Hadirnya diri di bulan Ramadhan yang penuh dengan kemuliaan, merupakan nikmat yang amat besar dan patut untuk disyukuri oleh setiap hamba. Salah satu dari berjuta nikmat yang acapkali manusia lalaikan untuk disyukuri.
Tentu jika seorang betul-betul paham keutamaan apa yang ada pada bulan ini, dan ia sadar akan dosanya yang kadung menggunung. Maka ia akan merasa bahwa, hadirnya diri di bulan ini merupakan hadiah terbesar untuknya, hadiah berupa kesempatan untuk mendulang emas berupa kebaikan sebanyak yang ia mampu, dan kesempatan memetik ampunan atas dosa yang ia lakukan.
Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat yang agung ini, baik karena ajal mendahuluinya, sakit yang menggerogoti tubuhnya, atau karena kurangnya ilmu yang membuat dirinya hanya terdiam tanpa beramal mendulang pahala di bulan ini.
Kehadiran bulan suci Ramadhan merupakan peluang yang sangat besar bagi setiap hamba untuk meningkatkan ketakwaan. Berbagai keutamaan terkumpul di bulan suci ini, mulai dari pahala yang dilipatgandkan hingga pintu ampunan yang terbuka lebar.
Pada bulan yang suci ini, Allah ta’ala menginginkan agar para hambanya berlomba-lomba dalam memetik pahala kebaikan sebanyak mungkin, serta mendapat ampunan atas dosa yang menyelimuti diri, dan keluar dari bulan Ramdhan sebagai seorang pemenang.
Konsep beramal sebanyak mungkin untuk mendulang emas berupa pahala kebaikan dan ampunan yang paripurna, sangat dipahami oleh para asslafush shaleh (orang shaleh terdahulu) dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang istiqamah meniti jejak mereka.
Hal ini tentu tidak membuat kita terheran-heran, betapa tidak? Panutan yang ada di tengah-tengah mereka adalah manusia terbaik di muka bumi ini, Rasulullah Muhammad SAW.
Disebutkan dalam Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Rahimahullah memberikan gambaran kepada kita, mengenai kondisi Rasulullah di bulan Ramadhan, beliau memperbanyak ibadah pada bulan tersebut, mulai dari; membaca al-Quran, sedekah, berbuat baik kepada orang lain, shalat, zikir, dan I’tikaf, melebihi yang beliau lakukakan di bulan yang lainnya. Sampai-sampai beliau mengkhususkan puasa dengan menyambungnya tanpa berbuka agar waktu malam dan siangnya lebih banyak digunakan guna melaksanakan ibadah. (2/3)
Salaf dan al-Quran
Ramadhan merupakan syahrulqur’an (bulan al-qur’an), sebab ia diturunkan pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini umat islam berlomba-lomba dalam memperbanyak bacaan al-Qur’an. Terlebih para salaf, hari-hari mereka disibukan dengan membaca al-Qur’an pada bulan ini.
Mereka lebih mengutamakan al-Qur’an ketimbang aktivitas yang lainnya, karena dalamnya pemahaman mereka akan pahala yang akan didapat bagi siapa saja yang memperbanyak bacaan al-Qur’an di bulan ini. Maka tidak mengherankan lagi, ketika mereka mampu menyelesaikan bacaan al-Quran berkali-kali pada bulan ramadhan.
Sebut saja Abdullah bin Mas’ud Radhiyyallahu ‘Anhu, beliau mampu mengkhatamkan al-Quran setiap tiga hari, dan setiap tujuh hari di selain bulan Ramadhan. (Sunan al-Baihaqi, 2/555).
Siapa yang tidak mengenal imam As-Syafi’i, salah satu imam madzhab yang tersohor dengan keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya.
Beliau sangat mengejutkan, dalam tarikh dimasyq, sebagaimana yang dituturkan oleh murid beliau; Rabi’ bin Abi Sulaiman, “Imam As-Syafi’i mampu menyelesaikan bacaan al-Qur’an sebanyak enam puluh kali di Bulan Ramadhan, dan tiga puluh kali di bulan yang lainnya, dan itu selain bacaan beliau ketika melaksanakan shalat. MaasyaAllah.
Menunjukan begitu besar kedekatan dan perhatian mereka terhadap al-Quran di bulan ini, namun bukan berarti tujuan utama mereka adalah memperbanyak bacaan al-Qur’an saja, melainkan lantunan demi lantunan mereka pahami dan tadabburi dengan penuh penghayatan yang meninggalkan bekas di hati. Sehingga, terdapat larangan untuk mengkhatamkan bacaan al kuran kurang dari tiga hari.
