Oleh: Jamaluddin Ritonga
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam hal mu’amalah ialah sewa menyewa, yang dalam fiqh Islam disebut “ijarah”. Sewa adalah pengambilan manfaat suatu benda. Jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah, tanah juga dapat berupa karya pribadi seperti pekerja.
Ada sebagian ulama yang melarang akad ijarah seperti, Abu Bakar al-Asham, Ismail bin Ulayyah, Hasan al-Bashri, al-Qasyani, an-Nahrawani, dan Ibnu Kaisan dengan alasan ijarah adalah akad yang menjual manfaat, padahal manfaaat itu tidak pernah ada ketika akad, tapi hanya dengan berjalannya waktu akan terpenuhi sedikit demi sedikit.[1] Maka sesuatu yang tidak ada tidak dapat dilakukan akad jual beli atasnya. Sebagaimana menggantungkan jual beli pada masa yang akan datang. Tapi Ibnu Rusyd kitabnya Bidayatul Mujtahid membantahnya, begitupun dengan mayoritas ulama membolehkan akad ijarah dengan dalil dari al-Qur`an, Sunnah dan ijma’.[2]
Pada dasarnya akad ijarah seperti akad jual-beli juga, termasuk al-uqud al-musammah[3] yang diperhatikan hukumnya oleh syari’at islam. Akad ijarah bersifat sementara, sedangkan akad jual-beli bersifat permanen, karena yang berpindah adalah kepemilikan suatu barang bukan hanya manfaatnya saja.
Sebagai salah satu bentuk tolong menolong antara sesama manusia adalah saling memberi kemudahan, salah satu bentuknya adalah adanya akad ijarah atau sewa-menyewa. Banyak lembaga kita temukan pada zaman ini yang memperaktekkan akad ijarah, tapi tidak semua lembaga ini sesuai dengan perspektif islam, yang di dalam prakteknya masih ada pelanggaran menurut agama islam. Maka perlu bagi setiap muslim untuk mengetahui fiqih ijarah sesuai dengan pandangan islam.
YUK IKUT AMAL JARIYAH; PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Definisi Ijarah
Ijarah secara Etimologi adalah diambil dari kata al-ajru (الأجر), al-ajru memiliki dua makna yaitu pertama (الكراء و الأجرة على العمل) sewa dan imbalan atas sebuah pekerjaan dan kedua (الجبر) upah.[4] Al-ajru juga berarti iwadh (ganti) oleh sebab itu pahala (ats-tsawab) juga dinamakan al-ajru (upah).[5]
Para ulama empat madzhab juga memberi pengertian ijarah sendiri-sendiri.
- Menurut Hanafiyah adalah menjual suatu manfaat yang jelas dengan manfaat yang jelas.[6]
- Menurut Malikiyah adalah tukar menukar terhadap manfaat tertentu.[7]
- Menurut Syafi’iyah adalah suatu akad yang bertujuan mendatangkan manfaat dan mubah dengan imbalan yang jelas.[8]
- Menurut Hanabilah adalah suatu akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi mubah berupa suatu dzat yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah tanggungan, atau akad terhadap pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas serta tempo waktu yang jelas.[9]
Sayyid Sabiq mengatakan dalam kitab beliau, al-Ijarah berasal dari kata ‘al – Ajru’ yang berarti ‘al-’Iwadhu’ berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, al-Ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang[10].
Ijarah menurut terminology (istilah) adalah akad pengalihan hak penggunaan atas suatu barang atau jasa untuk jangka waktu tertentu dengan kompensasi pembayaran uang sewa tanpa diikuti oleh perubahan kepemilikan atas barang tertentu.[11]
Jadi, dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya atau didefinisikan pula sebagai menjual manfaat dan upa-mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan.
Dasar Hukum Ijarah
Al-Qur`an
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata wahai bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja dengan kita karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (QS. AlQashas:26)
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah:233)
Kedua ayat di atas telah melukiskan dua konteks dimana Si majikan telah menyewa tenaga pekerjanya dengan bayaran berupa upah tertentu. Dan, yang menjadi dalil dari ayat tersebut di atas adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan atau leasing.
