فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang melalaikan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Q.S. Maryam: 59)
Tafsir Ayat
Ayat diatas disebutkan oleh Allah swt setelah menyebutkan generasi/golongan pilihan lagi beruntung, yaitu para nabi dan orang yang diberi petunjuk. Mereka berungtung karena mengerjakan perintah-perintah Allah swt dan meninggalkan larangan-Nya. Hal ini seakan-akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Hendaknya mereka memperhatikan generasi setelahnya, bukan hanya memperbaiki dirinya sendiri. Sehingga tidak meninggalkan suatu generasi yang jauh dari syareat Allah swt.
Ibnu Jarir At Thabari mengatakan “setelah generasi para Nabi, dimana mereka mendapat nikmat, akan muncul di muka bumi sebuah generasi yang sifat mereka sebagai mana disebutkan dalam ayat ini. Yaitu generasi yang buruk karena telah meninggalka shalat.”
Ibnu Katsir menafsirkan ayat diatas dengan mengatakan “Setelah Allah menceritakan tentang golongan orang-orang yang beruntung, yaitu para Nabi dan para pengikut mereka yang menegakkan hukum-hukum dan perintah-perintah Allah, serta menunaikan fardhu-fardhu ketentuan Allah, lagi meningalkan berbagai ancaman-Nya; Dia menyebutkan bahwa: “Akan datang sesudah mereka satu generasi,) yaitu generasi lain. “Yang melalaikankan shalat,” dan jika mereka melalaikannya, maka kewajiban-kewajiban lain pasti lebih diremehkan. Karena shalat adalah tiang agama dan sebaik-baik amal seorang hamba. Kemudian, mereka pasti akan menuruti kesenangan dan kelezatan dunia, serta senang dengan kehidupan dunia, mereka merasa tenteram di dalamnya. Mereka itu akan ditimpa “ghayya,” yaitu kerugian pada hari Kiamat.
Mujahid berkata: “Mereka adalah umat ini yang saling mengendarai kendaraan binatang dan himar di jalan-jalan, di mana mereka tidak merasa takut kepada Allah yang ada di langit dan tidak merasa malu kepada manusia yang ada di bumi.”
Imam As Sa’di mengatakan dalam kitab tafsirnya “setelah Allah menyebutkan tentang para nabi yang iklas, patuh kepada Robnya dan berharap ridha-Nya lagi bertaubat, kemudian menyebutkan generasi yang datang setelahnya, yaitu mereka telah merubah apa yang diperitahkan (tidak taat kepada Allah swt)”
Kemudian ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna melalaikan shalat dalam ayat ini. Diantara ulama’ ada yang berpendapat maksud dari melaikan shalat adalah meningalkan kewajiban shalat secara total. Diantaranya Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, Ibnu Zaid bin Aslam, as-Suddi.
Al-Qurazhi mengatakan tentang yang melalaikan shalat yaitu orang yang mengakui juga bahwa shalat itu memang tiang agama, tetapi dia tidak mengerjakannya lagi.
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir at Thabari dalam kitab tafsirnya. Beliau beralasan dengan ayat setelahnya. Allah swt berfirman;
إِلاَّ مَنْ تابَ وَ آمَنَ وَ عَمِلَ صالِحاً
Kecuali barangsiapa yang taubat dan beriman dan beramal yang shalih (Q.S Maryam 59)
Kemudian beliau mengatakan “kalaulah yang disifati dengan orang melalaikan shalat adalah orang beriman, tentu Allah tidak mengecualikan orang yang beriman. Padahala mereka (yang melalaikan shalat) itu beriman.”
Sedangkan orang yang meninggalkan shalat secara total maka ia telah kafir. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda “Perjanjian yang ada di antara kita dan di antara mereka (orang kafir) adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkannya, maka berarti ia kafir.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih.” Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim, berkata: “Shahih.”)
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa makna melalaikan shalat dalam ayat ini adalah melaikan waktu-waktnya. Dalam artian mereka masih mengerjakan shalat namun mengakhirkannya atau menunda-nundanya.
Al Qoshim bin Mukhaimarah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan “Mereka menyia-nyiakan waktu shalat yang jika ia tinggalkan, niscaya ia kafir.”
