Oleh: Ryan Arief Rahman
“Sesungguhnya hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah, dari pada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Nasa’i 3987)
Islam menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan perhormatan terhadap jiwa manusia merupakan tuntutan ajaran islam yang wajib dikerjakan. Dan Islam mendudukkan nyawa manusia pada derajat yang paling tinggi. Karenanya, diantara salah satu dari lima maqashid syariat yang diungkapkan oleh As-syathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat adalah hifzhu an-nafs yang diartikan sebagai penjagaan diri/nyawa.
Para pemberontak bukan jiwa yang terjaga dalam islam karena sejatinya mereka adalah musuh islam. Menumpahkan darah mereka lebih mulia dalam perspektif syar’i daripada membiarkan mereka hidup, karenakeislaman, membayar jizyah dan jaminan keamanan adalah penentu terjaganya jiwa manusia dalam syari’at islam.
Meskipun jiwa seseorang terjaga dengan ketiga hal di atas, namun syari’at islam tetap membolehkan bagi seorang hakim untuk menghilangkan nyawa dengan memberlakukan syari’at qishash dan rajam.
Pelaksananan qishahsh dan rajam bukan berarti menunjukan bahwa islam tidak menghargai nyawa manusia, justru dengan pelaksanaan tersebut menunjukan bahwa islam adalah agama yang sangat memperhatikan dan menghargai jiwa. Karena dengan melaksanakannya akan terjaga jiwa dari praktik bunuh-membunuh dan balas dendam yang tidak ada ujungnya.
Adapun bentuk perlindungan dan penghormatan islam terhadap jiwa manusia adalah sebagai berikut;
Penjagaan Pertama, Membunuh Hukumnya Haram
Banyak disebutkan dalam al qur’an dan as sunnah akan haramnya membunuh orang tanpa sebab yang benar, perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan dosa besar karena tidak ada dosa besar setelah perbuatan syirik melainkan dosa membunuh. Allah swt mengancam seorang pembunuh dengan balasan yang berat dan siksa yang pedih di akherat. Adapun ayat-ayat yang menjelaskan tentang kaharaman pembunuhan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
Allah swt berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. 4:93)
Adapun hadist yang menjelaskan akan keharaman membunuh diantaranya adalah sebagai berikut, nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Penjagaan Kedua, adanya upaya preventif dalam menjaga jiwa
Yaitu larangan membunuh dan menghunus pedang kepada sesama muslim. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa menghunus pedang kepada kami, maka ia bukanlah dari golongan kami.” (Shahih Muslim No.145)
Menghunus pedang kepada sesama muslim dilarang karena dapat mendatangkan fitnah dan dapat melahirkan upaya pembunuhan. Juga sabda nabi saw, “Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no.46, muslim no.64)
Juga sabda nabi saw, “Jika terjadi saling membunuh antara dua orang muslim maka yang membunuh dan yang terbunuh keduanya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Itu untuk si pembunuh, lalu bagaimana tentang yang terbunuh?” Nabi Saw menjawab, “Yang terbunuh juga berusaha membunuh kawannya.” (HR. Bukhari)
Bahkan dalam syari’at islam perbuatan yang lebih ringan dari menghunus pedang juga diharamkan, seperti mencerca dan mencela. Dampak dari celaan dan cercaan tersebut adalah permusuhan yang berujung pada pembunuhan. Dalam islam segala bentuk perbuatan yang dapat menyebabkan terbunuhnya jiwa adalah perbuatan yang diharamkan.
Penjagaan Ketiga, Qhishash
Allah swt mensyari’atkan qishahs sebagai bentuk balasan di dunia agar manusia terhindar dari upaya pembunuhan yang terlarang. Sebagaimana firman Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”. (QS. Al-baqarah:178-179)
Menerapkan hukum qishash dapat mendatangkan keamanan juga dapat menjaga keselamatan nyawa serta menjauhkan masyarakat dari upaya pembunuhan yang diluar batas. Adapaun penjelasannya adalah sebagai berikut;
Pertama, Allah menjelaskan bahwa dalam qishahsh terdapat kehidupan, dan kehidupan tersebut dapat dibuktikan dengan dua hal, pertama: jika seorang pembunuh mengetahui balasannya adalah dibunuh, niscaya ia tidak akan melakukannya dan justru akan menghindarinya. Kedua: dengan qishah yang dibunuh hanyalah sipembunuh saja tidak melibatkan orang yang lainnya, sehingga selain pembunuh selamat dan terpeliharalah nyawanya. Tidak sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah dimana yang dibunuh adalah sipembunuh dan melibatkan orang yang lainnya bahkan orang yang tidak bersalahpun bisa terbunuh.
Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka.” [Fathul-Qadîr 1/179 dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh 2/471 ]
Kedua, qishahsh dapat meredam kemarahan pihak korban kejahatan dan dapat mendatangkan keridoan mereka, karena manusia memiliki sifat dan tabi’at marah terhadap orang yang telah melakukan aniaya, jika tidak ada syari’at qishahsh ini akan terjadi upaya balas dendam dan pembunuhan yang tragis melebihi kasus pembunuhan yang pertama.
Penjagaan Keempat, Keharusan Adanya Pengakuan Sebelum Menghilangkan Nyawa
Islam adalah agama yang sangat menghargai nyawa, bukti akan hal itu adalah diharamkannya membunuh kecuali dengan sebab yang jelas dan setelah adanya pengakuan dan penjelasan, baik dengan pengakuan pelaku atau dengan persaksian orang yang adil, empat orang saksi pada kasus rajam dan dua orang saksi pada kasus yang lainnya.
Ibnu qudamah berkata, “kaum muslimin berijma’ bahwa tidak diterima persaksian dalam kasus zina yang kurang dari empat orang saksi. Dan hal itu disebutkan dalam firman Allah swt, “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi…”(QS. 24:13) ( ibnu qudamah, al mughni 14/125)
Dan ditempat yang lain beliau berkata, ‘persaksian dalam qishahsh tidak diterima sampai menghadirkan dua orang saksi.” Al mughni, 14/126)
Bahkan al-hasan al-bashri berpendapat bahwa persaksian dalam kasus pembunuhan sama dengan persaksian dalam kasus perzinaan, hal itu karena menyangkut persoalan nyawa. ( al mughni, 14/127)
Penjagaan Kelima, Menunda Pelaksanaan Hukuman Mati Jika Ditakutkan Dapat Membahayakan Nyawa Orang Lain
Penjagaan ini adalah bukti kuat yang menunjukan bahwa islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kehormatan nyawa. Hukuman had dalam islam tidak dapat dilaksanakan jika membahayakan jiwa yang lain, seorang wanita yang hamil tidak bisa diqishash sampai ia melahirkan janin yang dikandungnya dan menyusuinya bahkan sampai bayi yang dilahirkannya dapat mengunyah makanan jika tidak terdapat orang yang menyusui. Karena jika ia dibunuh dalam keadaan hamil dan masih menyusui, maka janin yang dikandungnya akan mati. Oleh sebab itu, nabi Muhammad saw menunda pelaksanaan hukuman rajam bagi wanita ghomidiyah sampai melahirkan janinnya, menyusuinya dan sampai menyapihnya.
Dari Buraidah, Ia menuturkan: Seorang Wanita yang disebut Al Ghamidiyah datang menemui Rasulullah Salallahu’alaihi wa sallam Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina. Sucikanlah aku!” Tapi Rasulullah menolak pengakuannya tersebut. Keesokan harinya, Ia datang kembali kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda menolak pengakuanku? Mungkin Anda menolakku sebagaimana menolak pengakuan Ma’iz? Demi Allah, saat ini aku sedang Hamil”. Rasulullah mengatakan, “Baiklah, kalau begitu kamu pergi dulu sampai kamu melahirkan anakmu”. Seusai melahirkan, Wanita itu kembali menghadap Rasulullah sambil menggendong bayinya itu dalam selembar kain seraya melapor, “Inilah bayi yang telah aku lahirkan”. Beliau bersabda,”susuilah bayi ini hingga di sapih”. Setelah disapih, wanita tesebut kembali menghadap beliau dengan membawa bayinya sedang ditangannya memegang sepotong roti. Ia berkata, “Wahai Nabi, aku telah menyapihnya. Ia sudah bisa memakan makanan”. Beliau lalu menyerahkan anak itu kepada seorang pria dari kalangan umat islam, kemudian Beliau memerintahkan agar menggali lubang sampai diatas dada, lalu memerintahkan orang-orang untuk merajam wanita tersebut. Saat itu Khalid bin Walid membawa batu di tangannya lantas melemparkannya kearah kepala wanita itu hingga darahnya memuncrat hingga mengenai wajah Kholid bin Walid. Tak ayal khalid memaki wanita itu. Mendengar makian khalid kepada wanita itu, Rasulullah mengatakan,”Sabar khalid! Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang seandainya dilakukan oleh seorang pemungut cukai (pajak) niscaya ia akan diampuni”. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Kemudian Rasulullah mensholatkannya. Umar bertanya, ” Engkau mensholatinya, wahai Rasulullah, padahal ia telah berzina?” Beliau menjawab, “Ia telah bertaubat dengan taubat yang sekiranya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah niscaya mencukupinya; apakah kamu menemukan taubat yang lebih baik daripada orang yang menyerahkan jiwanya karena Allah”. (HR.Muslim,11/374.)
