Dalam surat Al-Qashash, Allah ﷻ menceritakan sebuah kisah yang menunjukkan tingginya akhlak dan kemuliaan dari Nabi Musa dan dua wanita Madyan.
وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدۡيَنَ وَجَدَ عَلَيۡهِ أُمَّةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسۡقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمۡرَأَتَيۡنِ تَذُودَانِۖ قَالَ مَا خَطۡبُكُمَاۖ قَالَتَا لَا نَسۡقِي حَتَّىٰ يُصۡدِرَ ٱلرِّعَآءُۖ وَأَبُونَا شَيۡخٞ كَبِيرٞ
“Tatkala Musa sampai di sebuah sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekelompok orang yang sedang memberi minum ternak mereka. Dan dia mendapati di belakang mereka dua wanita yang sedang berusaha menghambat ternak mereka (supaya tidak maju ke mata air). Musa bertanya, ‘Apa maksud kalian berdua (dengan perbuatan tersebut)?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak memberi minum ternak kami sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka, sementara ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut usia’.” (al-Qashash: 23)
Sifat ‘Iffah (Menjaga Diri) Wanita Shalihah
Pertama, keengganan mereka untuk bercampur baur dengan kaum pria yang bukan mahram (ikhtilath) untuk memberi minum ternak-ternak mereka. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsirnya menjelaskan, “Kedua wanita tersebut berupaya menahan ternak mereka dari mata air, agar keduanya tidak diganggu.” (Tafsir Ibnu Katsir; 6/204).
Bahkan sampai-sampai terkadang keduanya tidak mendapatkan sisa air untuk ternak mereka, karena ternak-ternak sebelumnya telah menghabiskannya.
Ikhtilath dapat melahirkan banyak kerusakan di muka bumi, seperti menyebarnya perzinaan, tercabutnya rasa malu, dan hilangnya harga diri dan kehormatan. Oleh karenanya, kedua wanita tersebut rela bersusah payah menahan kambing-kambing mereka dan bersabar menanti penggembala lainnya selesai, agar mereka tidak terjatuh ke dalam perbuatan ikhtlath.
Itulah kemuliaan yang harus dimiliki oleh seorang wanita sehingga tidak menimbulkan fitnah di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, kedua wanita tersebut tidak memulai perbincangan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam, juga tidak memperpanjang pembicaraan dengan beliau. Nabi Musa pun hanya mengajukan pertanyaan yang ringkas, “Apa maksud kalian berdua (dengan perbuatan tersebut)?” Kalimat ini mengandung banyak pertanyaan, seperti mengapa mereka menahan ternak mereka, mengapa mereka tidak memberi minum kambing-kambing itu, apakah tidak ada pria yang mengurusi mereka, dan sebagainya.
Mereka pun menjawabnya dengan ringkas, dengan ungkapan yang padat dan menyeluruh sehingga tidak menimbulkan pertanyaan lain. Mereka mengatakan, “Kami tidak memberi minum ternak kami sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka, sementara ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut usia.” Jawaban yang ringkas dan jelas ini menunjukkan kebagusan akal keduanya dengan memberitahukan kondisi orang tua mereka, secara tidak langsung mereka meminta uzur (keringanan) atas perbuatan mereka memberi minum ternak-ternak mereka sendiri.
Hal menarik dari interaksi di antara mereka, pertanyaan seperlunya sesuai kebutuhan, begitu pula jawaban, seperlunya sesuai kebutuhan. Tanpa bumbu dan tambahan lainnya. Seperti itu pula adab yang diajarkan Allah kepada manusia-manusia pilihan-Nya. Allah mendidik orang-orang yang dipilih-Nya untuk mendampingi kekasih-Nya agar senantiasa berada dalam kesucian hati dan diri.
Jiwa Besar Musa ‘Alaihissalam
Pertama, Nabi Musa ‘alaihissalam memberi pelajaran untuk selalu tanggap dengan keadaan manusia, ringan tangan, mudah membantu orang lain tanpa diminta, terlebih kepada seorang yang sedang membutuhkan bantuan.
Taktkala mendengar penjelasan mereka, Nabi Musa ‘alaihissalam pun menjadi iba. Kemudian beliau turun memberikan pertolongan tanpa memperpanjang interaksi dengan keduanya, tanpa bertanya dan banyak bicara. Dari sinilah kita dapat mempelajari kehati-hatian beliau di dalam menjaga diri dari fitnah wanita.
Allah ﷻ berfirman, “Maka Musa memberi minum ternak-ternak mereka untuk (menolong) keduanya. Kemudian, dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdoa, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku, terhadap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku, sangatlah membutuhkannya’.” (al-Qashash: 24)
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam pergi menuju sebuah sumur. Beliau mengangkat sendiri batu besar yang menutupi mata air, padahal batu tersebut baru bisa diangkat oleh sepuluh orang. Itulah alasan salah satu dari dua wanita tadi menyebutkan kepada ayah mereka bahwa beliau ‘alaihissalam adalah orang yang kuat.
Kedua, tatkala Nabi Musa selesai menolong mereka, beliau tidak diam menanti mereka menyampaikan terima kasih. Beliau tidak pula menanti mereka berbasa-basi atau memperkenalkan diri. Sebab, yang demikian adalah celah bagi setan untuk menimbulkan fitnah bagi kedua belah pihak. Namun, beliau segera menyingkir dan berteduh di bawah sebuah pohon.
Sebuh potret teladan terbaik yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an, menjadi gambaran bagaimana orang yang beriman memiliki adab dalam bergaul. Hal itu bisa kita lihat pada kisah yang terjadi antara Nabi Musa dengan dua orang wanita dari negeri Madyan. Wallahu’alam. [Erwin A]