Oleh: Amar Syarifuddin
Dia adalah shahabat mulia putra dari salah seorang sahabat utama yakni Umar bin Khattab. Saudara kandung Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin Al-Khattab. Ia salah seorang di antara orang-orang yang bernama Abdullah (Al-Abadillah al-Arba’ah) yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Tiga orang lain ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash dan Abdullah bin az-Zubair.
Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus. Umurnya 10 tahun ketika ikut masuk Islam bersama ayahnya. Kemudian mendahului ayahnya ia hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang. Hingga Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, seperti perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan basrah dan Madain.
Ia termasuk anak cerdas dan hebat yang menjadi kesayangan orang tuanya. Dalam suatu majlis Rasulullah bertanya kepada para shahabatnya, “Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini seperti seorang muslim, maka sebutkanlah kepadaku apa pohon tersebut?”
Para shahabat menerka-nerka, bahwa pepohonan yang dimasud oleh Sang Nabi adalah pepohonan di sekitar Wadhi Madinah. Tetapi. Semua shahabat terdiam. Tak seorangpun dari shahabat yang berani mengungkapkan. Dan dibenak Abdullah Ibn Umar kecil waktu itu, terbesitlah suatu pohon, yaitu, pohon kurma. Melihat ayahandanya Umar Ibn Khattab, serta shahabat-shahabat lainnya masih terus terpaku, ia juga tak menyampaikan apa yang terbesit dalam hatinya.
Para shahabat kemudian bertanya, “Pohon apakah gerangan wahai Rasulullah?”
“Pohon tersebut, adalah pohon kurma.”
Setelah majlis bubar, Abdullah kecil berkata kepada ayahandanya, “Wahai Ayah, sebenarnya telah terbetik dalam hatiku kalau Rasulullah akan menyebut pohon kurma.”
”Lalu mengapa tidak kamu katakan tadi?”, sahut sang Ayah.
Abdullah kecil kembali berkata, “Bagaimana aku akan bicara, sedangkan aku adalah kaum yang terkecil.”
“Seandainya engkau katakan tadi wahai anakku, itu lebih aku cintai daripada semegah-megahnya kekayaan sekalipun.”
Abdullah bin Umar adalah sosok shahabat yang memiliki keistimewaan dalam ilmu dan amal. Bila ilmu diibaratakn sebagai air, maka Abdullah bin Umar menimbanya langsung dari sumber yang paling jernih, yaitu dari Rasulullah dan para shahabat senior yang juga langsung menimbanya dari Rasulullah. Bagi Abdullah bin Umar, tidak cukup mengetahui ilmu dan mendakwahkannya, sebelum dia sendiri mengamalkannya. Kisah berikut merupakan bukti bahwa Abdullah bin Umar adalah seorang alim yang benar-benar mengamalkan ilmunya.
Abdullah Ibnu ‘Umar berkata, “Apabila ada seseorang yang bermimpi pada masa Rasulullah, maka ia pun akan menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah, hingga saya juga ingin sekali bermimpi dan menceritakannya kepada beliau. Ketika remaja, pada masa Rasulullah, saya pernah tertidur di masjid. Dalam tidur itu saya bermimpi bahwa ada dua malaikat yang menangkap saya dan membawa saya ke neraka yang tepinya berdinding seperti sumur dengan dua tali seperti tali sumur. Ternyata di dalam sumur tersebut ada beberapa orang yang saya kenal dan segera saya ucapkan, ‘Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka.’ Tak lama kemudian, kedua malaikat tersebut ditemui oleh satu malaikat lain dan ia berkata kepada saya, ‘Kamu akan aman.’ Lalu saya ceritakan mimpi saya itu kepada Hafshah dan Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, jika ia berkenan melaksanakan shalat di sebagian malam.’ Salim berkata, ‘Setelah itu Abdullah bin Umar tidak pernah tidur di malam hari kecuali sebentar’.” (Muslim – 4528)
Abdullah bin Umar sering bergaul dan selalu dekat dengan Rasulullah. Kecintaannya kepada Rasulullah sangat mengagumkan. Kemana pun Rasulullah pergi, ia sering turut menyertainya. Ia senantiasa berusaha mencontoh sifat, kebiasaan harian dan meniru segala gerak-gerik Rasulullah, seperti cara memakai pakaian, makan, minum, bergaul, dan hal lainnya. Oleh karena itu tidak heran jika dia menjadi penghafal hadits terbanyak ke-2 setelah Abu Hurarirah. Beliau hafal 2.630 hadits. Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata, “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar.”
Keistimewaan lain yang melekat pada diri Abdullah bin Umar ialah keluasan ilmu, kerendahan hati, kebulatan tekad dan ketegasan pendirian, kedermawanan, serta keteguhannya pada contoh yang telah diberikan Rasulullah. Kepribadiannya yang sungguh mengagumkan nyaris tanpa cela sedikit pun. Orang-orang yang semasa dengan Abdullah bin Umar umumnya mengatakan, “Tak seorang pun di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruf pun dalam menyampaikan hadis Rasulullah sebagaimana halnya Abdullah bin Umar.”
Abdullah bin Umar termasuk orang yang hidup makmur, kaya raya dan berpenghasilan banyak. Ia pedagang dan saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian besar kehidupannya. Di samping itu, gajinya dari Baitul maal (kas negara) tidak sedikit pula. Tetapi, tunjangan itu tidak satu dirham pun disimpannya, melainkan dibagi-bagi sebanyak-banyaknya kepada fakir miskin dan anak yatim. Ia banyak memberi kepada orang lain karena ia dikenal sangat pemurah. Bahkan, ia tidak peduli apakah kemurahannya itu akan menyebabkannya miskin atau kelaparan. Ia memang zahid, yakni orang yang tidak berminat terhadap pesona dunia.
Satu waktu, Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Abdullah bin Umar untuk menjabat sebagai hakim. Tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia lebih memilih menjadi warga biasa. Memasuki masa tua, Abdullah bin Umar mendapat cobaan dari Allah SWT, yakni kehilangan pengelihatannya. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis –sejumlah 2.630 hadis setelah Abu Hurairah—ini kemudian wafat pada tahun 72 hijriyah dalam usia 84 tahun. Ia merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang paling akhir yang meninggal di Kota Mekkah.
sumber: Majalah YDSUI Mei 2012