Malas Ibadah di Bulan Ramadhan Akibat Makan dan Minum Berlebihan
Oleh Ashabul Yamin (Alumnus Ma’had Aly An-Nuur)
Ramadhan datang dengan perintah yang begitu jelas dari Allah ﷻ; yaitu imsak (menahan diri dari makan, minum, dan syahwat dari terbit fajar hingga matahari terbenam).
Salah satu hikmahnya adalah mendidik manusia untuk tidak diperbudak oleh syahwat perut. Sebab, banyak orang telah terbiasa makan dan minum secara berlebihan tanpa memperhatikan kebutuhan tubuh yang sebenarnya.
Namun realitas yang terjadi di masyarat justru sebaliknya.
Di bulan ketika syahwat untuk makan dan minum seharusnya ditahan, pasar-pasar dipenuhi aneka macam takjil lezat dengan aneka rupa warna, restoran menawarkan paket berbuka yang menggoda, dan meja makan di rumah mendadak penuh hidangan istimewa.
Seolah makna puasa adalah menahan makan dan minum dari Shubuh sampai Maghrib saja. Momen buka puasa seperti ajang “pembalasan dendam” untuk melampiaskan rasa haus dan lapar yang ditahan sepanjang hari.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh BSI Institute yang dikutip oleh katadata.co.id tahun 2024, ditemukan bahwa rata-rata pengeluaran per-individu di Jakarta selama bulan Ramadhan mencapai Rp 5,05 juta, meningkat Rp 1,20 juta dibandingkan dengan bulan-bulan biasa.
Peningkatan ini hampir setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang berlaku. Selain itu, 84,4% masyarakat melaporkan bahwa pengeluaran mereka lebih besar selama Ramadhan, dengan rata-rata kenaikan nominal pengeluaran bulanan sebesar 33% dibandingkan bulan lainnya, dan 66,1%, melakukan belanja, sementara 21% memberi bingkisan atau hadiah kepada kerabat/saudara.[1]
Adapun provinsi dengan peningkatan pengeluaran selama Ramadhan terbesar kedua adalah Kepulauan Riau yang meningkat menjadi Rp. 1,03 juta, selanjutnya Kalimantan Timur Rp. 950 ribu, dan Kepulauan Bangka Belitung Rp. 940 ribu.[2]
Termasuk pengeluaran terbesar selama Ramadhan adalah pada sektor makanan dan minuman, “Ironisnya, Ramadhan adalah soal makanan. Pengecer makanan menyetok produk setidaknya sebulan ke depan sebagai persiapan menghadapi kelebihan permintaan.
Selain itu, supermarket dan hypermarket memperpanjang jam buka hingga tengah malam dan cenderung mengadakan promosi dan penawaran khusus Ramadhan,” kata analis senior HLB Egypt Makary Consulting Aya Yousef, dilansir laman IB Times, Jumat (12/4/2024).[3]
Data tersebut hanyalah contoh, tanpa paparan data tersebut-pun sebenarnya secara kasat mata kita bisa melihat perbedaan yang sangat mencolok di setiap daerah terkait fenomena membludaknya jumlah konsumsi selama bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan lainnya.
Sebab hal ini sepertinya sudah menjadi urf (kebiasaan) kaum muslimin di negeri ini.