Al-Hadits
Hadits Nabi yang dapat dijadikan dasar hukum beroperasionalnya kegiatan ijarah, meliputi :
عن ابن عنر قال رسول الله: أعطوا الاجير أجره قبل أن يجف عرقه
“Dari Ibnu Umar r.a. bersabda Rasullah Saw. Berikanlah upah (sewa) Buruh itu sebelum kering keringatnya”. (HR. Ibnu Majah)
Dari Abi Said al-Hudry r.a. bahwa Rasullah Saw. Telah bersabda:
من استأجر اجيرا فليعلمه أجره
“Barang siapa memperkerjakan pekerja hendaklah menjelaskan upahnya”.[12]
Diriwatkan Dari Ibnu Abbas Bahwa Rasullah Saw. Bersabda:
ان النبي صلى الله عليه و سلم احتجم و اعطى الحجام أجره
“Bahwasanya Rasulullah berbekam keudian meberikan upah pada tukang bekam itu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ijma
Ibnu Rusyd berkata dalam bukunya Bidayatul Mujtahid mengatakan: “Sunguh ijarah itu diperbolehkan oleh semua fuqaha amshar (semua kota)”.[13]
Sebagaimana perkataan Ibnu Qudamah bahwa :”Seluruh ahli ilmu disegala zaman dan semua tempat telah bersepakat mengenai kebolehan sewa menyewa kecuali apa yang dikatakan Abdurrahman bin Ashim “Bahwa tidak diperbolehkan (sewa menyewa) karena terdapat ketidak jelasan/gharar yakni melakukan akad terhadap suatu manfaat yang belum ada” pendapat ini keliru karena pendapatnya tidak dapat menolak kesepakatan ijma yang telah terjadi dimasa-masa sebelumnya dan telah berlaku diberbagai negeri”.[14]
Macam-macam ijarah
Dilihat dari segi objeknya, Ijarah dibagi menjadi 2 macam, yaitu Ijarah manfaat benda (barang ) dan Ijarah pekerjaan (jasa).[15]
- Ijarah manfaat benda (barang) dibagi menjadi 3 macam, diantaranya:
- Ijarah benda yang tidak bergerak (‘iqar), yaitu mencakup benda-benda yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menggunakannya, seperti: sewa rumah untuk ditempati atau sewa tanah untuk ditanami.
- Ijarah kendaraan (kendaraan tradisional maupun modern) seperti: unta, kuda dan benda-benda yang memiliki fungsi sama seperti mobil, pesawat dll.
- Ijarah barang-barang yang bisa dipindah-pindahkan, seperti: baju, perabotan dan tenda.
Konsukwensi dari ijarah manfaat menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah tercapainya akad ijarah manfaat sedikit demi sedikit sesuai dengan munculnya manfaat (objek akad). Sedangkan menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah akad ijarah manfaat itu tercapai pada saat dilaksanakannya akad. Dari perbedaan ini berdampak pada hal-hal berikut:
Dampak pertama, upah tidak dapat dimiliki dengan akad saja, tapi terjadi sedikit demi sedikit sesuai dengan manfaat yang diambil/digunakan. Maka pemilik barang tidak berhak menuntut upah kecuali bertahap sehari demi sehari. Tapi sebaliknya menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, upah langsung dimiliki pemilik barang dengan adanya akad, karena ijarah adalah akad mu’awadhah, jika akad mu’awadhah tidak ada syarat maka mengharuskan hak kepemilikan barang yang dipertukarkan (mabi’ dan tsaman) setelah akad. Seperti penjual berhak menuntut harga setelah terjadi akad jual-beli.[16]
Wajib langsung menyerahkan upah menurut Hanafiyah dan Malikiyah dengan tiga hal:
- Jika penyegeraan upah itu disyaratkan ketika akad
- Penyewa boleh langsung memberikan upah, meskipun tidak disyaratkan.
- Ketika barang yang disewa sudah diserahkan dan digunakan manfaatnya.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat mengenai penyegeraan dan penundaan upah. Jika ijarah tanggungan maka upah harus diserahkan ketika akad.[17] Contohnya, saya mengupah kamu lima puluh ribu sehari untuk memanen mangga. Maka upahnya harus diberikan ketika akad. Tapi jika ijarah itu berupa ‘ain (barang) maka boleh menunda upahnya, tapi jika akad itu mutlak maka wajib menyegerakannya.[18]
Dampak perbedaan yang kedua adalah pemilik barang harus menyerahkan barangnya ketika akad, ini menurut Hanafiyah dan Malikiyah. Dampak yang ketiga adalah boleh ijarah disandarkan pada masa yang akan datang, ini menurut Hanafiyah dan Malikiyah, seperti saya menyewakan rumah ini mulai bulan Ramadhan tahun depan dan akadnya terjadi pada bulan syawal tahun ini.
