Oleh: Tim Ulin-Nuha Ma’had ‘Aly An-Nuur
Yang wajib dikeluarkan adalah makanan pokok. Adapun selain makanan pokok seperti uang atau dikiaskan dengan yang lain ini tidak diperkenankan. kecuali kalau memang terpaksa sekali. Karena yang demikian tidak pernah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat.[1]
Zakat Fithri tidak boleh diganti dengan nilai nominalnya. Karena hal itu menyalahi apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan amalan yang tidak kami perintahkan maka amalan itu tidak diterima.” (HR. Muslim)
Di samping itu, membayar harga zakat Fithri dengan uang menyalahi praktik para sahabat. Mereka membayar zakat Fithri dengan makanan tidak dengan yang lain. Pun pada zaman Nabi juga telah ada uang. Seandainya membayar zakat Fithri dengan uang diperbolehkan, tentu beliau memerintahkan untuk mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh Nabi SAW.
Hanya madzhab Hanafi yang membolehkan pembayaran akat Fithri dengan uang. Pendapat ini lemah. Dalil yang dipergunakan tidak kuat.[2] Menurut mereka, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang, dirham, dan dinar dibolehkan, sebab kewajiban zakat yang dibebankan pada hakikatnya adalah membuat orang miskin dan fakir jadi berkecukupan. (baca: tidak perlu meminta-minta). Rasulullah SAW bersabda,
أُغْنُوهُمْ عَنِ السُّؤَالِ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ
“Jadikanlah mereka tercukupi kebutuhannya sehingga mereka tidak meminta-minta pada hari ini”
Membuat mereka berkecukupan adalah dengan uang dan makanan. Bahkan dengan uang lebih sempurna dan lebih fleksibel.
Pendapat madzhab Hanafi ini menyelisihi pendapat jumhur ulama.
وَلاَ يُجْزِئُ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ إِخْراَجُ الْقِيْمَةِ عَنْ هَذِهِ الأَصْنَافِ. فَمَنْ أَعْطَى القِيْمَةَ لَمْ تُجزِئْهُ, لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ: فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ وَصَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ. فإِذَا عَدَلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَدْ تَرَكَ المَفْرُوضِ
“Menurut jumhur ulama, mengeluarkan uang sebagai ganti dari jenis-jenis makanan pokok dalam membayar zakat tidak sah. Barang siapa yang membayar zakat dengan uang maka hal itu belum menggugurkan kewajibannya. Dasarnya adalah perkataan Ibnu Umar RA, ‘Rasulullah SAW mewajibkan zakat Fithri sebanyak satu sha’ kurma atau atau satu sha’ gandum‘ Maka jika seseorang menyelisihi hal itu, sungguh dia telah meninggalkan yang diwajibkan. [3]
Dalam kitab Al-Majmu’ fi Syarhil Muhadzab, Imam An-Nawawi menulis:
وَلاَيَجُوْزُُ أَخْذُ الْقِيْمَةِ فِيْ شَيْءٍ مِنَ الزَّكَاةِ لأَنَّ الْحَقَّ للهِ تَعَالىَ وَقَدْ عَلَّقَهُ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فَلاَ يَجُوْزُ نَقْلُ ذَلِكََ إِلىَ غَيرِهِ كَاْلأُضْحِيَّةِ لَمَّا عَلَّقَهَا عَلَى اْلأَنْعَامِ لَمْ يَجُزْ نَقْلُهاَ إِلىَ غَيِرِهَا
“Tidak diperbolehkan mengambil nilai nominal nominal zakat. Sebab ini adalah hak Allah yang telah ditentukan dalam nash. Tidak diperkenankan mengganti dengan yang lain, sebagaimana hewan sembelihan yang ketetapannya adalah binatang ternak (unta, sapi, kerbau, kambing). Tidak boleh menggantinya dengan selainnya.”[4]