Oleh : Muhammad Ridwan
Melihat realita yang ada hari kita kaum muslimin di tuntut untuk memahami dan mempelajari Islam yang benar yang sesuai dengan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena hari ini banyak sekali kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Islam akan tetapi dalam praktiknya menyelisihi Manhaj Islam yang benar sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Jauh-jauh hari Rasululullah saw telah mengingatan kita bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali al-Jamaah. Dari sahabat Anas bin Malik dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Bani Israil akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jama’ah.”[1]
Ini adalah Nubuwah dari Rasulullah saw, bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. Dan embrio perpecahan tersebut telah mulai muncul sejak zaman beliau sendiri dan mengalami peningkatan pada masa Khulafa’ur Rasyidin terkhusus pada masa Khalifah Utsman bin Affan r.a yaitu ketika terjadinya kudeta berdarah dari para pemberontak yang di dalangi oleh si Yahudi Abdullah bin Saba’ pendiri sekte sesat Syiah. Dan rentetan-rentetan fitnah semakin memanas di tubuh kaum muslimin setelah kejadian tersebut, misalkan saja terjadinya perselisihan diantara para sahabat seperti perselisihan Ali bin Abi Thalib r.a’ dengan Aisyah r.a’ dengan terjadinya perang Jamal, antara Ali r.a’ dengan Muawiyah bin Abi Sufyan r.a’ dengan terjadinya perang Shiffin. Dan di perang Shiffin inilah akan muncul sekte sesat Khawarij, yakni sekelompok orang yang pada mulanya mereka adalah para pendukung Ali r.a akan tetapi kemudian keluar dari kempimpinan Ali r.a’ menurut anggapan mereka Ali r.a’ telah kafir dengan tidak berhukum denga kitab Allah swt ketika mengadakan perjanjian damai dengan pihak Muawiyah r.a’.
Para ulama Salaf telah sepakat bahwa Khawarij adalah kelompok sesat, yang wajib diperangi, banyak sekali kitab-kitab mereka yang membahas akan hal itu. Akan tetapi sangat disayangkan label Khawarij terkadang salah dipahami, sehingga dengan mudahnya memvonis Khawarij kepada yang lain, tanpa di landasi dengan kaidah yang dibenarkan. Begitu pula label bughat (pemberontak) dengan mudahnya dilabelkan kepada orang-orang yang dianggap melawan pemerintah, padahal pemerintah tersebut jelas-jelas akan kekufurannya. Karenanya dalam makalah ini penulis ingin memaparkan apa itu Khawarij dan Bughat, apakah keduanya sama atau beda, dan kapan seseorang itu bisa dilabeli Khawarij atau bughat?. Semoga dengan tulisan ini nantinya kita sedikit banyak mengetahui akan Khawarij dan Bughat sehingga kita semakin bijak dalam memadang permasalahan ini. dan tidak mudah dan gegabah di dalam melabeli seseorang atau kelompok dengan cap Khawarij dan bughat.
SUKSESKAN PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY ANNUR
- Pengertian Khawarij dan Bughat
- Pengertian Khawarij
Bahasa
Secara bahasa berasal dari kata خرج, خروجا, و مخرجا (keluar, tempat/jalan keluar).[2] Juga bermakna طلع (pergi) atau غادر (meninggalkan).[3] Di dalam al-Mu’jam al-Wasith disebutkan Khawarij secara bahasa berasal dari jama’ خارجي (orang yang keluar), الخارج البارز (yang keluar untuk bertarung) dan الخروج (keluar), dan dia adalah lawan dari الدخول (masuk).[4]
Istilah
- Abu Hasan al-Asyari menjelaskan bahwa nama Khawarij disematkankan pada kelompok yang keluar dari kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin yang keempat Ali bin Abi Thalib r.a beliau menjelaskan bahwa keluarnya mereka dari Ali r.a merupakan illah penamaan mereka dengan nama ini, hal ini sebagaimana perkataan beliau “Dan sebab yang menyebabkan mereka dinamakan dengan Khawarij karena mereka keluar dari kepemimpinan Ali r.a ketika beliau melakukan Tahkim.[5]
- Ibnu Hazm berkata “Dan siapa yang setuju dengan Khawarij berupa ingkar terhadap tahkim, mengkafirkan para pelaku dosa besar, keluar dari imam yang juur (lalim), menganggap pelaku dosa besar kekal di neraka, dan menganggap Imamah (kempemimpinan) itu boleh untuk selain Quraisy maka dia adalah Khawarij”.[6]
- Imam asy-Syahrastani menjelaskan dengan pengeritan umum bahwa kelompok Khawarij adalah “Setiap yang keluar dari kepemimpinan imam yang hak dan telah disepakati jamaah maka dinamakan Khawarij baik itu keluar pada masa sahabat yakni keluar dari kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin atau pada masa setelah mereka yaitu para Tabi’in dan para pemimpin disetiap zaman”.[7]
- Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa Khawarij adalah mereka yang mengingkari Ali dalam permasalahan Tahkim dan berlepas diri darinya, begitu juga terhadap Utsman dan anak cucunya serta memerangi mereka, adapun yang mengkafirkan mereka maka mereka adalah Ghulah (kelompok ekstrim Khawarij).[8] Dalam pengertian lain beliau berkata “Mereka adalah kaum Mubtadiun dinamakan dengan itu karena keluarnya mereka dari agama dan dari para orang-orang terbaik kaum muslimin”.[9]
- Nashir al-aqli menjelaskan yang dimaksud dengan Khawarij adalah mereka yang mengkafirkan (seseorang) disebabkan maksiat dan keluar dari para imam yang lalim”.[10]
Hadis tentang Khawarij
حَدَّثَنَا يُسَيْرُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قُلْتُ لِسَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْخَوَارِجِ شَيْئًا قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ وَأَهْوَى بِيَدِهِ قِبَلَ الْعِرَاقِ يَخْرُجُ مِنْهُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Telah menceritakan kepada kami Yusair bin Amru mengatakan, aku bertanya kepada Sahal bin Hunaif; ‘apakah engkau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Khawarij? ‘ Ia menjawab; aku mendengar beliau bersabda; -sambil beliau arahkan tangannya menuju Irak- “Dari sanalah muncul sekelompok kaum yang membaca al Qur`an tidak melebihi kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.” (HR. Bukhari)
قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَوْ يَعْلَمُ الْجَيْشُ الَّذِينَ يُصِيبُونَهُمْ مَا قُضِيَ لَهُمْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَاتَّكَلُوا عَنْ الْعَمَلِ
Ali Radhiallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya. Sekiranya pasukan yang memerangi mereka tahu pahala yang telah ditetapkan bagi mereka atas lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, niscaya mereka akan berhenti beramal. (HR. Muslim)
Sifat-sifat kelompok Khawarij
Dr. Muhammad as-Shalabi menyebutkan, sejarah telah mencatat bahwa setiap kelompok sesat pasti mempunyai sifat tersendiri, begitu pula kelompok Khawarij, beliau menyebutkan ada delapan sifat utama pada kelompok ini, sifat-sifat tersebut adalah;
- Ghuluw terhadap agama
- Jahil terhadap agama
- Tidak taat terhadap imam yang sah
- Mengkafirkan para pelaku dosa besar dan menghalalkan darah serta harta kaum muslimin
- Melampaui batas terhadap sunnah nabi Muhammad saw
- Mudah mencela dan menyesetkan orang lain
- Berburuk sangka terhadap orang lain
- Bersifat keras terhadap orang muslim[11]
- Pengertian Bhughat
Bahasa
Bughat secara bahasa berasal dari jama’ باغ (menandingi, mengelak, membandingi, menyaingi) , dan الباغي adalah orang dzalim yang mengalahkan dan keluar dari undang-undang.[12] Sedangkan makna البغي adalah الظلم (kedzaliman) dan الفساد (kerusakan) juga bermakna قصد الفساد (bermaksud membuat kerusakan).[13]
Istilah Syar’i
- Bughat adalah mereka orang-orang yang keluar dari imam yang sah, tanpa hak (dibenarkan).[14]
- Mereka adalah orang-orang yang menampakkan diri bahwasanya mereka adalah orang-orang yang benar dan imam adalah seorang yang salah, kemudian mereka memeranginya atau berkeinginan untuk memeranginya dan mereka mempunyai pasukan dan kekuatan. (al-Husain as-Shan’ani)[15]
- Ibnu Qudamah berkata “kaum dari ahlul hak, mereka keluar dari imam, serta ingin menggulingkan kepemimpinannya disebabkan ta’wil yang diperbolehkan serta mereka mempunyai kekuatan, yang di dalam meredekan aksi mereka dibutuhkan pasukan, maka mereka itulah kelompok Bughat.”[16]
Menurut Para Fuqaha’
- Menurut kalangan Hanafiyah bughat adalah kelompok yang memiliki kekuatan dan senjata, mereka menyelishi kaum muslimin di sebagian hukum karena ta’wil dan menguasai suatu daerah dari negeri (muslimin) serta mereka adalah sekumpulan pasukan.[17]
- Menurut Malikiyah Bughat adalah kelompok berperang karena ta’wil.[18] Al-Abdari menyebutkan Bughat adalah kelompok yang menyelisihi imam karena menolak kebenaran atau hendak melengserkannya.[19]
- Menurut Syafi’iyah Bughat adalah mereka yang menyelisihi imam dengan keluar dan tidak tunduk kepadanya, atau menolak kebenaran yang ditujukan kepada mereka dengan syarat mereka mempunyai kekuatan dan ta’wil.[20]
- Menurut Hanabilah Bughat adalah sauatu kelompok dari golongan ahlul hak, mereka meninggalkan imam dan bermaksud untuk melengserkannya atau membangkangnya, karena adanya ta’wil yang dimaklumi[21] (perbolehkan) baik ta’wil tersebut benar atau salah, dan mereka mempunyai kekuatan, dan untuk menghentikannya membutuhkan pasukan.[22]
Dari pengertian-pengertian di atas yang telah dijelaskan oleh para ulama akan makna Bughat maka dapat disimpulkan Bughat adalah sekelompok orang dari golongan ahlul hak yang keluar dari imam yang sah karena adanya ta’wil yang dimaklumi dan mereka mempuyai kekuatan.
