku belum pernah mendengarkan riwayat itu sebelumnya. Hanya saja, Aku ingin menyelamatkan Waki!”
Dalam riwayat Al-Fasawi diceritakan, ringkasnya, bahwa atas kebaikan Amir Makkah, Imam Waki’ berhasil melarikan diri dan berencana menuju Madinah. Akan tetapi penduduk Makkah yang sudah terlanjur sangat murka segera menyurati penduduk Madinah di sana, bahwa jika Imam Waki’ masuk Madinah maka tangkap dan segera eksekusi. Beruntung beliau bisa selamat untuk kali kedua; dan berhasil lolos ke Irak.
Setelah memaparkan kisah ini, Adz-Dzahabi berkomentar:
فهذه زلة عالم، فما لوكيع ولرواية هذا الخبر المنكر المنقطع الإسناد! كادت نفسه أن تذهب غلطاً ، والقائمون عليه معذورون ، بل مأجورون ، فإنهم تخيلوا من إشاعة هذا الخبر المردود ، غضا ما لمنصب النبوة
“Ini adalah ketergelinciran seorang alim. Ada urusan apa Waki’ meriwayatkan kabar Munkar dan Munqathi’ (terputus sanadnya) ini! Hampir saja jiwanya hilang lantaran kesalahan itu. Sementara orang yang akan menyalibnya tersrbut diberi udzur. Bahkan mendapkan pahala. Sebab, mereka menganggap menyebarkan riwayat tertolak ini, merupakan penistaan terhadap derajat kenabian.” (Siyaru A’lam an-Nubala, 9/159-163).
Demikianlah, wajib berhati-hati mengeluarkan sebuah ungkapan yang jelas menyinggung dan menyakiti ummat, terlebih jika terkait dengan pribadi Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mulia.
Jika Imam Waki’ saja, ulama yang tak diragukan keilmuan dan kewara’annya hampir-hampir disalib gara-gara menyampaikan riwayat yang terkesan menghina Nabi, maka wajar bila untuk sekelas saudara Muwafiq yang pernyataannya lebih fatal mendapat respon besar dari ummat.
Hal yang bisa diterima jika ummat marah. Justru mereka yang diam dan justru membela mati-matian sang budayawan-lah yang perlu ditanyakan kecintaannya kepada Nabi. Wallahu a’lam.
Penulis: Ust. Feri Nuryadi (Alumni MA An-Nuur, Pengajar di Ma’had Aly El-Suchary Purbalingga)