Hukum ijarah manfaat ini juga berkonsekuensi pada penggunaan barang yang disewakan, seperti menyewa rumah, maka boleh menggunakannya sesuai dengan keinginan penyewa selagi tidak berlebihan dan dilarang oleh syar’i.[19] Jika penyewa menggunakan barang sewaan sesuai dengan prosedur/aturan pakai dan barang sewaan itu rusak maka yang bertanggung jawab adalah yang memiliki barang (memberi sewa).
Dalam ijarah tanah, Hanafiyah mengharuskan keterangan untuk apa tanah tersebut disewa, begitu juga dengan menyewa hewan tunggangan, harus ada keterangan waktu dan tempat. Jika tidak ada keterangan ini maka hukumnya fasid.[20]
BACA JUGA;
Memperbaiki dan merawat barang yang disewa. Hanafiyah berpendapat yang memperbaiki barang sewaan jika rusak adalah pemilik barang bukan penyewa, tapi penyewa tidak boleh memaksa pemilik barang untuk memperbaikinya, adapaun kewajiban penyewa hanya merawat saja.[21]
Kewajiban penyewa setelah habis masa ijarah harus menyerahkan kunci rumah kepada orang yang menyewakan, jika binatang tunggangan atau alat maka penyewa wajib mengembalikan ketempat sewaan. Tapi jika penyewa membatasi jarak penggunaan, seperti saya hanya menyewa kuda ini dari masjid kermah, atau membatasi waktu tertentu untuk menyelesaikan urusannya, sperti saya hanya menyewa kuda ini satu jam, maka penyewa tidak harus mengembalikan barang sewaan.[22]
- Ijarah yang berupa manfaat manusia merupakan Ijarah yang objeknya adalah pekerjaan atau jasa seseorang, seperti: buruh bangunan, tukang jahit, dan buruh pabrik. Ijarah jenis ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu:[23]
- Ijarah manfaat manusia yang bersifat khusus (khas), yaitu seseorang yang disewa tenaga atau keahliannya secara khusus oleh penyewa untuk waktu tertentu dan hukumnya dia tidak boleh melakukan pekerjaan lain kecuali pekerjaan atau jasa untuk penyewa tersebut, seperti pembantu rumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan untuk majikannya bukan pada yang lain.[24]
- Ijarah manfaat manusia yang bersifat umum (musytarik), yaitu pekerjaan atau jasa seseorang yang disewa atau diambil manfaatnya oleh banyak penyewa. Misal: tukang besi, tukang laundry, dan tukang jahit.
Rukun Ijarah
Menurut ulama madzhab Hanafi rukun ijarah hanya ada satu, yaitu shighah (ijab dan qabul).[25] Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun ijarah itu ada empat: aqidain, shighat, ujrah dan manfaat[26] (objek sewa).[27] Jumhur ulama mengemukakan bahwa ijarah mempunyai 3 rukun umum dan 6 rukun khusus:
- Pertama adalah sighat (ucapan) yang terdiri dari tawaran (ijab) dan penerimaan (qabul).
- Kedua adalah pihak yang berakad (berkontrak) yang terdiri dari pemberi sewa (lessorpemilik asset), serta penyewa (lesee-pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan asset).
- Ketiga adalah objek sewa yang terdiri dari manfaat dari penggunaan asset dan pembayaran sewa (harga sewa).[28]
Syarat Ijarah
Syarat in’iqad (wujud)
Untuk kedua orang yang berakad, menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, disyaratkan telah baligh dan berakal.[29] Tapi menurut hanafiyah baligh tidak termasuk syarat wujud atau syarat berlaku, karena tergantung izin dari walinya. maka boleh anak kecil menyewakan hartanya, jika diizinkan walinya.[30]
Syarat nufuzd (berlaku)
Hanafiyah dan Malikiyah yang mengatakan bahwa kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan (wilayah) adalah syarat (nufuzd) bagi kontrak untuk bisa dilaksanakan.[31] Menurut Hanafiyah dan Malikiyyah akad ijarah fudhuli (mentasharufkan harta orang lain tanpa izin pemilik) mauquf, tergantung pada pemiliknya. Jika persetujuan akad fudhuli terjadi sebelum barang (manfaat barang) digunakan maka akadnya sah dan pemilik barang berhak atas upahnya (harga sewa).[32]
Syarat sah
- Kerelaan dari kedua pihak.