Ayat tentang Bughat
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat: 9)
Syarat dikatakan Bughat
Di dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab imam Nawawi menyebutan ada tiga syarat seseorang yang keluar dari imam di hukumi Bughat.
- Mereka berupa Thaifah (kelompok), yang mempunyai kekuatan sehingga seorang imam untuk menghentikannya membutuhkan pasukan, karenanya jika mereka tidak mempunyai kekuatan dan hanya berjumlah sedikit, maka tidak dihukumi dengan hukum Bughat namun hanya Qot’ut Thariq (begal). Dalil akan hal ini adalah riwayat tentang Abdurrahman bin Muljam la’natullah yang membunuh Ali bin Abi Thalib.
- Keluar dari imam.
Dalilnya adalah sebuah riwayat tentang seorang laki-laki yang berteriak di pintu masjid, dan Ali r.a sedang berkhutbah di atas mimbar “Tidak ada hukum kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya” dimaksudkan untuk menolak Tahkim Ali r.a di perang Shiffin. Maka Ali r.a berkata “Kalimat hak, namun dimaksudkan untuk perkara batil.” Beliau melanjutkan “kalian mempunyai tiga hak atas kami, kami tidak akan melarang kalian dari masjid Allah untuk kalian mengingat nama-Nya, kami tidak akan mengambil Fa’i dari kalian selama kalian bersama kami, dan kami tidak akan memulai perang dengan kalian.
- Mempunyai Ta’wil Saigh (dimaklumi), seperti adanya syubhat di dalam mereka keluar dari imam, salah di dalam Ta’wil atau imam menahan hak mereka.
Dalilnya adalah sebagian orang yang keluar dari kepemimpinan Abu Bakar r.a menolak membayar zakat karena salah ta’wil terhadap firman Allah swt “خذ من أموالهم صدقة”. Mereka berkata “Allah swt memerintahkan membayar zakat kepada orang yang shalatnya menenangkan kami yang dimaksud adalah Rasulullah saw, sedangkan Abu Qohafah Shalatnya tidak menenangkan kami. Maka takkala mereka di perangi, mereka berkata; “Demi Allah kami tidak kafir setelah beriman, akan tetapi kami kikir terhadap harta kami. Maka apabila mereka tidak mempunyai ta’wil Saigh maka mereka dihukumi Qot’ut Thariq (begal) [23]
Faktor munculnya pemikiran Khawarij dan fenomena Ghuluw pada masa sekarang
Dr. Muhammad Shalabi di dalam kitabnya Fikru al-Khawarij wa as-Syiah menyebutkan bahwa pada dekade terakhir ini telah ada kelompok ataupun individu muslim yang terjangkiti dengan pemikiran Khawarij. Beliau menyebutkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi akan hal itu. diantaranya adalah
- Jahil terhadap ilmu Syariah
- Semangat di dalam membaca kitab tanpa adanya pembimbing.
