Oleh: Tim Ulin-Nuha Ma’had ‘Aly An-Nuur
Ubadah bin Shamit ra mengatakan, “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, ‘Lailatul Qadar itu ada pada 10 akhir dari bulan Ramadhan. Barang siapa yang menghidupkannya dengan penuh pengharapan sungguh Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Dan dia adalah malam-malam yang ganjil, 9 akhir, 7 akhir, 5 akhir, atau 3 akhir di bulan Ramadhan.” [1]
Dari Anas, Rasulullah SAW bersabda, “Bersungguh-sungguhlah kalian pada malam itu, malam itu terjadi pada malam ke-23.”[2]
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya Lailatul Qadar itu ada pada malam ke-27.” [3]
Cara Mendapatkan Kebaikan Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang penuh berkah ini, siapa yang terhalang mendapatkannya berarti dia terhalang mendapatkan semua kebaikan. Dan tidak terhalang mendapatkan kebaikannya kecuali orang yang benar-benar merugi. Karena itulah dianjurkan kepada muslim yang benar-benar taat kepada Allah agar menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan didasari rasa keimanan dan penuh pengharapan terhadap pahala yang besar. Jika dia melakukan hal itu, niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Nabi bersabda, “Barang siapa yang mendirikan ibadah shalat pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[4]
Dianjurkan untuk memperbanyak doa pada malam itu. Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mendapati Lailatul Qadar, apa yang saya baca?’ Beliau bersabda, ‘Bacalah:
اللَّهُمَّ إِْنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai ampunan. Maka ampunilah aku.” [5]
Masih dari ‘Aisyah RA, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila memasuki sepuluh (malam terakhir di bulan Ramadhan), Nabi mengencangkan ikatan kainnya[6], menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya (istri-istrinya).”[7]
sumber: buku Fiqih Ramadhan; tim Ulin-Nuha Ma’had ‘Aly An-Nuur