Oleh: Tim Ulin-Nuha Ma’had ‘Aly An-Nuur
Hukum menunaikan zakat Fithri adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin yang mampu membayarnya pada saat itu. Hal ini disepakati oleh jumhur ulama berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Di antara dalil-dalil itu adalah firman Allah,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang terlilit utang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan; sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]: 60)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin’Umar RA,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat Fithri sebanyak satu sha’ kurma atau atau satu sha’ gandum atas setiap muslim yang merdeka atau budak, laki-laki ataupun perempuan.” (HR. Imam Malik, Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Dalam versi lain disebutkan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah SAW telah mewajibkan untuk menunaikan zakat Fithri sebanyak satu sha’ kurma kering atau satu sha’ gandum bagi setiap hamba sahaya, orang merdeka, kaum laki-laki, kaum perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau juga memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang pergi mengerjakan shalat (‘Id)” (HR Al-Bukhari Muslim)
Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya zakat Fithri adalah hadits yang diriwayatkan olrh Al-Hafizh ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari ‘Abd bin Tsa’labah RA, katanya, “Sehari atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri Rasulullah SAW pernah berkhuthbah seraya bersabda,
أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيْرٍ عَنْ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ صَغِيْرٍ أَوْ كَبِيْرٍ
“Tunaikanlah (zakat Fithri) sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas setiap yang merdeka atau budak, baik kanak-kanak maupun dewasa.”
Diwajibkan menunaikan zakat Fithri bagi seluruh kaum muslimin baik anak kecil maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, orang yang merdeka maupun hamba sahaya yang mampu menunaikannya pada saat itu. Ini disepakati oleh jumhur ulama.
Paraulama madzhab Hambali mengatakan, “Zakat fithri wajib atas orang yang mempunyai kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan untuk keluarganya di hari ‘Id dan malamnya; selain miliknya yang berupa berbagai kebutuhan seperti tempat tinggal, pembantu, kendaraan, pakaian sederhananya, dan buku-buku pengetahuan.” [1]
Imam An-Nawawi menjelaskan tentang kadar kecukupan. Yaitu orang yang punya kelebihan bahan makanan pokok hari itu untuk dirinya, keluarganya, dan orang-orang yang harus ditanggungnya pada malam hari ’Idul Fithri.[2]
Zakat ini wajib dibayarkan atas nama diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungan seperti isteri dan keluarga, apabila mereka tidak mampu melaksanakannya sendiri. Akan tetapi apabila mereka mampu melaksanakannya sendiri, itu lebih baik, karena mereka sendirilah yang dimaksud dalam kewajiban tersebut. Anak kecil yang belum memiliki harta dibebankan kepada bapaknya. Seorang istri dibebankan kepada suaminya. Budak dibebankan kepada majikannya.[3]
Apabila seorang istri melakukan perbuatan nusyuz (durhaka terhadap suaminya) sehingga menyebabkan suaminya tidak memberikan nafkah padanya maka suaminya tidak berkewajiban untuk membayarkan zakat Fithrinya. Zakat Fithri itu harus ditunaikan oleh seorang muslim atas nama dirinya sendiri atau orang-orang yang ia nafkahi seperti istri, anak, dan budak.
Bayi yang berada di dalam kandungan ibunya tidak wajib ditunaikan zakat Fithrinya. Namun, kebanyakan ahli ilmu menghukumi sunnah untuk ditunaikan. Sahabat Utsman bin ‘Affan RA melakukannya.
Zakat Fithri tidak diwajibkan kecuali terhadap orang yang mempunyai kelebihan makanan/harta untuk memenuhi keperluannya pada malam hari raya dan pagi harinya. Jika ia hanya memiliki kelebihan kurang dari satu sha’ maka hendaknya ia mengeluarkan kelebihannya itu (meskipun kurang) untuk membayar zakat Fithrinya. Hal itu berdasarkan firman Allah ta’ala,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah! Dan keluarkanlah nafkah yang baik untuk dirimu! Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun [64]:16).
Menurut Abu Hanifah, zakat Fithri wajib bagi perempuan yang punya suami maupun tidak. Adapun menurut pendapat imam Malik, imam Syafi’i, imam Ahmad, Al-Laits, serta Ishaq, seorang suami wajib mengeluarkan zakat Fithri atas nama istrinya. Istrinya termasuk orang yang menjadi tanggungannya. Mereka juga sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh mengeluarkan zakat bagi istri yang kafir, meskipun dalam urusan nafkah masih menjadi kewajibanya.[4]
Adapun untuk anak kecil, menurut pendapat jumhur, jika anak tersebut memiliki harta, wajib dikeluarkan darinya dan yang mengeluarkan adalah walinya. Tetapi jika ia tidak memiliki harta sendiri, kewajiban zakatnya dibebankan atas orang yang menanggung nafkahnya.[5]
Mengenai janin, menurut jumhur fuqaha, zakat Fithri tidak wajib atasnya.
Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat, jika janin telah genap (dalam perut ibunya) seratus dua puluh hari sebelum menyingsingnya fajar hari raya, wajib dikeluarkan zakat Fithri atasnya.
Ibnu Hazm berhujjah, Rasulullah saw telah memerintahkan untuk mengeluarkan zakat atas anak kecil dan dewasa. Sedangkan janin termasuk anak kecil. Maka setiap hukum yang diberlakukan atas anak kecil berlaku juga terhadap janin. Ibnu Hazm meriwayatkan dari ‘Utsman bin Affan bahwa ia mengeluarkan zakat Fithri atas anak kecil, dewasa, dan janin dalam kandungan.[6]
Pendapat Ibnu Hazm mengenai wajibnya mengeluarkan zakat fithri atas janin ini tidak memiliki dalil yang kuat. Keliru jika dikatakan bahwa kalimat anak kecil (shaghir) dalam hadits mencakup janin yang ada dalam kandungan. Sedangkan riwayat dari Utsman RA dan yang lainnya hanyalah menunjukkan adanya istihbab (sunnah) dalam mengeluarkanya. Barang siapa yang melakukan, hal itu baik baginya.
Imam Asy-Syaukani menyebutkan bahwa Ibnu Mundzir telah mengutip adanya ijma’ mengenai tidak wajibnya mengeluarkan zakat atas nama janin. Sementara itu, Imam Ahmad menilainya mustahab/sunnah, bukan wajib.[7]