Hari ini banyak dari para penuntut ilmu yang menyimpulkan hukum-hukum syar’i sebelum kokoh pemahaman mereka terhadap kaidah-kaidah hukum yang ada. Dan ini kebanyakan menimpa para pemuda yang mengalami dua kondisi berikut;
- Pemuda yang hidup di dalam penjara dan mengalami penyiksaan dan penindasan
- Pemuda yang hidup di luar penjara dan belum pernah mengalami penyiksaan kemudian mereka terjerumus ke dalam pemikiran yang salah dan Ghuluw. Semua ini terjadi karena adanya faktor-faktor berikut
- Menjauh dan menghidar dari ulama
- Ghuluw di dalam mecela Taqlid
- Menempatkan kalimat hak di tempat yang salah
- Diamnya para ulama dari kewajiban mereka
- Tersebarnya kedzaliman dan berhukum dengan undang-undang manusia
- Ta’wil yang salah terhadap gagasan-gagasan pemikir muslim kontemporer
- Tersebarnya kerusakan di tengah-tengah manusia
- Tidak adanya Tazkiyatun Nafs
Inilah sebab dan faktor timbulnya pemikiran-pemikiran Ghuluw dan Khawarij pada masa sekarang. Sedangkan fenomena pemikiran Ghuluw pada masa sekarang banyak sekali diantaranya adalah; Terlalu keras terhadap diri sendiri dalam agama dan mempersulit terhadap perkara lainnya, Berbangga diri, merasa paling benar, Hanya menuruti pendapat sendiri, menganggap bodoh orang lain, Mencela para ulama amilin dan Mudah mengkafirkan[24]
BACA JUGA; HUKUM SEPUTAR MASALAH HILAH
Perbedaan Khawarij dan Bughat
- Ditinjau dari akar ideologi
Khawarij
Berbicara akan Khawarij maka tidak bisa dilepaskan dari aqidah dan ideologinya, karena inilah faktor fundamental pembeda dengan Bughat. Di bawah ini akan di bahas tentang ideologi Khawarij, yang mana kelompok ini oleh para ulama telah disepakati akan kesesatannya[25]. Dan ini semua tidak terlepas dari ideologi yang mereka bawa, sehingga di cap sebagai kelompok sesat. Beberapa aqidah dan ideologi menyimpang Khawarij adalah;
- Mengkafirkan pelaku dosa besar
Mereka beristidlal dengan firman Allah swt
بَلَى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“(Bukan demikian), yang benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 81)
Mereka mengatakan tentang ayat ini bawah “Tidak ada harapan bagi seorang pelaku maksiat yang mati dalam kemaksiatannya dari rahmat Allah swt”.[26] Padahal di dalam ayat ini yang dimaksud خطيئة (dosa) di sini adalah Syirik, sebagimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa makna ayat ini adalah syirik[27] Kemudian di dalam firmanya من كسب سيئة kata سيئة (dosa) bersifat نكرة (tidak tentu) yang mana dia bersifat umum untuk segala perbuatan dosa. Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata “Yang di maksud di sini adalah syirik, berdasarkan firman Allah swt وأحاطت به خطيئته yakni dosa dia telah diliputi h swt Xsifat umum untuk segala perbuatan dosa. nya tersebut, maka tidak diterima kebaikannya”tannya. tersebut telah meliputi pelakunya, maka tidak ada jalan keluar baginya, dan ini tidak terjadi kecuali dosa syirik”.[28]
- Mengingkari kepemimpinan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hasan al-Asyari mengatakan “Khawarij dan para pengikutnya menetapkan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, dan mereka mengingkari kepemimpinan Usman ketika terjadinya fitnah (pembunuhan Umar) yang membuat mereka benci terhadapnya. Dan kepemimpinan Ali setelah Ali menyetujui Tahkim.”[29]
- Allah swt tidak menerima syafaat untuk pelaku dosa besar dan mereka tidak dikeluarkan dari neraka[30]
- Menganggap akal mampu mengetahui kewajiban Syariat tanpa as-Sam’u (al-Qur’an dan as-Sunnah)[31]
- Allah swt tidak mungkin dilihat oleh makhluknya[32]
- Menganggap al-Quran adalah makhluk[33]
- Sebagian mereka menafikan takdir[34]
- Imamah
Dalam permasalahan Imamah Ahlus Sunnah telah menetapkan kaidah dan rambu-rambu tentangnya juga kriteria mana imam yang wajib di taati dan sebaliknya. Sedangkan Khawarij dalam beberapa hal mereka menyelisihi kaidah dan rambu-rambu tersebut diantaranya adalah;
- Menyelisihi Jumhur Ulama di dalam menetapkan syarat Quraisy sebagai pemimpin[35]
- Wajibnya keluar dari imam yang fajir[36]
Bughat
Jumhur Ulama telah sepakat bahwa bahwa Bughat merupakan golongan orang-orang yang beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah swt.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil”. (QS. Al-Hujurat: 9)
Al-Umrani berkata “Sesunguhnya Bughat tidak keluar dari keimanan, karena Allah telah menamai mereka dengan orang-orang mukmin di saat mereka melakukan Bughat”.[37] Dikalangan Hanabilah Ibnu Qudamah[38] dan Abu Naja al-Hijawi[39] mengatakan bahwa Bughat adalah dari golongan ahlul hak.
