Tidaklah Allah Ta’ala bersumpah terhadap suatu perkara melainkan hal itu menunjukkan bahwa betapa penting dan sangat patutnya bagi kita sebagai hamba-Nya untuk memperhatikan perkara tersebut. Ada hikmah dan tujuan yang begitu besar di balik Allah menyandarkan sumpahnya kepada suatu perkara tersebut.
Allah telah bersumpah dengan berbagai macam halnya seperti dengan malaikatnya, dengan langitnya, dengan makhluk-makhluk ciptaannya di bumi, juga dengan waktu-waktu kehidupan yang terjadi di dalamnya.
Di dalam surat al-Ashr Allah Ta’ala telah bersumpah dengan waktu yang telah diciptakannya:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3).
Penjelasan Para Ahli Tafsir
Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya, lafal wal Ashr memiliki dua makna, yang pertama berarti masa atau waktu. Ibnu Abbas juga berpendapat demikian. Yang kedua sebagaimana yang dikemukakan oleh Qatadah adalah waktu akhir dari siang hari, dikatakan adalah waktu shalat Ashar, karena ia berada pada waktu pertengahan al-Wustha, yang memiliki keutamaan diantara waktu shalat lainnya. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an aw Tashir al-Qurthubi, 20/178).
Akan tetapi mayoritas ahlu ilmi menguatkan pendapat yang pertama bahwa maknanya adalah waktu atau masa. Hal itu menunjukkan bahwa sangat pentingnya bagi kita sebagai hamba-Nya untuk memperhatikan keadaan waktu yang telah Allah Ta’ala berikan. 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan, 30 hari dalam sebulan, dan 360 hari dalam setahun. Manusia hidup dalam kumpulan-kumpulan waktu yang telah diberikan kepadanya.
Dalam ayat berikutnya, Allah berfirman dengan lafal yang begitu menekankan dengan menggunakan huruf lam at-taukid, bahwa manusia berada dalam keadaan yang merugi. Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa manusia berada dalam keadaan yang merugi dan binasa. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, 8/480).
Sedangkan Imam al-Mawardi di dalam tafsirnya mengatakan bahwa makna dari keadaan manusia yang merugi ada empat macam. Pertama, manusia yang benar-benar dalam kebinasaan, ini merupakan pendapatnya As-Sadi. Kedua, manusia yang benar-benar dalam keadaan yang merugi. Ini adalah pendapatnya Zaid bin Aslam.
Ketiga, pendapatnya Ibnu Syajrah bahwa manusia benar-benar dalam keadaan kekurangan. Dan keempat manusia benar-benar berada dalam ancaman hukuman dari Allah Ta’ala sebagaimana Firman-Nya dalam surat ath-Thalaq ayat 9. (Tafsir al-Mawardi, 6/323-333).
Kenikmatan yang Terlupakan
Sejenak merenungkan, bahwa Allah Ta’ala telah memberitahukan kepada manusia sekalian bahwa mereka benar-benar berada dalam ancaman Allah. Apalah daya seseorang yang telah berada dalam keadaan merugi, binasa, kekurangan dan akan mendapatkan hukuman dari sang Pencipta.
Dengan nikmat waktu yang telah Allah karuniakan kepada manusia, seringkali terlupa dan lalai dari tugas pokoknya menjadi seorang hamba. Terhambur habis waktunya, terserak tak jelas waktunya untuk apa dan bagaimana dihabiskan nikmat waktu yang telah Allah berikan kepadanya. Sebagaimana sabda Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua Nikmat yang seringkali kebanyakan manusia melupakannya, kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari: 6412).
Waktu luang yang telah Allah berikan kepada seorang hamba jikalau tidak disibukkan untuk perkara kebaikan dalam konteks keakhiratan, otomatis ia akan tersibukkan dalam pekerjaan amal yang cenderung berada dalam pusara keburukkan yang menjerumuskan dan membinasakan. Nas’alullaha al-afiyah.
Jika Telah Pergi, Takan Kembali
Allah hendak mengingatkan kepada hamba-Nya melalui surat ini, untuk kembali lebih meperhatikan dengan baik-baik nikmat waktu yang telah Allah karuniakan kepadanya. Karena ketika waktu telah berlalu tidak sedikit pun apa yang telah hilang darinya itu dapat untuk dikembalikan lagi. Maknanya seseorang benar-benar berada dalam keadaan yang merugi jika menyia-nyiakan waktu yang dimilikinya.
Betapa tidak, manusia yang tercipta dengan hawa nafsu yang berada di dalam jiwanya, sedangkan ia tidak memiliki tali pengikat untuknya berupa keimanan dan ilmu agama Allah. Tentu hawa nafsu akan sangat mudah menguasai dan mengendalikan raga serta jiwa orang tersebut, mengalahkan akal dan menutupi hati.
Hawa nafsu yang senantiasa membujuk kepada perkara keburukan yang pada akhirnya membawa manusia berada dalam ancaman Allah yang nyata karena waktu yang dimilikinya tidak terasa telah mencapai batas maksimal. Sedangkan ia harus mempertanggungjawabkan apa yang pernah dilaluinya dalam rentang waktu yang pernah ia miliki semasa hidupnya.
Agar Tak Merugi
Akan tetapi, betapa kasih sayangnya Allah Ta’ala kepada hamba Nya, Allah mengeksepsi manusia dari keadaannya yang merugi pada empat macam keadaan. Sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah selanjutnya pada surat al-Ashr ayat 3, “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”
Namun, sejatinya keempat hal tersebut adalah suatu hal yang saling memiliki keterkaitan. Maknanya, ketika seorang tadi hanya menjadi bagian dari salah satu dari keempat macam eksepsi tersebut, ia belum tentu benar-benar selamat dari ancaman Allah tersebut.
Pangkalnya berupa keimanan, kemudian bercabang dengan amal perbuatan yang baik dan disempurnakan dengan saling menasihati kepada sesama untuk tetap berpegang teguh pada kebaikan dan menasihati pada perkara kesabaran.
Imam Al-Baidhawi menafsirkan ayat tersebut, mereka yang terkecualikan dari ancaman Allah Ta’ala adalah yang membeli akhiratnya dengan dunia yang dimiliknya. Dan menasihati untuk tetap teguh pada kebaikan atau kebenaran dengan tidak mengingkari dalam hal keyakinan dan perbuatan, kemudian yang menasihati dalam perkara kesabaran untuk tidak berbuat maksiat maupun ketika melakukan sebuah amal ketaatan, ataupun ketika Allah tengah mengujinya dengan perkara yang tidak disukai. (Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, 5/336).
Semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada jalan yang diridhainya, mengingatkan kita di saat lupa, menegur kita di saat salah dan menguatkan kita di saat kita telah berada pada jalan yang seharusnya kita tempuh agar tidak tergelincir. Aamiin. (Nuryadi/ annursolo.com)
Baca Juga: Kebahagiaan Hakiki