Kepemimpinan atau imarah memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam Islam. Kebutuhan terhadapnya bersifat mendesak guna menciptakan masyarakat yang tertib dan teratur. Hal ini karena kepemimpinan memiliki pengaruh besar terhadap eksistensi suatu tatanan masyarakat tertentu. Terlebih di dalam sistem pemerintahan Islam. Di dalam Islam, jangankan hal yang besar seperti urusan kepemimpinan, etika buang hajat pun di atur di dalam aturan din yang sempurna ini.
Islam sangat memperhatikan urusan kepemimpinan ini. Bahkan, didahulukan sebelum mengurus jenazah manusia paling mulia sepanjang masa. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita teringat, bagaimana para shahabat ridwanullahi ‘alaihim lebih mendahulukan urusan imarah dari pada mengurus jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika itu, orang-orang Anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk menunjuk salah seorang dari mereka untuk menjadi pemimpin menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mendengar hal tersebut, Umar bin Khattab dan shahabat yang lain bergegas menemui mereka untuk mencegah terjadinya fitnah. Singkat cerita, naiklah Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi pemimpin bagi kaum muslimin.
Padahal, waktu itu merupakan hari berpulangnya Rasullullah shallallahu ‘alahi wa sallam, manusia yang paling dicintai oleh para sahabat dan kaum muslimin. Jika dilihat secara logika, harusnya para shahabat akan lebih dahulu mengkremasi jasad beliau sebagai bentuk penghormatan terakhir dari pada sibuk merespon apa yang dilakukan oleh kaum Anshar di Tsaqifah Bani Sa’idah tersebut. Tapi yang terjadi tidak demikian, mereka sangat paham tentang urgensi sebuah imarah dan pengaruhnya bagi kehidupan bermasyarakat, terkhusus kehidupan kaum muslimin setelah mangkatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke Rafiqil A’la.
Mereka sangat memahami makna dari sabda yang disampaikan kekasih mereka, ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدُكُمْ
“Apabila ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya kalian menunjuk salah seorang di antara kalian sebagai pemimpin”. (HR. Abu Dawud no. 2609).
Ketika kita membaca hadis tersebut, secara langsung pikiran kita akan menyimpulkan bahwa safar yang dilakukan oleh tiga orang saja membutuhkan seorang amir untuk memimpin rombongan tersebut selama perjalanan. Apalagi, jika yang ada adalah sekumpulan manusia yang hidup bermasyarakat dan berjumlah banyak, maka akan lebih membutuhkan adanya sebuah imarah atau kepemimpinan.
Demikianlah urgensi kepemimpinan yang dipahami oleh para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim. Mereka benar-benar mengerti bahwa kepemimpinan menduduki posisi yang sangat penting dan serius. Mereka sadar dengan adanya kepemimpinan, menjadikan aqidah mereka akan terus terjaga. Dengan kepemimpinan, jiwa kaum muslimin akan senantiasa terlindungi. Serta dengan kepemimpinan, perpecahan dan fitnah yang lebih besar akan lebih mudah dihindari.
Apa itu Ruwaibidhah?
14 abad berlalu tanpa terasa. Itu artinya dunia ini semakin bertambah usia dan tidak banyak lagi sisa umurnya. Semenjak era kepemimpinan Islam terakhir runtuh 1924 M silam, muncul berbagai macam bentuk kepemimpinan yang berbeda-beda namun tetap dalam satu muara, yaitu muncul pemimpin bodoh yang memegang urusan ummat. Ruwaibidhah. Bahkan, yang menjadikan hati terisis pedih adalah orang-orang model seperti inilah yang menjadi ‘waliul amr’, orang yang memegang urusan-urusan kaum muslimin di berbagai belahan dunia.
Berbicara mengenai Ruwaibidhah, pernah suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah Ruwaibidhah tersebut. Beliau bersabda,
الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ العَامَةِ
“Mereka adalah orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah no. 4036).
Ciri yang menonjol dalam diri mereka adalah tidak adanya kapabilitas dalam memimpin masyarakat. Jabatan mereka buru hanya karena menuruti hawa nafsu yang bergelora dalam hati mereka. Keinginan yang hendak mereka capai hanyalah meraih kedudukan, posisi, dan kursi jabatan dan kemudian berbuat sesuka hati memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki. Sehingga, dalam hal memimpin dan mengatur urusan ummat, mereka hanya bertindak sesuai dengan kepentingan yang menghasilkan keuntungan duniawi bagi mereka. Bukan dilandasi kesiapan untuk memimpin.
Inilah salah satu dari 6 perkara yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah akan menimpa ummatnya. Beliau bersabda,
أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتٌا : إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ
“Aku menghawatirkan 6 perkara yang akan menimpa kalian : imaratus sufaha’ (kepemimpinan orang yang bodoh) …. (HR. Ahmad no. 23970 dan Ath-Thabrani 18/57 ).