Ibnu Taimiyah berkata;
وَأَمَّا أَهْلُ الْبَغْيِ الْمُجَرِّدِ فَلَا يَكْفُرُونَ بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الدِّينِ ؛ فَإِنَّ الْقُرْآنَ قَدْ نَصَّ عَلَى إيمَانِهِمْ وَإِخْوَتِهِمْ مَعَ وُجُودِ الِاقْتِتَالِ وَالْبَغْيِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
“Adapun Bughat maka tidak dikafirkan berdasarkan kesepakatan para imam agama (ulama), karena al-Quran telah menetapkan keimanan dan persaudaraan atas mereka, walaupun terdapat saling perang dan permusuhan”.[40]
- Ditinjau dari segi hukum Syar’i
- Vonis kafir
Para Fuqoha berbeda pendapat di dalam memvonis kafir orang-orang Khawarij, ada dua pendapat yang masyhur dalam hal ini
- Jumhur Fuqaha dan ahlu Hadis menghukumi mereka sebagaimana kelompok Bughat, dan kalangan Malikiyah berpendapat mereka mendapatkan Istitabah jika bertaubat, dan tetap diperangi jika tidak bertaubat untuk mencegah kerusakan yang mereka timbulkan bukan karena kekafirannya.[41]
- Sebagian ahli hadis menganggap Khawarij adalah kelompok murtad, dan riwayat ini terdapat dikalangan Hanabilah.[42] Dalil yang digunakan pendapat ini adalah Hadis yang diriwayatkan sahabat Abu Said r.a bahwasanya beliau mendengar Rasulullah saw bersabda;
يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَنْظُرُ فِي النَّصْلِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَنْظُرُ فِي الْقِدْحِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَنْظُرُ فِي الرِّيشِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَتَمَارَى فِي الْفُوقِ
“Akan ada suatu kaum yang berada ditengah-tengah kalian, dan kalian akan meremehkan shalat kalian bila melihat shalat mereka, begitu juga dengan shaum kalian jika melihat shaum mereka, serta amal kalian jika melihat amal mereka. Akan tetapi, mereka membaca Al Qur`an, namun bacaan mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan, mereka keluar dari Din, sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Ia melihat pada ujung panahnya, namun ia tidak mendapatkan sesuatu, kemudian melihat pada lubangnya, juga tak menemukan sesuatu, lalu ia melihat pada bulunya juga tidak melihat sesuatu. Ia pun saling berselisih akan ujung panahnya”. (HR. Bukhari & Malik)
يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Akan datang di akhir zaman suatu kaum yang masih muda beliau namun lemah pemahaman (kurang kekayaan intelektual). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (mengambilnya dari Al Qur’an) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. Maka dimana saja kalian menjumpai mereka, bunuhllah mereka karena pembunuhan atas mereka adalah pahala di hari qiyamat bagi siapa yang membunuhnya“. (HR. Bukhari)
Amanullah Muhammad Shadiq di dalam Tesisnya menyebutkan, imam Syaukani di dalam kitab Nailul Authar berkata “Ulama yang secara Sharih mengkafirkan Khawarij adalah al-Qhadi Abu Bakar bin al-Arobi di dalam kitab Syarh Tirmidzi, yang mana beliau berkata; “Yang benar mereka adalah orang kafir, sebagaimana sabda Rasululllah saw يمرقون من الدين juga sabdanya لأقتلنهم قتل عاد [43]
Sedangkan Bughat para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang beriman. Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah swt surat al-Hujurat: 9. Ibnu Taimiyah berkata;
وَأَمَّا أَهْلُ الْبَغْيِ الْمُجَرِّدِ فَلَا يَكْفُرُونَ بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الدِّينِ ؛ فَإِنَّ الْقُرْآنَ قَدْ نَصَّ عَلَى إيمَانِهِمْ وَإِخْوَتِهِمْ مَعَ وُجُودِ الِاقْتِتَالِ وَالْبَغْيِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
“Adapun Bughat maka tidak dikafirkan berdasarkan kesepakatan para imam agama (ulama), karena al-Quran telah menetapkan keimanan dan persaudaraan atas mereka, walaupun terdapat saling perang dan permusuhan”.[44]
- Memulai peperangan
Kelompok Khawarij diperbolehkan untuk diperangi secara langsung walaupun mereka belum memulai, Hal ini sebagaimana riwayat tentang seorang lelaki yang mencela nabi saw dalam pembagian Ghanimah dengan berkata “”Bertaqwalah kamu kepada Allah, wahai Muhammad”. Maka Beliau berkata: “Siapakah yang dapat bertaqwa kepada Allah seandainya aku saja mendurhakai-Nya. Apakah patut Allah memberi kepercayaan kepadaku untuk penduduk bumi sementara kalian tidak mempercayai aku?”. Kemudian beliau bersabda “”Sesungguhnya dari asal orang ini atau di belakang orang ini (keturunan) akan ada satu kaum yang mereka membaca al-Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama bagaikan keluarnya anak panah dari busurnya dan mereka membunuh pemeluk Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Seandainya aku bertemu dengan mereka pasti aku akan bunuh mereka sebagaimana kaum “Aad dibantai”.[45]
