Oleh: Tim Ulin Nuha Ma’had Aly an-Nuur
Awal dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru`yah hilal (melihat bulan sabit). Ru`yah hilal mesti disaksikan oleh sekurang-kurangnya seorang muslim yang adil untuk awal Ramadhan, dan dua orang muslim untuk awal Syawal.[i]
Apabila cuaca mendung dan hilal bulan Ramadhan tidak dapat dilihat pada malam 30 Sya’ban, maka hukum yang harus diambil ialah menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Begitu pula ketika hilal bulan Syawal tidak terlihat, maka hukum yang harus diambil ialah dengan menyempurnakan bilangan Ramadhan menjadi 30 hari.[ii]
Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
“Janganlah kalian melakukan shiyam sampai kalian melihat hilal, dan jangan pula berbuka (mengakhiri shiyam Ramadhan) sampai kalian melihatnya. Jika ada (awan) yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan oleh kalian, sempurnakanlah bilangannya (menjadi 30 hari).”[iii]
الشَّهْرُ تِسْعَ وَ عِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Satu bulan itu jumlahnya 29 malam. Jjanganlah kamu shiyam sampai kalian melihatnya (hilal). Jika ada (awan) yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan oleh kalian, sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari.”[iv]
Menetapkan awal Ramadhan dengan ilmu hisab di saat langit mendung banyak dibantah oleh para ulama. Para fuqaha telah menegaskan tentang dilarangnya bersandar pada perhitungan-perhitungan ilmu falak dalam menetapkan hilal, karena sesungguhnya syariat Islam ini mengaitkan shiyam dengan ru`yah bukan dengan hisab.[v]
Jumhur fuqaha mengatakan, “Tidak betul jika yang dimaksud adalah hisab ahli perbintangan, sebab jika orang banyak dibebani dengan hal tersebut, tentulah akan memberatkan mereka, sebab masalah hisab perbintangan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang saja. Padahal syariat memberitahukan segala sesuatu kepada manusia dengan sesuatu yang dapat dipahami oleh kebanyakan mereka. Wallahu a’lam.”[vi]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Berdasarkan As-Sunnah Ash-Shahihah serta kesepakatan para sahabat, tidak diragukan bahwasannya tidak boleh bersandar kepada hisab perbintangan”.[vii]
Rasulullah bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِيّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسَبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا : يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak melakukan hisab. Bulan itu begini dan begini.” Yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.[viii]
لاَتَقَدَّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ قَبْلَهُ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ، ثُمَّ صُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ أَوْتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ قَبْلَهُ
“Janganlah kalian mendahului bulan (Ramadhan) sebelum kalian melihat hilal, atau sampai menyempurnakan bilangannya. Kemudian laksanakanlah shiyam sampai kalian lihat hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya.”[ix]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Orang yang bersandar kepada hisab dalam masalah hilal, sebagaimana ia telah sesat di dalam syariat dan berbuat bid’ah dalam agama, dia juga keliru terhadap akal dan ilmu hisab.”[x]
Lantas bagaimana halnya dengan kelompok yang menetapkan awal Ramadhan dan Syawal dengan hisab sementara langit cerah tanpa sepotong awan pun? Bahkan beberapa bulan sebelumnya mereka telah berani menetapkan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu hisab. Cara yang tidak pernah dipergunakan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
I used to be just seeking this data for years. After six hours of continuous Googleing, finally I managed to get it in your own website.