- Objek akad yaitu manfaat yang disewa itu diketahui dengan jelas. Hal ini mencakup beberapa point:
- Penjelasan tempat manfaat yaitu mengetahui barang yang disewakan. Barang yang disewakan harus dijelaskan. Jika seseorang mengatakan: saya sewakan motor ini tanpa menjelaskan motor yang mana, padahal saat itu ada banyak motor ditempa itu maka akad seperti ini tidak sah.[33]
- Penjelasan waktu sewa, ini khusus untuk kadar sewanya yang tidak jelas kecuali ditentukan dengan waktu, seperti menyewa rumah, toko, apartemen, dan wanita untuk menyusui[34] karena kalau tidak dijelaskan batas waktunya bias menimbulkan perselisihan sehingga maksud dari akad tidak tercapai.[35] Menurut jumhur penyewaan perbulan (ijarah musyaharah) dibolehkan, tapi pada bulan pertama saja, untuk bulan selanjutnya akadnya tidak mengikat. Dan menurut syafi’iyyah akad ijarah musyaharah tidak sah.[36] Hukum ijarah tanpa menjelaskan batasan waktu memang sah karena tidak ada batasan yang diberikan syari’at[37] dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Termasuk syafi’iyyah dalam pendapat yang shahih.[38]
- Penjelasan objek kerja (manfaat atau pekerjaan), objek kerja harus dijelaskan agar tidak ada jahalah (ketidakjelasan), karena jahalah (ketidakjelasan) bisa menimbulkan perselisihan yang merusak akad. Maka harus dijelaskan jenis, tipe, kadar dan sifatnya. Seperti: menyewa orang untuk menggali sumur, maka harus dijelaskan loksinya, kedalamannya, dan lebarnya.[39]
Tidak dibolehkan menggabungkan waktu dan objek kerja dalam ijarah a’mal/pekerjaan (mengupah orang), seperti menyewa seorang selama tiga hari untuk membuat satu rumah. Hal ini karena mengandung gharar yaitu, terkadang pekerjaannya sudah selesai sebelum habis waktu yang disepakati. Dan jika perkerja yang disewa ini terus dipekerjakan maka ada penambahan atas apa yang disepakati dalam akad.
Terkadang pula, pekerja yang disewa (upah) tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya selama tiga hari (batas waktu yang disepakati), dan jika ia menyelesaikan pekerjaannya maka ia telah bekerja diluar waktu yang disepakati dan jika ia tidak melakukannya maka ia tidak menyelesaikan pekerjaan yang disebutkan dalam akad dan ini adalah gharar.[40] Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah menyewa barang untuk dimanfaatkan harus dijelaskan batas waktunya sedangkan mengupah orang untuk bekerja tidak boleh menggabungkan waktu dan objek kerja.[41]
- Objek akad dapat diserahkan secara nyata atau syar’i, objek akad ijarah tidak boleh berupa sesuatu yang tidak bisa diserahkan secara nyata atau syara’. secara hakiki contohnya menyewa unta yang lepas, orang yang bisu untuk bicara, dan secara syara’ sperti mengupah wanita haid untuk membersihkan masjid, menyewa kepemilikan bersama fasid menurut abu hanifah dan boleh menurut Menurut abu Hanifah , Zufar dan ulama Hanabilah tidak boleh menyewakan barang milik bersama selain pada mitranya, dan dalam riwayat yang masyhur abu Hanifah membolehkan begitu juga dengan Shahibani serta mayoritas fuqaha`.[42]
- Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dibolehkan secara syar’i.
