Pada bulan ramadhan ada kebiasaan yang sudah begitu membudaya di masyarakat kita yaitu mengumandangkan imsak menjelang shalat subuh sebagai pertanda berakhirnya waktu sahur. Pada zaman Ibnu Hajar al-Atsqalani, ada bentuk lain dari imsak, yaitu memadamkan lampu sebagai pertanda haramnya meneruskan makan dan minum bagi siapa yang ingin berpuasa pada keesokan harinya. Benarkah kebiasaan ini jika ditinjau dari sisi syar’i?
Makna Imsak
Imsak secara bahasa berarti menahan. Inti dari puasa adalah imsak ini, yaitu menahan dari makan, minum dan melakukan hubungan seksual, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Jadi batasan bagi seorang yang mau melaksanakan shaum harus imsak (menahan diri) dari makan dan minum dan hal-hal lain yang bisa membatalkannya adalah terbitnya fajar bukan adzan. Sebagaimana jumhur ulama dari 4 imam madzhab dan ulama yang lainnya telah sepakat bahwa waktu imsak bagi orang yang mau melaksanakan shaum adalah jika telah terbit fajar shadiq.
Shaum adalah ibadah mahdhah, artinya ibadah khusus yang berdimensi vertikal, sehingga aturannya harus diambil dari aturan syara’. Tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat aturan sendiri keluar dari aturan syara’. Aturan yang tidak berasal dari syara’ secara otomatis tertolak.
Yang termasuk ke dalam ketentuan ini adalah batas kapan mulai menahan dari makan dan minum serta kapan berakhirnya. Allah swt berfirman:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“ Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al Baqarah : 187)
Ketika ayat diatas turun, para sahabat Nabi saw sengaja mengambil tali hitam dan tali putih dan meletakkannya dibawah bantal mereka, atau salah seorang mereka mengikatkan tali itu di kakinya, dan dia masih tetap makan dan minum sehingga terlihat jelas olehnya perbedaan warna kedua tali tersebut.
Dari Adi bin Hatim ra. berkata, “Ketika turun ayat, “Hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. “ Aku mengambil tali hitam dan tali putih lalu meletakkannya di bawah bantalku, kemudian aku melihatnya pada malam hari dan keduanya tidak tampak olehku. Selanjutnya aku berangkat menemui Rasulullah saw dan menceritakan kejadian itu. Maka beliau saw bersabda, “Yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang. “ (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Berdasarkan ayat di atas maka difahami bahwa batas akhir waktu sahur adalah terbit fajar. Yang dimaksud fajar disini adalah fajar shadiq yaitu warna merah yang naik dan muncul di puncak gunung, gang-gang dan rumah-rumah. Inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat. Bukan fajar kadzib yaitu warna putih panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala, pada waktu itu shalat subuh tidak sah dilakukan dan masih diperbolehkan makan dan minum bagi yang ingin mengerjakan shiyam. Sebagaimana hal ini dijelaskan di dalam hadits nabi saw berikut ini:
“Makan dan minumlah, janganlah kalian tertipu oleh pancaran sinar putih yang naik. Makan dan minumlah sehingga nampak oleh kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Huzaimah)
Juga berdasarkan hadits dari Aisyah ra, bahwa Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, maka Nabi saw bersabda:
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.” Perawi berkata, “Ibnu Ummui Maktum adalah seorang sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan adzan (shubuh) hingga ada orang yang mengatakan kepadanya, ‘Sudah shubuh, sudah shubuh’.” (HR Bukhari)
Adapun pengumandangan Imsak saat ini yang dilakukan kira-kira 10 menit sebelum terbitnya fajar, maka kebiasaan itu telah melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan dikumandangkan Imsak maka telah membatasi kaum muslimin dari melanjutkan sahurnya, padahal secara syara’ masih ada waktu untuk sahur. Karena itulah tradisi itu tidak diajarkan oleh Rasulullah saw dan tidak sesuai dengan dalil-dalil syara’ sehingga bisa dikategorikan ke dalam bid’ah yang dilarang oleh Rasulullah saw.
Adapun alasan imsak itu untuk kehati-hatian, maka alasan itu tidak bisa diterima mengingat Rasulullah memberikan ketentuan demikian. Apakah bisa difahami Rasululah mengajarkan tindakan tidak hati-hati? Allahu a’lam bish-shawab
sumber: Majalah YDSUI