HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHAUM DAN WAJIB ATASNYA QADHA’[1]
- Masuknya cairan ke dalam kerongkongan, baik lewat hidung atau telinga, seperti memasukkan obat lewat hidung, atau dubur dan qubul ( kemaluan ) wanita, atau meneteskan ke dalam telinga. Dan menurut madzhab Maliki bahwa cairan yang masuk ke dalam kerongkongan melalui mata, dapat merusak shaum, baik sengaja maupun lupa.
- Air yang masuk ke dalam kerongkongan karena terlalu dalam ketika berkumur dan menghirup air ke hidung saat bewudhu’.
- Keluar air mani karena terus menerus memandang atau berpikir ( jima’ ), atau mencium, atau bercumbu, atau sebab lainnya. Adapun keluar mani karena bermimpi, maka tidak membatalkan shaum.
- Muntah dengan sengaja. Adapun muntah dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan shaum.
- Makan, minum, dan berjima’ karena dipaksa.
- Makan, minum, atau berjima’, sedangkan ia mengira kalau masih malam ( belum terbit fajar ), dan ternyata fajar telah terbit.
- Makan atau minum, sedangkan ia menyangka kalau malam telah masuk dan ternyata masih siang.
- Makan atau minum karena lupa, kemudian tidak melanjutkan shaumnya, menyangka bahwasannya tidak wajib untuk kembali meneruskan shaumnya.
- Berbuka dalam keadaan ragu, apakah matahari telah terbenam atau belum, dan belum jelas baginya.
- Betul-betul berniat untuk berbuka.
- Sengaja memasukkan sesuatu yang tidak memberikan faedah bagi badan ke dalam kerongkongan lewat mulut, seperti menelan batu, mutiara, benang, atau besi.
- Sengaja memasukkan air ke dalam dubur ketika istinja’.
- Memasukkan potongan kain, atau kayu, atau jari yang basah ke dalam dubur maupun qubul wanita, apabila masuk seluruhnya, dan kalau masuk sebagiannya saja, maka tidak merusak shaum.
- Murtad ( keluar dari Islam ).
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHAUM DAN WAJIB ATASNYA QADHA’ DAN KAFAROH[2]
- Berjima’ ( bersenggama ) dengan sengaja tanpa dipaksa.
Dari Abu Hurairah dia berkata : Ketika kami duduk di sisi Rasulullah tiba-tiba datang laki-laki kepada Nabi seraya berkata : “Celaka saya ya Rasulullah”. “Kenapa kamu celaka ?”, Tanya Rasulullah. Laki-laki itu menjawab : “Saya telah bersetubuh dengan isteri saya pada siang hari Ramadhan.” Rasulullah bertanya : “Sanggupkah kamu memerdekakan seorang budak ?”. “Tidak “,jawab laki-laki itu. “Kuatkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, Tanya Rasulullah pula. “Tidak”, jawabnya. “Sanggupkah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin ?”, Tanya Rasul. Dan laki–laki itu pun tetap menjawab : “Tidak”. Kemudian ia duduk, maka datanglah Nabi dengan membawa sebakul kurma seraya berkata : “Sedekahkanlah kurma ini”, kata Nabi. “Apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami ya Rasulullah, padahal tidak ada satu warga pun di kampung kami yang lebih miskin selain kami”, kata laki-laki itu menerangkan. Dan Nabi pun tersenyum sampai kelihatan gigi gerahamnya, lalu beliau katakan : “Pulanglah, berikan kurma ini kepada keluargamu.”[3]
2. Makan dan minum dengan sengaja tanpa adanya udzur yang membolehkan dia berbuka.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ أَمَرَ رَجُلاً أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ : أَنْ يَّعْتِقَ رَقَبَةً أَوْ يَصُوْمَ شَهْرَيْنَ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا
Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi menyuruh seorang laki-laki yang sengaja berbuka pada bulan Ramadhan : Membebaskan budak, atau shaum selam dua bulan, atau memberi makan 60 orang miskin.[4]