Larangan Berlebihan dalam Makan dan Minum
Allah ﷻ telah memperingatkan manusia agar tidak berlebihan dalam makan dan minum:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Adapun yang dimaksud israf (berlebihan) menurut Imam as-Sa’di dalam ayat ini adalah:
وَٱلۡإِسۡرَافُ إِمَّا أَن يَكُونَ بِٱلزِّيَادَةِ عَلَى ٱلۡقَدۡرِ ٱلۡكَافِي وَٱلشَّرَهِ فِي ٱلۡمَأۡكُولَاتِ ٱلَّذِي يَضُرُّ بِٱلۡجِسۡمِ، وَإِمَّا أَن يَكُونَ بِزِيَادَةِ ٱلتَّرَفُّهِ وَٱلتَّنَوُّقِ فِي ٱلۡمَآكِلِ وَٱلۡمَشَارِبِ وَٱللِّبَاسِ، وَإِمَّا بِتَجَاوُزِ ٱلۡحَلَالِ إِلَى ٱلۡحَرَام
“Berlebihan (isrāf) bisa berupa: melebihi kadar yang cukup dan bersikap rakus dalam makanan, yang dapat merusak tubuh, berlebihan dalam kemewahan dan terlalu memilih-milih makanan, minuman, serta pakaian, dan melewati batas halal menuju yang haram.” (Taisir Karim ar-Rahman fi Tafsiri Kalam al-Mannan, hlm. 1/287)
Definisi berlebihan yang dimaksud di sini adalah mengkonsumsi makan dan minum di atas kadar kelaziman orang kenyang, yaitu sekira ketika telah sampai pada kadar tersebut orang-orang secara umum akan berhenti makan dan minum.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatha dalam Hasyiyah I’anah ath-Thalibinm (3/367):
أَيِ ٱلْمُتَعَارَفُ لَا ٱلْمَطْلُوبُ شَرْعًا، وَهُوَ أَكْلُ نَحْوِ ثُلُثِ ٱلْبَطْنِ
“Maksud dari kenyang adalah kenyang yang lumrah (dilakukan umumnya orang) bukan kenyang yang dianjurkan syara’ yakni makan sekitar sepertiga isi perut.”
Penjelasan ini selaras dengan hadits Rasulullah ﷺ berikut:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan yang dapat menegakkan tulang punggungnya.
Jika harus lebih, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi no. 2380, Ibnu Majah no. 3349, Ahmad no. 17186)
Efek Makan dan Minum Berlebihan Terhadap Ibadah di Bulan Ramadhan
Makan dan minum yang semestinya menjadi penguat agar ibadah semakin optimal, kadang malah berubah menjadi ajang pemuasan nafsu.
Saat hidangan melimpah tersaji di meja makan, kita yang sepanjang hari menahan lapar dan haus lalu ‘balas dendam’ dengan mengisi perut sepuasnya.
Akibatnya, alih-alih merasa ringan dan bertenaga setelah berbuka, yang ada badan justru jadi berat, mata mengantuk, semangat untuk menunaikan shalat Tarawih dan membaca Al-Qur’an perlahan lenyap.
Mengenai dampak makanan dan minuman berlebihan terhadap ibadah, berkata Imam Asy-Syafi’i:
مَا شَبِعْتُ مُنْذُ سِتَّ عَشْرَةَ سَنَةً، إِلا شُبْعَةً اطَّرَحْتُهَا، يَعْنِي فَطَرَحْتُهَا؛ لأَنَّ الشِّبَعَ يُثْقِلُ الْبَدَنَ، وَيُقَسِّي الْقَلْبَ، وَيُزِيلُ الْفِطْنَةَ، وَيَجْلِبُ النَّوْمَ، وَيُضْعِفُ صَاحِبَهُ عَنِ الْعِبَادَةِ
“Aku tidak pernah kenyang selama enam belas tahun, kecuali sekali kenyang yang kemudian aku muntahkan (aku buang).
Karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan rasa kantuk, dan melemahkan seseorang dalam beribadah.” (Adab as-Syafi’i wa Manaqibuhu, Hlm.78)
Senada dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (9/528) juga menyebutkan hal serupa:
وَمَا جَاءَ مِنَ النَّهْيِ عَنْهُ مَحْمُولٌ عَلَى الشِّبَعِ الَّذِي يُثْقِلُ الْمَعِدَةَ وَيُثَبِّطُ صَاحِبَهُ عَنِ الْقِيَامِ لِلْعِبَادَةِ وَيُفْضِي إِلَى الْبَطَرِ وَالْأَشَرِّ وَالنَّوْمِ وَالْكَسَلِ وَقَدْ تَنْتَهِي كَرَاهَتُهُ إِلَى التَّحْرِيمِ بِحَسَبِ مَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنَ الْمَفْسَدَةِ
“Larangan kekenyangan dimaksudkan pada kekenyangan yang membuat perut penuh dan membuat orang berat untuk melaksanakan ibadah dan membuat angkuh, bernafsu, banyak tidur dan malas.