Didalam riwayat lain Rasulullah menjelaskan apa yang dimaksud dengan imaratus sufaha’. Berliau bersabda,
أُمَرَاءُ سَيَكُوْنُوْنَ بَعْدِي, لَا يَقْتَدُوْنَ بِهَدْيِي, وَلَا يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي
“Mereka adalah para pemimpin yang akan datang setelahku, tapi mereka tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula mengikuti sunnahku.” (HR. Ahmad no. 14441).
Betapa banyak negeri-negeri sekarang yang penduduknya terdhalimi gara-gara pemimpin bodoh semacam ini. Padahal kebanyakan mereka adalah muslim, tapi dengan begitu aneh menjadikan Barat sebagai kiblat mereka. Amnesia menjadikan mereka lupa terhadap sejarah emas kepemimpinan yang telah sukses mengatur kehidupan manusia dengan keadilan sehingga kesejahteraan dirasa oleh semua orang. Bahkan, konon seekor serigala sudah tidak ‘doyan’ memakan domba karena saking besarnya pengaruh keadilan para pemimpin saat itu. Dengan berkiblat ke Barat, tidaklah mengherankan jika sistem yang mereka terapkan adalah sistem sekuler. Sistem yang memisahkan setiap urusan agama dengan kepengurusan negara dan kepemimpinan.
Ketika mereka tidak peduli dengan mengesampingkan hukum Allah serta sunnah Rasul-Nya, kemudian memakai hukum selainnya, maka yang terjadi adalah kedhaliman dan kerusakan di mana-mana. Sudah banyak bukti dan contohnya. Kasus suap dan korupsi semakin menjadi dan tak terkendali. Walaupun lembaga-lembaga anti korupsi didirikan, toh pada akhirnya mereka juga yang terjerat kasus korupsi. Hal ini akan berakibat pada permasalahan kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan. Krisis akhlak dan adab begitu memprihatinkan. Serta masih banyak kerusakan-kerusakan lain akibat dari kepemimpinan si Ruwaibidhah ini. Benarlah jika sebuah pepatah mengatakan, “Ketika pemimpin sebuah negeri telah rusak, maka rakyatnya pun akan ikut menjadi rusak”.
Umur dunia memang sudah berada di penguhujungnya. Fakta hari ini cukup menjadi bukti kebenaran risalah Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam ketika Beliau bersabda,
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْمَنُ فِيْهَا الخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, penghianat dipercaya sedangkan orang yang jujur malah didustakan, penghianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai penghianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara. (HR. Ibnu Majah no. 4036).
Berilmu, Syarat Mutlak Seorang Pemimpin
Para pendahulu kita sebenarnya telah memberikan contoh bagaimana memimpin masyarakat yang baik. Sejarah telah mencatat kesuksesan mereka dalam membina ummat. Sebut saja Umar bin Khattab. Khalifah ke dua Islam ini menjadi contoh nyata dalam urusan kepemimpinan dan keadilan. Bertanggung jawab dalam memikul amanah ummat. Merasa bahkan khawatir jika dengan kepemimpinannya justru berbuat dhalim kepada orang-orang yang dipimpinnya. Tidak berambisi untuk meraih kekuasaan, namun amanah ketika diberi kedudukan. Yang jelas, shahabat yang bergelar Amirul Mu’minin ini telah memberikan keteladanan yang besar bagi para pemimpin pada masa itu ataupun masa setelahnya.
Keberhasilan yang diperoleh Umar bin Khattab dalam kepemimpinan tak lain adalah karena kecerdasan beliau mengambil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman dalam memimpin. Telah maklum bahwa beliau adalah orang yang sangat memahami dua sumber hukum tersebut, sehingga sempat terucap suatu perkataan yang sangat penting dan menarik dari lisan beliau,
تَفَقَّهُوْا قَبْلَ أَنْ تَسُوْدُوْا
“Pahamilah agama sebelum memimpin manusia.” (Shahih Al-Bukhari dan Sunan Ad-Darimi no. 256).
Pemahaman terhadap agama menjadi prioritas utama dan harus dipelajari oleh seorang pemimpin. Dengan memiliki ilmu agama, ia dapat memimpin umat dengan baik dan amanah. Dengan ilmu, para pemimpin memperlakukan rakyatnya layaknya manusia yang merdeka, bukan sebagai budak yang diperas keringatnya untuk memenuhi keinginan dan ambisi syahwat penguasa. Dengan ilmu, para pemimpin mengelola sumber daya manusia ataupun kekayaan alam untuk kesejahteraan dan memberantas kemiskinan. Sehingga, dengan pemimpin yang berilmu sebuah negeri akan tercipta dan layak disematkan padanya label baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Wallahu a’lam. [Yanuar]
BACA JUGA: Sosial Media, Era Baru Dakwah Millenial