- Pekerjaan yang ditugaskan bukan kewajiban bagi penyewa sebelum akad ijarah. Tidak sah ujrah dari mengerjakan sebuah kewajiban karena melakukan kewajiban tidak berhak mendapat upah, seperti: tidak sah mengupah orang untuk melakukan shalat, puasa, haji dan kewajiban yang lain.[43]
- Orang yang disewa/diupah tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya. Maka tidak sah jika seorang menyewa penggiling gandum dengan dengan upah dari gandum yang digilingnya. Jika ia mengambil manfaat dari pekerjaannya, maka tidak dibolehkan, ini juga kesepakatan ulama Syafi’iyyah karena tidak mampu menyerahkan upah ketika akad.[44] Tapi Malikiyah dan Hanabilah membolehkannya karena hadist yang melarang ini tidak shahih.[45]
- Manfaat dari akad itu harus dimaksudkan dan bisa dicapai melalui akad. Maka tidak sah menyewa pohon untuk menjemur baju dan untuk berteduh. Karena manfaat ini bukan maksud dari kegunaan pohon.
Syarat objek akad
Jika ojek akad termasuk barang yang bergerak maka harus terjadi serah-terima menurut Abu Hanifah jika tidak ada serah-terima maka tidak sah. Karena Rasulullah melarang jual-beli yang belum diterima. Tapi jika objek akad ijarahnya berupa barang yang tidak bergerak (‘iqar) maka tidak harus ada serah-terima menurut Abu Hanifah berbeda dengan Syafi’iyyah.[46]
Syarat-syarat ujrah (upah)
- Upah harus berupa harta yang mutaqawwim dan diketahui.[47] Maka tidak sah jika seseorang mengupah penenun dengan upah tertentu ditambah makannya. Karena upah seperti ini akan menimbulkan jahalah pada upah.
- Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dari objek akad. Misalnya ijarah (menyewa) tempat tinggal dibayar dengan tempat tinggal dan jasa dengan jasa.[48] Seperti seseorang mengupah tukang kupas kulit dengan kulit yang ia kuliti, tukang giling tepung dengan upah dari tepung yang dia giling. Hal ini dilarang karena tidak diketahui apakah kulit itu bisa dipisahkan dengan baik atau bahkan rusak sehingga tidak bisa diharagai.
Syarat lazim ijarah.
- Barang yang disewakan bebas dari cacat yang bisa merusak pemanfaatannya.[49] Maka jika terjadi kerusakan pada barang sewaan penyewa memiliki hak khiyar untuk melanjutkan sewaan (dengan membayar uang sewa) atau membatalakan akad sewanya. Dan ini jika terjadi sebelum penerimaan barang sewa.[50]
- Tidak terjadi udzur yang membolehkan memfasakh (membatalakan) ijarah. Adapun udzur yang bisa membatalakan akad ijarah ada tiga[51]: pertama, udzur dari pihak penyewa. Misalnya jika penyewa bangkrut. Kedua, udzur dari orang yang menyewakan (pemilik barang), misalnya orang yang menyewakan barang memilki hutang besar dan tidak dapat melunasinya kecuali dengan menjual barang yang dia sewakan dan membayar hutangnya dengan barang yang dijual tadi. Ketiga, udzur dari barang yang disewakan, misalanya seorang menyewa rumah dan ternyata rumahnya roboh, maka akad ijarah boleh difasakh dalam keadaan sperti ini.
Sifat dan Konsekuensi Akad Ijarah
- Sifat Akad Ijarah[52]
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.[53] Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.[54] Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.[55]
- Konsekuensi Akad Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.[56]
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat maka ia wajib membayar upah yang sesuai dengan yang ditentukan. Ini bila kerusakan tersebut disebabkan syarat fasid. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan ketidak jelasan dan jumlah ujrah tidak disebutkan maka wajib membayar sebesar apa pun upah itu.[57]
Ja’far dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.[58]
Jaminan barang yang disewakan
Penyewa tidak wajib mengganti barang sewaan yang rusak kecuali jika dia lalai dari mejaganya. Karena hal-hal yang menjadikan penyewa itu bertanggungjawab mengganti barang sewaan ketika ia lalai dari menjaganya atau memang sengaja merusaknya dan melanggar syarat orang yang menyewakan (pemilik barang).[59] Tapi Malikiyah dan kedua murid besar imam Abu Hanifah -abu yusuf dan asy-syaibani- berpendapat penyewa tetap harus bertanggungjawab terhadap barang sewaan meskipun rusaknya tidak disengaja, kecuali jika karena kebakaran umum, atau tenggelam dan sejenisya, sebagaiman yang dilakukan Umar untuk kehati-hatian terhadap harta orang lain.[60]
Berakhirnya Ijarah
Adapun hal-hal yang yang bisa menyebabkan batal atau berakhirnya akad Ijarah menurut Hanafiyah [61], yaitu:
- Salah satu pihak meninggal dunia. Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hanafi. Bagi mazhab ini manfaat yang diperoleh dari Ijarah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap dan ketika meninggalnya salah satu pihak, manfaat tersebut tidak ada dan tidak sedang dimilikinya. Maka mustahil untuk bisa diwariskan. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, akad Ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena menurut Jumhur Ulama manfaat itu boleh diwariskan dan Ijarah sifatnya mengikat kedua belah pihak.
