Kaidah Asasi Perbaikan Hidup
Oleh Muhammad Faishal Fadhli
Tidak semangat dalam beribadah, kehilangan arah, bingung ke mana harus melangkah, trauma akan masa lalu, takut menghadapi masa depan.
Semua masalah ini menjadikan hidup terasa kusut tidak karuan. Carut marut mengganggu pikiran. Alih-alih mendapat kebahagiaan, yang dirasa justru kehampaan.
Maka istilah-istilah psikologi seperti; ‘anxiety’, ‘mental disorder’, ‘bipolar’ dan sebagainya, kian populer dan kerap dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah cukup banyak solusi dan langkah praktis yang ditawarkan oleh para ahli untuk menghadapi masalah ini, seperti memperbanyak olahraga, traveling, memelihara hewan, mencari motivator, dan semacamnya.
Semua saran itu bagus. Hanya saja tidak menjamin datangnya ketenangan dan kebahagiaan hakiki. Sebab perubahan positif yang didambakan harus diawali dengan basis keilmuan yang kokoh.
Berikut ini kaidah asasi untuk menata kembali hidup yang hancur berantakan.
Meluruskan Cara Pandang
Ada yang merasa bahagia karena bisa berbagi. Namun, ada pula yang merasa keberatan ketika dimintai pertolongan.
Ada yang merasa bahagia dengan hidup sederhana, jauh dari sorotan kamera dan perhatian publik. Sebaliknya, beberapa orang justru mengerahkan usaha semaksimal mungkin hanya demi popularitas.
Kenapa standar bahagia lebih dari satu versi dan bertolak belakang? Kira-kira, apa yang melatar belakangi perbedaan ini?
Jawabannya adalah karena ‘tashawwur’ (sudut pandang) yang berbeda. ‘Tashawwur’ inilah yang melahirkan niat dan ‘iradah’ (keinginan). Apabila iradah itu menguat, maka ia disebut ‘himmah ‘aliyah’ (cita-cita yang tinggi).
Jika himmah itu dirawat dengan baik, ia akan mengkristal menjadi ‘azzam’ (tekad yang bulat). Azzam inilah yang menggerakkan seluruh anggota tubuh untuk menghasilkan tindakan.
Ketika tindakan itu diulang selama bertahun-tahun maka akan menjadi kebiasaan. Akhirnya, kebiasaan itulah yang membentuk jati diri dan kepribadian seseorang.
Orang yang memiliki tashawwur bahwa hidup ini hanya sekali dan harus dinikmati, akan cenderung menghabiskan seluruh jatah umurnya untuk bekerja, mendapat uang, foya-foya, dan yang dikejarnya hanya kesenangan semu.
Dari hari Senin sampai Jum’at, banting tulang demi uang. Begitu dapat, dihabiskan dalam waktu yang sangat singkat, Sabtu-Ahad. Akibatnya, jika ada uang langsung habis.
Jika tak ada uang, banyak mengeluh. Ujung-ujungnya, stres. Hidup kerdil untuk diri sendiri dan tak ada nilainya.
Berbeda halnya dengan tashawwur seorang mukmin sejati yang mengimani konsep hisab dan hari pembalasan di akhirat kelak.
Setiap tindakannya diniatkan untuk mencari ridha Allah, diazamkan untuk menebar manfaat, dan merasa bahagia ketika bisa berkhidmat untuk umat.
Dari sinilah perbaikan hidup dimulai. Ketika seseorang mempunyai tashawwur yang benar dalam memandang segala sesuatu.
Konsepsi tentang bahagia, kerja, harta, pernikahan, dan hal-hal krusial lainnya dalam kehidupan, dikembalikan kepada bimbingan wahyu.
Memastikan Kehalalan Harta
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa akan datang suatu zaman; manusia ketika itu, tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta; entah itu dari transaksi yang halal, atau dari sesuatu yang haram.
Hadits ini menjadi pelecut untuk mempelajari fikih muamalah. Karena ilmu itu penting untuk dimiliki, sebelum mengeluarkan perkataan dan perbuatan. Al-‘ilmu qabla al-qaul wa al-‘amal.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallama juga mewanti-wanti dengan sangat keras, “Daging yang tumbuh dari harta haram, maka neraka lebih pantas untuknya.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kehalalan harta adalah harga mati bagi seorang muslim.
Apa pun itu. Mulai dari pakaian, tempat tinggal, perabotan rumah tangga, kendaraan, makanan, minuman, dan sebagainya. Semua harus betul-betul dipastikan berasal dari keringat yang halal.
Sebab Allah adalah Dzat Yang Maha Baik. Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Sehingga meskipun seseorang rajin beribadah bahkan berhasil membangun masjid, akan tetapi shalat dan infaknya berasal dari cara yang kotor, tidak akan ada nilainya di sisi Allah.
Kenapa Islam begitu tegas menentang harta haram? Tidak lain karena harta yang halal dan thayyib adalah akar kebaikan.
Pemahaman terbaliknya, harta yang tidak halal, akan menjadikan seseorang yang mengonsumsinya, tidak bersemangat dalam menjalankan ketaatan, bermalas-malasan dalam menuntut ilmu, dan cenderung ingin selalu bermaksiat.
Yusuf bin Asbath membuat tamsilan yang menarik tentang hal ini, “Setan senior berkata kepada setan junior, ‘Kalau kalian melihat pemuda yang giat beribadah, jangan terlalu semangat untuk mengganggunya. Cobalah periksa dari mana ia mendapat makanan. Jika berasal dari harta haram, kamu tidak perlu repot-repot mengusiknya. Karena hanya masalah waktu, pemuda itu akan melakukan kemaksiatan.’” Wal ‘iyaadzu billah.
Oleh sebab itu, agar hidup menjadi lebih baik, pastikanlah tidak ada secuil pun barang haram masuk ke dalam perut. Karena semua yang kita konsumsi akan sangat mempengaruhi kualitas hidup yang kita jalani. Harta halal jaminan keberkahan. Harta haram menghancurkan kehidupan. Nas’alullaha al-‘afiyah.
Demikian dua hal yang menjadi kaidah asasi dalam upaya perbaikan hidup kita selaku orang beriman. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita menuju jalan yang diridhai-Nya.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.