Ibnu Qudamah berkata “Dan yang benar Insya Allah diperbolehkan memerangi kelompok Khawarij terlebih dahulu dan mempersiapkan kekuatan untuk melukai mereka, hal ini sebagaimana perintah Nabi saw untuk memerangi mereka dan adanya janji pahala bagi siapa yang memerangi mereka.”[46]
Ibnu Taimiyah berkata “Nabi saw telah memerintahkan untuk memerangi Khawarij walaupun mereka belum memulai perang, sedangkan kelompok Bughat Allah swt telah berfirman berkenaan dengan mereka (QS. Al-Hujurat: 9) (ayat tersebut menjelaskan) tidak diperintahkan untuk memulai perang terlebih dahulu terhadap Bughat, maka memulai perang terlebih dahulu bukanlah hal yang di perintahkan. Akan tetapi jika mereka berperang, diperintahkan untuk mendamaikan diantara mereka, kemudian apabila salah satu diantara mereka melanggar maka diperangi..[47]
Adapun kelompok Bughat maka tidak diperkenankan memerangi mereka sampai mereka memulai terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawa menyebutkan “berkatalah salah seorang Fuqaha’ “Sesungguhnya Bughat tidak diperangi terlebih dahulu hingga mereka memerangi”[48]
- Ta’wil
Para ulama telah sepakat bahwa keluarnya Bughat dari imam dikarenakan adanya ta’wil yang dimaklumi, sedangkan Khawarij ta’wil mereka tidak dapat dimaklumi (Ghairi Saaigh). Penulis kitab Ahkam al-Bughat mengatakan “Adapun Bughat mereka mempunyai ta’wil yang dimaklumi yakni ta’wil yang tidak menyebabkan pelakunya di potong tubuhnya karena kerusakan yang dibuatnya dan ta’wil tersebut tidak menyelisihi ushul Syariah (pokok-pokok syariat). Adapun Khawarij ta’wil mereka ghoiru saaigh yakni ta’wil yang menyelesihi Ushul Syariah.[49]
- Harta rampasan dan tawanan perang
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tidak diperbolehkan mengambil harta Bughat karena hal itu bukan Ghanimah, hal ini sebagaimana perkataan Ali r.a pada perang Jamal “Jangan membunuh tawanan, membuka rahasia dan mengambil harta”. Dan diperkenankan mengambil senjata untuk memerangi mereka jika kaum muslimin membutuhkannya, hal ini sebagaimana yang dilakukan Ali r.a. kalangan Hanafiyah juga berpendapat diperbolehkan bagi imam untuk menahan harta Bughat dan tidak mengembalikan kepada mereka serta membaginya (kepada pasukan) hingga mereka bertaubat.[50]
Sedangkan tawanan perang ahlu Bughat menurut Hanafiyah dan Malikiyah tidak diperbolehkan menawan mereka. Menurut Syafi’iyah imam diperbolehkan menahan tawanan jika tawanan tersebut adalah anak-anak, wanita dan budak, hingga peperangan selesai dan musuh dikalahkan. Menurut Hanabilah imam dapat memilih antara membunuh dan menahan mereka, mana yang lebih baik antara kedua perkara tersebut.[51]
Sedangkan Khawarij menurut Jumhur Ulama mereka dihukumi sebagaimana Bughat. menurut Hanafiyah tidak diperbolehkan menawan wanita dan anak-anak, serta mengambil harta mereka, karena mereka adalah orang-orang muslim.[52]
- Masalah memandikan, mengkafani dan menshalati
Kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanafiyah berpendapat orang-orang Bughat dishalatkan jika tidak ada sekelompok orang (Bughat) yang menshalatinya, akan tetapi jika ada yang menshalati mereka maka kaum muslimin tidak menshalati mereka. Sedangkan Khawarij menurut Jumhur ulama tidak di shalati, hal ini sebagaimana perkataan imam Ahmad “Ahlu Bid’ah jika mereka sakit, maka jangan kamu menjenguk mereka dan jika mati maka jangan kamu menshalati mereka”. imam Malik berkata “Tidak di shalati orang-orang Ibadhiyah, Qodariyah dan seluruh ahlu Ahwa’ dan tidak pula di iringi jenazah mereka serta tidak pula dijenguk orang yang sakit diantara mereka”.[53]
- Persamaan Khawarij dan Bughat
Setelah pada pembahasan sebelumnya disebutkan tentang perbedaan antara Khawarij dan Bughat. Maka timbullah pertanyaan apakah diantara keduanya terdapat persamaan?, setelah penulis kaji dan baca di dalam beberapa referensi berkenaan dengan keduanya, maka penulis berkesimpulan bahwa persamaan yang paling mendasar antara keduanya adalah sama-sama keluar dari imam yang sah. Kesimpulan ini bukanlah semata-mata tanpa ada alasannya. Di dalam kitab Majmu’ Fatawa disebutkan ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di tanya tentang keduanya (Khawarij dan Bughat) apakah lafadz sinonim yang bermakna sama, atau keduanya berbeda ? dan apakah Syariat membedakan hukum keduanya ? kemudian apabila ada orang yang mengaku bahwa para imam telah sepakat bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali di nama saja, dan ada yang menyanggah pendapat ini dengan berdalil bahwasanya Amirul mu’minin, Ali bin Abi Tholib membedakam antara penduduk Syam dan penduduk Nahrawan, maka siapakah yang benar?
