Setiap memasuki bulan Dzulhijjah, kita selalu diingatkan dengan kisah mulia wanita Istimewa sepanjang lintas sejarah manusia. Beliau adalah Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim ‘alahi sallam, Siti Hajar berasal dari Mesir atau Qibthi, suku mulia yang kelak akan mengeluarkan banyak tokoh ummat ini.
Lafadz Qibthi sendiri berarti tempat tinggal yang sekitar sungai Nil, asal katanya berasal dari Bahasa Yunani Aiyuttios, bermakna Mesir. Orang Qibthi bukan penganut Nashrani sebagaimana yang disangka oleh banyak orang, mayoritas mereka adalah menganut agama Islam.
Dari bumi inilah Ibunda Hajar lahir, sebelum dinikahi oleh Nabi Ibrahim beliau adalah pembantu di Mesir zaman Raja Heksos. Dari rahim beliaulah Nabi Ismail lahir. Kelak keturunan Ismail menjadi Bangsa Arab klan Adnaniyah (Arab Musta’ribah), dari keturunan ini pula lahir manusia paling mulia, Nabi Muhamamd salallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bisa dikatakan Mesir adalah leluhur Bangsa Arab.
Meskipun Ibunda Hajar telah meninggal seratus tahun jauh sebelum Rasulullah lahir akan tetapi beliau memiliki kesamaan dalam Aqidah dan agama, yakni Islam. Agama yang menyeru para Nabi untuk mentauhidkan Allah.
Dari seluruh rangkaian kisah Nabi Ibrahim dan Ibuda Hajar yang terpenting dari semuanya adalah kisah tentang ketegaran beliau. Sebuah kisah masyhur yang kelak menjadi inspirasi abadi sepanjang masa.
Suatu hari Nabi Ibrahim alaihi sallam mengajak istrinya, Ibunda Hajar dan bayi mungilnya Ismail untuk melakukan safar dari Palestina menuju sebuah padang tandus nan gersang di daerah Hijaz di dekat dataran tinggi Faran.
Namun begitu sampai disana Allah menguji beliau dengan memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkannya bayi mungilnya di tempat itu, sementara itu suaminya, Nabi Ibrahim kembali pulang ke Palestina. Sebuah peristiwa yang pasti tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Hajar.
Dalam kebingungan Siti Hajar bertanya kepada suaminya, “ Allahkah yang perintahkan ini semua?,”, Nabi Ibrahim menganggukan kepalanya tanpa mengatakan apapun. Melihat dan mendengar itu semua, dengan sepenuh keyakinan Ibunda Hajar berkata, “ Kalau begitu, Allah tidak akan mungkin menyia-nyiakan kami”. Sebuah jawaban yang agung yang kemudian hari menjadi sebab terabadikannya kisah beliau dalam sejarah.
Sebuah jawaban dan sikap yang sejatinya merupakan syarat tercapainya sebuah kemenangan, jika kita bawa ke milieu yang lebih luas. Karena mencakup dua hal, iman atau keyakinan yang dikuti dengan perbuatan tanpa memperdulikan resiko yang datang belakangan.
Syaikh Jihad at-Turbani dalam tulisannya, Mi’atu min ‘udzama’i ummatul Islam ghairu majra at-Tarikh, mengatakan: “Kalau kita perhatikan, dua syarat rahasia yang menjadi kemenangan semuanya ada pada beliau, pertama Iman dan yang kedua Amal ” (Hal. 25)
Siti Hajar ketika ditinggalkan ditempat itu atas perintah Allah yakin seyakinnya Allah akan menolong dirinya, bagaimana bentuknya, entahlah itu urusan belakangan, yang penting usaha dahulu. Kemudian tahap selanjutnya beliau melakukan ikhtiar maksimal berlari dari Shafa dan Marwa, bolak-balik tujuh kali hanya demi mencari seteguk air untuk bayi Ismail yang menangis karena kehausan dan kelaparan.Saat semua daya dan upaya telah maksimal dikerahkan, tak ada lagi yang mampu dilakukan selain pasrah. Allah Maha Tahu atas segala sesuatu, atas usaha itu Allah menilai Siti Hajar berhak untuk mendapatkan pertolongan yang diyakininya sejak awal.
Tanpa disangka memancarlah mata air dari bawah telapak kaki Ismail, Mata Air Zam-zam bukti mukjizat yang sampai hari ini masih kita bisa nikmati dan masih ada wujudnya. Setelah itu keajaiban demi keajaiban menyertai kehidupan Siti Hajar dan anaknya, Ismail.
Hari ini, kata Syaikh Jihad at-Turbani, wajib bagi setiap muslim untuk membayangkan posisi diri kita sebagaimana posisi Ibunda Hajar saat itu, dan bayi kecil yang menangis karena haus dan lapar adalah ummat Islam. Dengan keyakinan dan ikhtiyar kita, kita semua berkewajiban untuk mengurus dan mengayomi ummat ini.
Membangkitkan dari kelalaian dan tidur panjang mereka. Meski apa yang kita lakukan seolah sia-sia tak ada hasil konkritnya, yakinlah bahwa saat semua daya dan upaya sudah maksimal dilakukan pertolongan Allah akan datang dari arah yang kita semua tidak pernah menyangkanya, alla inna nashrallahi qoriib. Wallahu a’lam bis shawab.
(Ibnu Abdullah)