- Terjadinya kerusakan pada barang sewaan, seperti: Rumah terbakar atau mobil hilang.
- Tenggang waktu yang disepakati dalam akad Ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya dan apabila yang disewa itu jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya.
- Menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad Ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran atau dilanda banjir. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait hutang yang banyak, maka akad Ijarah menjadi batal.
- Berakhir dengan Iqalah yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini karena Ijarah merupakan akad pertukaran harta dengan harta yang diambil manfaatnya.
Kesimpulan dan Penutup
Dari penjelasan dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat penulis simpulkan bahwa:
- Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
- Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri. Wallahu a’lam bishawab.
BACA JUGA;
- Menggabungkan hadits; Islam Datang Dalam Kondisi Asing dan Akan Kembali Asing dan Hadits Islam Akan Menyebar Ke Seluruh Penjuru Dunia
- Hukum Seputar Masalah Hilah
[1] Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusy Al-Qrthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 1996 M) vol. 2,hal. 218
[2] Wahbah Zuhayli, alih terjemah: Abdul Hayyie al-Katani dkk, Fikih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011 M) vol. 5, hlm. 386
[3] al-‘uqud al-musamma adalah akad yang telah disebutkan namanya dan diatur oleh Allah, sperti jual-beli, iajrah dan syirkah.
[4] Abu Sulaiman dan Abdul Wahab, Aqdu Al-Ijarah Mashdar At-Tamwil Al-Islamiyah, (Jeddah, Ma’had Al-Islami Li Ad-Dirasah At-Tadrib, 2000M) cet. 2, hlm, 20-21
[5] Abdul bin Nuh dan Oemar Bakriy, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, hal. 11.
[6] Helmi Karim,Fiqh Muamalah, hal. 29.
[7] Abu Husain Ali, Al-Hidayah Ala Syarhi Bidayati Al-Mubtadi`, (Mesir, vol. 3, hlm. 231
[8] ‘Amir Muhammad Muhammad, Mulkhish Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah Ala Al-Mu’tamid Min Madzhab Malikiyyah (Banaghaaziy, al-Muthba’ah al-Ahliyah, 1972) cet. II, hlm. 213
[9] Syihabuddin Ahmad, Hasyiyah Ala Minhaji At-Thalibin Penerbit (Mesir, Darul Fikr, tt) vol. 3, hm.l 67
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa: Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung, PT. Alma’arif, 1995), vol 13, hlm. 15
[11] Dinukil dari Syafi’I Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press 2001), hal, 117
[12] Diriwayatkan oleh Abdrur Razzaq dalam mushannifnya dari Abu Huraurah dan Abu Sa’id al-Khudriy, tapi yang shahih hadits ini mauquf pada Abi Sa’id. (lihat dalam kitab al-Wajiz fi al-Fiqhi al-Islami hal. 119 Vol. III)
[13] Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusy Al-Qrthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 1996 M) Vol. IV, hlm. 1339
[14] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyad, Maktabah Riyadh al-Haditsiyah, tt) vol. 8, hlm. 6
[15] Manshur bin Yunus, syarah muntahi al-iradat (Madinah, Maktabah Salafiyah, tt) Vol. 2, hlm. 350 dan Ali Hasan, Transaksi Dalam Islam, hal. 236, dan wahbah zuhayli vol 3 hal 128
[16] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) vol. 3, hlm. 129
[17] Ibid, hal. 129
[18] Ibid. hal 130
[19] Ibid, vol. 3, hlm. 131
[20] Ibid, hlm. 131 dan ‘Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u ash-Shanai’ fi Tartibi asy-Syarai’, (al-Qahirah, Darul Hadits, 2005 M) Vol. 4, Hlm. 183
[21] ‘Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u ash-Shanai’ fi Tartibi asy-Syarai’, (al-Qahirah, Darul Hadits, 2005 M) Vol. 4, Hlm. 258
[22] Ibid, Hlm. 209
[23] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) Vol. 2, Hlm. 132
[24] Al-badai’i, Vol 4, Hal 147
[25] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M)
[26] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) vol. 2 hal 118.