Beliau menjawab; ”Alhamdulillah, adapun kalau ada yang mengatakan bahwasanya para imam bersepakat bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, maka perkataannya itu adalah batil dan serampangan. Sesungguhnya yang mengatakan tidak adanya perbedaan antara keduanya adalah perkataan sebagian ulama’ dari sahabat-sahabat Abu Hanifah, Asy-Syafi’I, Ahmad dan yang lain.”[54]
- Bagaimana jika muncul orang-orang yang berpaham Khawarij sedangkan dia tidak keluar dari imam
Jika ada suatu kelompok yang mempunyai paham Khawarij, seperti vonis kafir bagi pelaku dosa, keluar dari jamaah, dan menghalalkan darah dan harta kaum muslim. Namun mereka tidak keluar dari kepemimpinan imam dan tidak menumpahkan darah. Maka menurut Jumhur ulama mereka tidak di perangi dan hukum mereka dalam permasalahan jiwa dan harta seperti kaum muslimin.[55]
Di dalam kitab al-Fiqhu ala al-Madzahib al-Arba’ah disebutkan bahwa para ulama[56] berkata “apabila ada sekelompok golongan yang mempunyai ideologi bid’ah Khawarij yang mengkafirkan para pelaku dosa besar, mencela para pemimpin, dan tidak ikut hadir bersama mereka di dalam shalat Jum’at dan Jamaah. Maka mereka dibiarkan dan kami tidak mengkafirkan serta memerangi mereka, selama tidak keluar dari ketaatan kepada imam dan tidak memerangi seseorangpun”.[57]
Kesimpulan
Setelah mengkaji beberapa referensi dan pendapat para ulama, maka penulis berkesimpulan bahwa Khawarij dan Bughat merupakan dua lafadz yang berbeda maknanya, bahkan para ulama membedakan keduanya di dalam tinjauan hukum syar’i. Salah satu perbedaan mendasar keduanya adalah Khawarij merupakan kelompok sesat dan hal itu telah disepakati oleh para ulama, sedangkan Bughat mereka merupakan golongan orang-orang mukmin, hanya saja mereka keluar dari imam yang sah. Selain hal ini masih banyak lagi perbedaan-perbedaan antara keduanya, sebagaimana yang telah penulis tulis dalam makalah ini. Wallahu a’lam Bishawab
BACA JUGA;
MENGGABUNGKAN ANTARA HADITS, ISLAM DATANG DALAM KONDISI ASING DENGAN HADITS, DAKWAH ISLAM AKAN MENYEBAR DI SELURUH PENJURU DUNIA
[1] HR. Ibnu Majah (3983) dan Ahmad (12022)
[2] At-Thahir Ahmad az-Zaawi, Tartibu al-Qomus al-Muhith, (Riyadh, Daar ‘Aalim al-Kutub, 1417 H/1996 M), Juz.2 Hal.32
[3] Dr. Ruhi al-Baalbaki, al-Maurid, (Beirut, Daar al-Ilmi Lilmalayin, 2007), Hal.507
[4] Ibrahim Musthafa, Mu’jamul wasit, (Maktabah Syamilah), Juz. 1 Hal. 224
[5] Abi Hasan al-Asy’ari, Maqoolat al-Islamiyin, (Beirut, Daar Ihya at-Turats al-Arabi), Hal.127
[6] Abu Muhammad bin Hazm ad-Dzahiri, Al-Faslu fil Milal wal Ahwa wan Nihal, (Mesir, Maktabah al-Khaanaji), Juz. 2 Hal.113
[7] Abu Bakar Ahmad as-Syahrastaani, al-Milal wa an-Nihal, Tahqiq: Muhammad Sayyid Kilani, (Beirut, Daar al-Ma’rifah, 1404 H), Juz.1 Hal.113
[8] Ibnu Hajar al-Asqalani, Huda as-Saari fi Muqaddimah Fathul Baari, (al-Maktabah as-Salafiyah), Hal. 359
[9] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, (Matba’ah as-Salafiyah, cet: 2, 1310 H), Juz.2 Hal.283
[10] Nashir al-Aqli, Al-Khawarij, (Riyadh, Daar al-Wathan, Cet: 1, 1416 H), Juz.28
[11] Muhammad as-Shalabi, Fikru al-Khawarij wa as-Syiah, (Muassasah Iqra’, Cet: 1, 2007 M), Hal.38-42
[12] Ibrahim Musthafa, Mu’jamul wasit, (Maktabah Syamilah), Juz.1 Hal.65
[13] Muhammad bin Mukrim bin Madzur al-Afriqi al-Mishri, Lisanul Arab, (Beirut, Daar Shaadir, Cet: 1), Juz.14 Hal. 75
[14] Dr. Sa’di Abu Habib, al-Qaamus al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan, (Damaskus, Daar al-Fikri, Cet: 2, 1408 H/1988 M), Juz.1 Hal.40
[15] ibid
