Dalam perjalanan kehidupan di dunia ini, manusia menemukan berbagai macam rintangan. Tidak pandang bulu, seluruh orang mendapatkan ujiannya masing-masing, termasuk juga seorang mukmin. Bahkan semakin tinggi derajat keimanan seseorang di sisi Allah, semakin tinggi pula ujian yang dihadapinya. Ibarat tiang, semakin ia tinggi maka semakin kencang pula angin menerpanya.
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. al-Ankabut: 2).
Apa yang sebenarnya dicari manusia dalam hidup ini? Jawabannya hanya satu, kebahagiaan. Seluruh manusia; muda-tua, kaya-miskin, Muslim-kafir, sebenarnya hanya menginginkan kebahagiaan. Apa pun wujudnya, kebahagiaan bisa membuat seseorang merasa tenang. Bahkan, maaf, seorang non-Muslim sekalipun bisa merasakan bahagia meski mereka berada dalam kekafirannya.
Syukur Sumber Bahagia
Sayang sekali, hari ini banyak orang yang salah mendefinisikan arti bahagia dengan kepuasan. Padahal kepuasan erat kaitannya dengan ketamakan. Bila menuruti nafsu, manusia tak akan pernah puas dan tak akan bahagia dengan mencari kepuasan. Bahagia dan kepuasan, keduanya hanya terpisah oleh garis tipis namun sangat jelas bagi mereka yang bisa melihatnya. Garis itu adalah syukur. Dengan syukur, bahagia bisa dipahami secara sederhana. Mungkin kita pernah mendengar kisah seseorang yang buta, tuli, dan lumpuh, namun tak pernah mengeluh. Sebab ia bersyukur lisannya masih bisa mengucap zikir dan tahmid, Alhamdulillah.
Bersyukur atas ketetapan-ketetapan Allah adalah kebahagiaan tersendiri bagi seorang Mukmin. Jiwanya menjadi jauh dari rasa tamak dan rakus. Hatinya menjadi tenang karena ia tidak meragukan kebaikan dari takdir yang telah Allah berikan. Nikmat yang dimilikinya tidak ia gunakan selain untuk perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Demikian definisi syukur menurut Ibnu Qudamah, “Syukur adalah menggunakan nikmat yang Allah berikan pada hal-hal yang dicintai oleh-Nya.”
Dengan bersyukur, kepuasan bukanlah tujuan yang wajib dicari-cari. Setiap nikmat yang diberikan oleh Allah, ia pastikan hanya digunakan untuk hal-hal baik semata. Tidak ada rasa khawatir akan kehilangan, bahkan ia yakin nikmat itu akan terus bertambah seiring bertambahnya rasa syukur di dalam hatinya.
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7)
Gagal Faham Makna Bahagia
Selain ada pihak yang memaknai kebahagiaan dengan kepuasan, di sisi lain banyak pula orang yang -baik sadar atau tidak- mengaitkan bahagia dengan menyerah pasrah. Karena terpaksa oleh keadaan dan merasa sudah tak punya pilihan, akhirnya ia bergumam ‘nggak papa, syukuri saja apa yang ada.’
Esensi kalimat ini sebenarnya bagus, namun banyak orang tertipu karenanya. Alih-alih ingin mengungkapkan rasa syukur, namun sebenarnya justru menunjukkan sinyal kemalasan. Berapa banyak orang yang mengucapkan kalimat tersebut pada akhirnya enggan untuk berusaha lebih keras? Enggan untuk lebih giat lagi mencari solusi atas berbagai permasalahan hidup. Menyerah pada keadaan, seolah-olah seluruh peluang telah diambil orang lain. Apakah mereka lupa dengan rahmat yang Allah janjikan dalam firman-Nya?
يَٰبَنِيَّ ٱذۡهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَاْيَۡٔسُواْ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ لَا يَاْيَۡٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf: 87) .
Bila kepuasan dekat dengan ketamakan, maka pasrah (tanpa usaha) sebenarnya erat kaitannya dengan kemalasan. Kemalasan yang terus dituruti, berlarut-larut menjadi sebuah kebiasaan buruk, sehingga menjerumuskan pada kehinaan. Rasulullah saw. sangat mewanti-wanti umatnya akan hal ini.
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa suatu hari beliau membonceng Rasulullah saw. di atas keledai beliau; Ufair. Beliau kemudian bersabda, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas seorang hamba dan apa hak seorang hamba atas Allah?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas seorang hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Dan hak hamba atas Allah Azza wa Jalla adalah tidak mengazab mereka yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah aku kabarkan hal ini kepada manusia?” beliau bersabda, “Jangan engkau kabarkan, sebab mereka akan pasrah (tanpa berusaha).” (HR. Muslim)
Begitulah Rasulullah saw. Bukannya enggan mengabarkan kabar gembira itu kepada umatnya, beliau hanya khawatir mereka salah paham tentang arti tawakal dan justru terjebak dalam ittikal atau dalam istilah Jawa disebut ‘pasrah bongkokan’.
Seseorang yang hidup dalam kemalasan rawan terjerumus pada dis-orientasi hidup, kehilangan arah tujuan. Bagaimana mungkin orang seperti ini bisa merasakan kebahagiaan? Hidup di dunia adalah sebuah proses menuju kehidupan abadi di akhirat. Ladang untuk beramal yang buahnya akan dipetik pasca kiamat kelak.
Oleh karena itu, kebahagiaan yang sebenarnya di dunia ini adalah ketika seorang mukmin bisa menikmati proses tersebut. Menghayati betapa bahagianya bercocok tanam di ladang yang keberhasilan panennya telah dipastikan oleh Pemiliknya; yaitu Allah swt. Selama aturan-aturan-Nya dipatuhi dan berusaha untuk tidak melanggarnya. Meski sesekali ada hama yang berhasil merusak sebagian tanaman, selama kita bergegas mengatasinya, maka Allah akan memaafkan hal tersebut.
Kebahagiaan Hakiki
Semua manusia sebenarnya berpotensi untuk merasakan kebahagiaan. Tidak peduli dari kalangan mana ia berasal, bahkan tidak jarang kita mendengar seorang kafir yang tidak beriman kepada Allah Ta’ala namun hidupnya bahagia. Banyak perbuatan baik yang mereka kerjakan; harta yang dimilikinya disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tenaga dan pikirannya dicurahkan untuk membantu mereka yang kesusahan. Dan masih banyak lagi perbuatan mulia yang mereka kerjakan.
Akan tetapi, alangkah naifnya, seluruh amalan tersebut berhenti manfaatnya begitu maut menjemput, tidak bisa membawanya menuju kebahagiaan abadi di akhirat. Allah berfirman,
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)
Adapun seorang mukmin, amalan yang dikerjakannya bukan sekadar demi meraih kebahagiaan dunia semata. Ia juga memikirkan bagaimana cara memperoleh kebahagiaan akhirat.
Baginya kehidupan akhirat lebih penting dari sekedar kehidupan dunia yang sementara ini. Bahkan kesusahan-kesusahan selama hidup di dunia disikapinya dengan penuh kesabaran, sebab ia yakin akhirat yang dijanjikan Allah jauh lebih baik. Dan di akhiratlah kebahagiaan hakiki diperoleh.
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash: 77).
Wallahu a’lam bisshawab. (Fery/annursolo.com)
Baca Juga: Tingkat-Tingkat Keimanan