Apabila ada orang kafir yang masuk Islam di pertengahan Ramadhan, maka tidak wajib atas dirinya untuk mengqadha’ shaum yang telah berlalu, karena kewajiban untuk melaksanakan shaum pada hari-hari yang telah berlalu itu belum menjadi kewajibannya, sehingga dia tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya. Demikian menurut madzhab Hambai, Syafi’i, Hanafi, Maliki, Al-Auza’i, Abu Tsaur dan Qatadah. Namun cukup baginya untuk melaksanakan shaum pada hari-hari selanjutnya setelah ia memeluk Islam.[1]
2. Baligh.
Jika anak kecil ( laki-laki dan perempuan ) telah mampu melaksanakan shaum, wajib atas walinya untuk menyuruh mereka melakukan shaum apabila mencapai usia 7 tahun dengan syarat bahwa mereka telah mumayyiz, dan memukulnya apabila meninggalkan shaum ketika telah berusia 10 tahun.[2]
3. Berakal.
Shaum Ramadhan tidak diwajibkan atas orang gila. Dan jika ia telah sembuh, cukup baginya untuk mengerjakan shaum pada hari-hari yang masih tersisa di bulan Ramadhan, dan tidak wajib atas dirinya untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya di saat ia gila. Demikian pendapat Abu Tsaur, Syafi’i, dan Ahmad.[3]
Beda dengan orang yang kehilangan akalnya karena pingsan kemudian ia siuman, maka wajib atas dirinya untuk mengqadha’ shaum yang telah ia tinggalkan, karena pingsan termasuk salah satu penyakit dan bukan gila.[4]
- Mukim ( tidak dalam keadaan safar ).
- Sanggup untuk melaksanakannya, diantaranya adalah sehat jasmani.
- Suci dari haidh dan nifas.
Menurut ijma’ ( kesepakatan ) ulama, tidak halal bagi wanita yang sedang haidh dan nifas untuk shaum. Dan bagi mereka untuk berbuka serta wajib mengqadha’ shaum yang telah ditinggalkannya selama bulan Ramadhan, jika wanita tersebut telah suci dari haidh atau nifasnya.
Dan kalau haidh dan nifasnya itu terjadi pada sebagian siang, maka batallah shaum wanita tersebut pada hari itu, baik haidh atau nifasnya itu terjadi di awal atau akhir siang. Kapan pun wanita yang haidh atau nifas itu niat shaum dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan shaum, padahal ia mengetahui bahwa shaum itu diharamkan atas dirinya, maka ia berdosa dan tidak sah shaumnya.[5]
Ummul Mukminin ‘Aisyah berkata :
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Adalah kami diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[6]
Kemudian kalau haidh seorang wanita terhenti pada malam hari kemudian dia mandi pada subuh harinya, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang junub. Orang yang junub diperbolehkan untuk mengakhirkan mandinya hingga subuh kemudian dia mandi dan menyempurnakan shaumnya, sebagaimana dikatakan oleh umumnya para ulama’. Namun dipersyaratkan bahwa haidh wanita tersebut telah berhenti sebelum fajar, karena apabila dia haidh pada sebagian siang hari, maka batal shaumnya. Selain itu, dipersyaratkan juga agar wanita tersebut berniat untuk shaum di malam harinya setelah haidhnya terhenti, karena shaum seseorang tidak dianggap sah kecuali jika dia berniat pada malam harinya.[7]