[16] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, (Beirut, Daar al-Fikri 1405 H) Juz.10 Hal.46
[17] Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut, Daar al-Fikri, 2008), Juz.6 Hal.91
[18] Ibid
[19] Muhammad bin Yusuf bin Abi al-Qasim al-Abdari, at-Taaju wa al-Ikliil li Mukhtashar Khalil, (Beirut, Daar al-Fikri, 1398 H), Juz.6 Hal.276
[20] Muhammad bin al-Khatib as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut, Daar al-Fikr), Juz.4 Hal.123
[21] Ta’wil terhadap sesuatu yang masih Muhtamal (multi tafsir)
[22] Ahmad bin Musa Abu an-Naja al-Hijawi, al-Iqna’, Tahqiq: Abdul Latif Muhammad Musa as-Subki, (Beirut, Daar al-Ma’rifah), Juz.4 Hal.293
[23] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf an-Nanawi, al-Majmu’ Syarhu al-Muhaddzab, (Beirut, Daar al-Fikri), Juz.19 Hal.197-198
[24] Fikrul al-Khawarij wa as-Syiah, Hal.56-64
[25] Ibnu Taimiyah berkata “فَإِنَّ الْأُمَّةَ مُتَّفِقُونَ عَلَى ذَمِّ الْخَوَارِجِ وَتَضْلِيلِهِمْ وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي تَكْفِيرِهِمْ” (Majmu’ Fatawa: Juz.28 Hal.518)
[26] Muhammad as-Shalabi, Fikru al-Khawarij wa as-Syiah, (Muassasah Iqra’, Cet: 1, 2007 M), Hal.43
[27] Muhammad as-Syaukani, Fathu al-Qadir, (Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H), Juz.1 Hal.134
[28] Abdurrahman bin Nashir Alu Sa’di, Tafsir as-Sa’di, (Beirut, Daar Ihya at-Turats al-Arabi, 1999 M), Hal.57
[29] Maqolat al-Islamiyin. Hal. 125
[30] Taqiyudin Ahmad bin Taimiyah al-Harani, Majmu’ al-Fatawa, Tahqiq: Anwar al-baaz dan A’mir al-Jazar, (Daar al-Wafa’, 1426 H/2005 M), Juz.13 Hal.358
[31] Syaikh Mufid menyebutkan bahwa Mu’tazilah, Khawarij dan Zaidiyah sepakat dalam I’tiqad ini, yaitu kemampuan akal mengetahui kewajiban syariat tanpa as-Sam’u (lihat al-Khawarij tulisan Ghalib bin Ali Ahji, Hal.228)
[32] Imam Nawawi berkata “kelompok Bid’ah dari golongan Mu’tazilah, Khawarij dan sebagian Murjiah menganggap bahwa Allah swt tidak bisa dilihat oleh makhluk-Nya seorangpun, dan melihatnya adalah sesuatu yang mustahil secara akal”. (Syarhu an-Nawawi, Juz.3 Hal. 15)
[33] Kelompok Khawarij Ibadiyah, lihat. Maqolat al-Islamiyin, Hal.124
[34] Yakni sekte Khawarij Maimuniyah lihat Maqolat al-Islamiyin, Hal.93
[35] Fikru al-Khawarij wa as-Syiah, Hal.47
[36] Thahir bin Muhammad al-Baghdadi Abu Manshur, al-Firaq Baina al-Firaq, (Beirut, Daar al-Afaq al-Jadidah, Cet: 2, 1997), Juz.1 Hal.55
[37] Muhammad bin Musa bin Imran al-Umrani, al-Bayan, (Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423 H/2002 M), Juz. 12 Hal.8
[38] Al-Mughni, Juz.10 Hal.46
[39] al-Iqna, Juz.4 Hal.293
[40] Majmu’ al-Fatawa, Juz.35 Hal.57
[41] Aburrahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1410 H/1990 M), Juz.5 Hal.368
[42] Abdullah bin Qudamah al-Maqdisi, al-Kaafi, Tahqiq: Zuhair as-Syawis, (Beirut, Maktabah al-Islami, 1308 H), Juz.4 Hal.147
[43] Amanullah Muhammad Shadiq, Ahkamul Bughah fi as-Syariah al-Islamiyah, Hal. 215
[44] Majmu’ al-Fatawa, Juz.35 Hal.57
[45] HR. Bukhari (3095)
[46] Al-Mughni, Juz.10 Hal.46
[47] Majmu’ Fatawa, Juz.35 Hal.57
[48] ibid
[49] Rasyid bin Muhammad al-Hiza’, Ahkamul Bughah, (Jeddah, Daar al-‘Amir, Cet:2), Hal.50
[50] Al-Fiqhu ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz.5 Hal.370-371
[51] ibid
[52] Ahmad bin Abu Shal as-Sarkhasi al-Hanafi, al-Mabsut, (Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet:3, 2009 H), Juz.10 Hal.134
[53] Al-Mughni, Juz.10 Hal.64
[54] Majmu’ al-Fatawa, Juz.35 Hal.53
[55] Al-Mughni, Juz.10 Hal.55
[56] Empat imam madzab
[57] Al-Fiqhu ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz.5 Hal.368-369