Salaf dan Qiyamul Lail
Menghidupkan malam dengan Qiyamullail dan bermunajat kepada Allah merupakan kebiasaan orang-orang shaleh. Bahkan merupakan ibadah sunnah yang paling afdhal setelah shalat wajib. Terlebih di bulan Ramdhan, ummat islam banyak yang melaksanakannya.
Namun sungguh disayangkan semangat melaksanakan sunnah yang mulia ini hanya bertahan di awal-awal Ramadhan saja, disisi lain kebanyakan orang hanya memandang ibadah ini sebatas tradisi sehingga tidak memperhatikan kualitas shalatnya. Berakibat pada berkurangnya khusyuk dan thuma’ninah yang menjadi ruh dari ibadah ini, atau bahkan tidak ada.
Mari kita bandingkan dengan shalat tarawih yang dilakukan oleh para sahabat, disebutkan dalam Sunan Al-Baihaqi bahwa, Sa’ib bin Yazid berkata, “Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan kepada sahabat Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk menjadi imam shalat tarawih dengan sebeles rakaat. Imam pada saat itu membaca ratusan ayat pada setiap rakaatnya, sampai-sampai kami bertumpu pada tongkat karena saking lamanya berdiri, dan shalat baru selesai ketika waktu mendekati fajar. (2/698).
Dalam riwayat yang lain, masih di dalam Sunan Al-Baihaqi, bahwa Utsman bin ‘Affan Radhiyyallahu ‘Anhu mengkhatamkan al-Quran dalam satu rakaat ketika shalat malam. (2/396)
Kendati demikian, baiknya bagi seorang imam untuk tidak memanjangkan bacaan dalam salat tarawih, melihat kondisi jamaah di belakangnya, dikhawatirkan jika bacaan terlalu panjang jamaah enggan untuk shalat tarawih atau bahkan meinggalkannya. Karena Rasulullah sendiri tidak menetapkan jumlah bacaan pada shalat tarawih.
Namun, alangkah lebih baiknya bagi seorang imam untuk menyelesaikan bacaan al-Qur’ank pada shalat tarawih di bulan Ramadhan, agar para jamaah bisa mendengar al-Qur’an secara keseluruhan di bulan yang suci ini.
Salaf dan Kedermawanan
Pintu sedekah di Bulan Ramadhan terbuka lebar, membuka kesempatan bagi seseorang yang ingin mendapat pahala berlipat ganda dari sedekahnya. Maka tak heran jika ada orang yang membayar zakatnya di bulan ramadhan, selain menunaikan kewajiban ia juga mendapat keutamaan dengan dilipat gandakan pahalanya.
Disebutkan dalam Lathaiful Ma’arif, bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu ketika beliau berbuka dari puasanya tidak pernah sendirian, namun selalu bersama orang-orang miskin. (hal.183)
Dalam Siyar A’lam An-Nubala, diriwayatkan bahwa Hammad bin Abi Sulaiman, pada bulan ramadhan memberikan makanan untuk berbuka puasa bagi lima ratus orang, dan pada hari ‘ied memberikan dua ratus dirham pada setiap orang. (5/231)
Namun perlu diperhatikan bahwa, sedekah tidak hanya terbatas pada harta dan makanan, namun bisa juga berupa tenaga, pikiran, dan tak kalah penting juga ilmu agama, yaitu dengan memberikan pemahaman kepada umat atas syariat Allah, terkhusus ibadah-ibadah yang berkaitan dengan bulan Ramadhan.
Salaf dan Usaha Menjaga Lisan
Ghibah, dusta, adu domba, dan mencela orang lain merupakan dosa lisan yang dilarang. Karena setiap yang diucapkan manusia akan dimintai pertanggungjawaban, sehingga kita diperintahkan untuk selalu menjaga lisan. Terlebih di bulan yang suci ini, dosa-dosa tersebut larangannya lebih keras.
Begitu pentingnya menjaga lisan di bulan ini, banyak nasihat yang terlontar dari para salaf berkaitan dengan menjaga lisan ketika sedang berpuasa di bulan Ramadhan.
Salah satunya adalah sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyyallahu ‘Anhu, yang termaktub di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, beliau berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan juga penglihatan, pendengaran, dan lisanmu dari dusta dan perbuatan dosa, jangan jadikan hari puasamu sama dengan hari tidak puasamu. (3/3)
Demikian potret para salaf dalam memanfaatkan kesempatan yang ada di bulan Ramadhan, itu semua tentu tidak terlepas dari pertolongan Allah.
Maka kita bermohon dengan penuh permohonan, agar Allah senantiasa menyertai kita dengan pertolongannya, sehingga kita mampu melewati bulan Ramadhan dengan membawa pahala sebanyak mungkin serta mendapatkan ampunan atas dosa yang pernah kita lakukan. Wallahu a’lam bis shawab. [Akmal Malawi]