Hukumnya dapat berubah dari makruh menjadi haram sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkan.”
Larangan ini sebenarnya bersifat umum, artinya bukan hanya berlaku dalam bulan Ramadhan saja, tapi berlaku juga pada sebelas bulan lainnya, sepanjang tahun.
Tapi, pada bulan Ramadhan tentu hal ini lebih ditekankan, mengingat Ramadhan adalah kesempatan emas untuk mendulang pahala melalui berbagai macam amal ibadah.
Ada kekhususan pahala tersendiri untuk ibadah di bulan ini.
Akan tetapi berbagai keutamaan ini akan tak akan didapat apabila seseorang malas dan tidak bersungguh-sungguh dalam menggapainya, dan salah satu sebab munculnya rasa malas tersebut makan dan minum secara berlebihan, baik pada saat berbuka puasa (ifthar), atau sahur.
Ramadhan Momen Berbagi
Hikmah lain dari ibadah puasa Ramadhan selain dari mendidik manusia agar tidak diperbudak oleh syahwat perut adalah agar umat Islam hidup sederhana dan mengasah empati terhadap orang-orang yang hidup dalam kesulitan.
Jika kita termasuk orang yang dikaruniai oleh Allah ﷻ kecukupan harta, memang tak ada dosa membeli banyak makanan enak, apalagi apabila hal tersebut diniatkan sebagai ekspresi kegembiraan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.
Yang dilarang adalah ketika berlebihan dalam mengkonsumsinya sehingga menimbulkan rasa malas dalam ibadah dan berlaku tabdzir.
Alangkah bijaknya jika kecukupan harta tersebut diiringi kepedulian kepada saudara-saudara muslim lain yang tak seberuntung kita.
Dengan cara berbagi, baik kepada keluarga, tetangga sekitar, lembaga pendidikan/sosial, seperti pesantren, panti asuhan, atau bahkan lebih dari itu kepada kaum muslimin korban perang (di Gaza, misalnya) melalui lembaga kemanusiaan yang profesional dan amanah.
Tidak sedikit hadits-hadits yang menunjukan keutamaan berbagi kepada sesama di bulan Ramadhan. Di antaranya adalah
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa yang memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.“(HR. At-Tirmidzi No. 807, Ibnu Majah No. 1746, Ahmad No. 17039)
Rasulullah ﷻ sendiri adalah orang yang paling dermawan selama bulan Ramadhan, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya.
Jibril menemuinya setiap malam di bulan Ramadhan untuk mengajarkan Al-Qur’an. Sungguh, Rasulullah ﷺ lebih dermawan dalam kebaikan dibandingkan angin yang berhembus.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa sedekah yang terbaik adalah sedekah yang dikeluarkan di bulan Ramadhan:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ
“Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR. at-Tirmidzi)
Semoga kita termasuk orang yang mampu memaksimalkan setiap moment kebaikan dan amal shalih pada Ramadhan bulan Ramadhan tahun ini, dan seterusnya. Aamin. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
[1] https://katadata.co.id/finansial/makro/6614e323eaa2f/riset-jakarta-provinsi-dengan-pengeluaran-terbesar-selama-ramadan
[2] ibid
[3] https://ramadhan.republika.co.id/berita/sbttq2366/riset-pengeluaran-makanan-rumah-tangga-muslim-selama-ramadhan-naik-100-persen