Al-Auza’i berkata dari Ibrahim bin Yazid, bahwa `Umar bin `Abdul `Aziz membaca firman Allah yang artinya “Akan datang sesudah mereka satu generasi yang melalaikan shalat” kemudian dia berkata, melalaikan itu bukan meninggalkan shalat, akan tetapi menyia-nyiakan waktu-waktunya.”
Ka’ab al-Ahbar berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku mendapatkan sifat orang-orang munafik di dalam Kitab Allah adalah mereka banyak minum kopi, meninggalkan shalat, banyak bermain, banyak tidur di waktu malam, lalai di waktu siang dan banyak meninggalkan jama’ah dalam shalat. Kemudian dia membaca ayat ini: “Akan datang sesudah mereka satu generasi yang melalaikan shalat” (Maryam 59) Al-Hasan al-Bashri berkata: “Mereka meninggalkan masjid dan selalu mengunjungi tempat-tempat hiburan.”
Ada pula yang berpendapat bahwa yang termasuk dalam katagori melailaikan shalat adalah mengerjakan shalat akan tetapi tidak sempurna rukun-rukun shalatnya.
Shalat adalah tolak ukur seorang hamba
Shalat memiliki kedudukan yang istimewa dalam agama islam. Ia merupakan tiang agama dan sebagai tolak ukur bagi seorang hamba. Baik buruknya amal perbuatan seorang hamba dapat dilihat dari shalatnya. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda :
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ بِصَلَاتِهِ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ
“Yang pertama kali dihisab (dihitung) dari perbuatan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat; jika shalatnya baik maka dia beruntung dan selamat, dan jika shalatnya rusak maka dia merugi.” (HR An Nasa’i)
Hadits di atas menerangkan dengan jelas bahwa beruntung atau rugi, selamat atau tidaknya seorang hamba di akherat kelak dapat dilihat dari shalatnya. Inilah kedudukan shalat di akherat, sedangkan di dunia tidak jauh berbeda. Ia laksana benteng untuk memagiri diri dari perbuatan jahat. Sebagaimana tersebut dengan jelas dalam firman Allah dalam surat Al Ankabut. Allah berfirman yang artinya “Dan dirikanlah olehmu shalat, sesungguhnya shalat itu akan mencegah daripada yang keji-keji dan yang munkar.” (al Ankabut: 45)
Sahabat Umar bin Khatab berpesan kepada gubernur-gubernur di wilayah kekuasan islam,
إنَّ أهم أموركم عندي الصلاة فمن حفظها حفظ دينه ، ومن ضيَّعها فهو لما سواها أضيَع ، ولا حظَّ في الإسلام لمن ترك الصلاة
“Sungguh urusan terpenting yang ada pada kalian bagi saya adalah sholat. Barangsiapa yang menjaga sholatnya, maka dia telah menjaga agamanya. Sesiapa yang menyepelekan sholat, maka untuk urusan lain ia akan lebih sepelekan lagi. Tak ada bagian dari Islam, untuk orang-orang yang meninggalkan sholat ”
Begitu pentingnya perkara shalat ini, sampai-sampai Rasulullah ketika sakit yang menyebabkan kematiannya berpesan tentang hal ini. Dalam sebuah hadits dari Ummu Salamah, bahwa ia pernah bercerita :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى مَا يَفِيضُ بِهَا لِسَانُهُ (رواه ابن ماجه)
Rasulullah mengucapkan pada saat sakit yang menyebabkan kematiannya: Sholat…dan (jagalah) budak sahaya kalian. Beliau terus mengucapkan itu hingga lisan beliau tidak bisa lagi mengucapkannya dengan fasih (H.R Ibnu Majah)
Di penghujung ayat di atas Allah swt berfirman:
فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka mereka kelak akan menemui kesesatan”
Maka apabila seorang hamba melalaikan shalat, bocorlah pertahanan jiwa dan mulailah lemah dalam mengekang nafsu dan syahwat. Dan kalau shalat telah mulai lalai, dan syahwat sudah diperturutkan, niscayalah mereka akan sampai kepada akibat yang buruk. Wallah ua’lam.
Maraji’
1. Jami’ul bayan fi Ta’wilil qur’an, Ibnu Jarir Ath Thabari
2. Taisiirul Karimur Rahman fi Tafsiri Kalamil Manan, Abdurrahman bin Nasir as Sa’di.
3. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir.
4. Tafsir Al Azhar, Prof DR Hamka