[27] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung, PT. Alma’arif, 1995), vol 13, hlm. 49
[28] Ibid, hlm. 49
[29] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) vol. 2, hlm. 119 dan Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyad, Maktabah Riyadh al-Haditsiyah, tt) vol. 5, hlm. 398
[30] Syamsuddin Muhammad Bin Abi Bakar Bin Ayyub Bin Sa’ad (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah), I’lamul Muwaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alain, ( Beirut, Darul Jiil, tt) vol. 2 hal. 15
[31] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) vol. 2, hlm. 119
[32] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) vol. 2, hlm, 119-120
[33] Wahbah Zuhayli, alih terjemah: Abdul Hayyie al-Katani dkk, Fikih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011 M) vol. 5, hlm. 391
[34] Ibid, hlm. 391
[35] Ibid, hlm. 391
[36] Ibid, hlm. 392
[37] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyad, Maktabah Riyadh al-Haditsiyah, tt) vol. 5, hlm, 401
[38] Abdul al-Ghani al-Ghunaimi ad-Dimasyqi al-Maidani, al-Lubaab fi Syarhul Kitab, (Beirut, Darul Kitab al-Arabi, tt) vol. 2, hal. 88
[39] Imam as-Sarkhasi, al-Mabsuth fi Fiqhi al-Hanafi, (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 2009) cet. III, vol. 16, hal. 47
[40] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyad, Maktabah Riyadh al-Haditsiyah, tt) vol. 5, hlm. 402
[41] Abul Abbas Ahmad bin Idris ash-Shanhaji al-Qurafi, al-Furuuq au Anwaar al-Buruq fi Anwa`i al-Furu’, (Beirut, darul kutub al-‘ilmiyah, 1998 M) vol. 4, hal. 12
[42] Wahbah Zuhayli, alih terjemah: Abdul Hayyie al-Katani dkk, Fikih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011 M) vol. 5, hlm. 395, tapi dalam kitab yang belum diterjemahkan tidak ada keterangan Abu Hanifah membolehkan barang bersama disewakan pada selain mitranya, beliau hanya membolehkan pada mitranya saja.
[43] Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusy Al-Qrthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 1996 M) vol. 2, hlm. 218
[44] ‘Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u ash-Shanai’ fi Tartibi asy-Syarai’, (al-Qahirah, Darul Hadits, 2005 M) vol. 4, hal. 192
[45] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol. 2, hlm. 123
[46] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol. 2, hlm. 124
[47] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol. 2, hlm. 125
[48] ‘Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u ash-Shanai’ fi Tartibi asy-Syarai’, (al-Qahirah, Darul Hadits, 2005 M) vol. 4, hal. 194
[49] Cacat yang bias merusak seperti rumah yang disewa roboh, atau atapnya roboh, dan yang semisalnya.
[50] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol. 2, hlm. 127
[51] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyad, Maktabah Riyadh al-Haditsiyah, tt) vol. 5, hlm. 2
[52] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol. 2, hlm. 127
[53] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 130
[54] al-bada’I’ vol 4 hal 222
[55] Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusy Al-Qrthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 1996 M) vol. 2, hlm. 328 dan al-Mughni vol 5 hal 428,
[56] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) dan Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol 2hlm 128
[57] ‘Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u ash-Shanai’ fi Tartibi asy-Syarai’, (al-Qahirah, Darul Hadits, 2005 M) vol. 4, hal. 194
[58] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol. 2, hlm. 128
[59] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyad, Maktabah Riyadh al-Haditsiyah, tt) vol. 5, hlm. 104
[60] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyad, Maktabah Riyadh al-Haditsiyah, tt) vol. 5, hlm. 487
[61] Wahbah Zuhayli, al-Wajiz Fi al-Fiqhi al-Isami, (Damaskus, Darul Fikri, 2006 M) cet. II, vol. 2, hlm. 133-134