Ibnu mundzir berkata, “ ulama bersepakat bahwa wanita hamil tidak dihukum rajam sampai ia melahirkan janin yang dikandungnya.” ( al-isti’ab 1/44)
Penjagaan Keenam, Memaafkan Hukuman Qishahsh
Dianatara bukti bahwa syari’at islam menghargai dan memelihara jiwa adalah dibukanya syari’at memaafkan kepada pelaku tindakan pembunuhan. Sebagaimana firman Allah swt, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. 2:178)
Penjagaan Ketujuh, Sesuatu Yang Dilarang Menjadi Boleh Dalam Keadaan Terpaksa
Diantara penjagaan yang Allah syari’atkan untuk menjaga jiwa adalah bolehnya sesuatu yang dilarang dalam kondisi darurat yang jika mengabaikannya dapat menyebabkan kebinasaan dan hilangnya nyawa.Sebagaimana firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 2:173)
Imam as-syuyuti berkata, ‘darurat itu adalah sebuah kedaan yang jika mengabaikannya dapat mendatangkan kebinasaan, dan dalam kondisi tersebut sesuatu yang haram bisa menjadi boleh.” (Al-Ashbah Wa An-Nadhair, hal 85)
Jika manusia mendapati kedaan darurat yang dijelaskan oleh para ulama batasannya, maka boleh baginya memakan bangkai asal diniatkan dalam rangka menjaga keselamatan jiwa dari kematian. Bahkan menurut sebagian ulama memakan bangkai dalam kondisi darurat tersebut hukumnya adalah wajib bersandar kepada firman Allah swt “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..”(QS. Al-baqarah:195)
Demikian penjagaan terhadap jiwa yang disebutkan dalam syari’at islam, dari uraian di atas terbuktilah bahwa islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kemuliaan jiwa. Nyawa seseorang tidak bisa dibunuh kecuali dengan sebab yang dibenarkan syari’at. Mari kita yakini dan amalkan bentuk penjagaan tersebut agar terjaga jiwa kita dari perbuatan yang dilarang dan supaya tercipta kehidupan yang baik dan sejahtera.
sumber: Majalah YDSUI
Referensi:
An Nawawi, Raudhathui Thalibin Wa ‘Umdatu Al Muftin (Bairut: Al Maktab Al Islami, 1405) Cetakan Kedua.
Abu Ishaq Ibrahim Al Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul Al Syari’ah ( Mesir: Al Maktabah Al Tijariyah Al Kubra, )
Ibnu Haja Al Asqalani, Fathul Al Bari Syarh Shohih Al Bukhori (Bairut: Dar Al Ma’rifah, )
Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Al Mughni ( Tahqiq Doctor Abdulah At Turki Dan Doctor Abdul Fatah Al Halwi.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa (Makkah: Maktabah An Nahdoh Al Hadisah, )
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, I’lam Al Muwaqi’ien (Bairut: Dar Al Jail, )
Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqasid Al Syari’ah Al Islamiyah ( Tunisia: Tab’u Mashnaul Kitab Lis Syarakah At Tunisia, 1978) Cetakan Pertama
Jalaludin Abdurahman As Suyuthi, Al Asybah Wa An Nadhair Fi Qawaid Wa Furu’ Fiqhi As Syafi’i (Bairut: Ar Kutub Al Ilmiyah, 1403) Cetakan Pertama
Muhammad Sa’ad Bin Ahmad Bin Mas’ud Aliyubi, Maqasid Al Syari’ah Al Islamiyah Wa Alaqatuha Bil Adillah (Mamlakah Al Arabiyah: Dar Ibnu Al Jauzi, 1430) Cetakan Kedua.